April tinggal menghitung masa yang tersisa. Kurang lebih dua
puluh empat jam setelah ini, usianya masuk dua delapan. Sebenarnya itu bukanlah
masalah berat buat dirinya pribadi, namun tidak dengan orang tuanya yang
jelas-jelas kian hari kian gusar. Pun teman-teman yang ditemuinya selalu
bertanya-tanya. "Kapan merit?"
Sepertinya sore tadi puncak penderitaannya. Menghadiri
resepsi pernikahan rekan kerja, ia malah merasa tersudut. Meski sejatinya, tak
ada seorang pun yang melakukan hal itu padanya. Perasaan. Ya, itu cuma perasaannya.
Timbul tenggelam rasa iri dibenaknya, bersua teman satu sekolahan bersama
pasangan masing-masing. Ada juga yang membawa buah hati serta. Duh....,
pikirnya. Kapan kiranya.....?
Dan saat menyalami Lia, mempelai wanita, April justru
mendapat bisikan, "cepat menyusul ya..." Deg! April bisanya hanya
senyum masam, mengiyakan.
Wanita itu faham, ketika ia membuka mata esok, hari-hari
kedepan pasti semakin berat. Apa ia meruntuhkan prinsipnya saja kalau begitu?
Lelaki sholeh, barangkali itu bukan lagi sosok calon suami yang perlu ditunggu
kedatangannya. April lelah.
Dalam lelap, ia bermimpi tengah berada di BUMI CINTA. Ternyata
novel berjudul sama, mengantar kesadarannya hilang ke negeri seberang.
.........
Keputusan ini seperti hidup dan mati. Soe yakin, rekan
kerja, keluarga, tetangga atau siapapun menyesalkan keputusan yang diambilnya.
Namun hatinya telah bulat. Selama ini, ia merasa dirinya tak lebih dari mesin
berjalan. Karir menanjak yang dibangunnya pun sekedar keberuntungan belaka.
Kepala bagian pemasaran, ah banyak yang menginginkan jabatan itu di kantornya.
Soe malah melemparnya begitu saja.
Lelaki itu selesai berkemas bahkan sejak tadi pagi. April
Move, begitu ia menamai pilihan fenomenalnya. Dari profesi memasarkan barang berubah
menjadi penulis lepas. Cita-cita yang selama ini terus menggelayuti, cuma
sering ditundanya. It's show time, benaknya mantap. Berbekal cerpen-cerpennya
yang dimuat di koran lokal, sesekali nasional, serta artikel-artikel di media
online, Soe yakin masa depannya adalah dunia kepenulisan. Terlebih, ide untuk
menelurkan novel hampir membludak. Sebelum kepalanya pecah, alangkah baiknya ia
mulai mengeluarkannya sedikit demi sedikit.
Pulang kampung. Terdengar seru sekaligus mengerikan. Mengingat,
mesti membeberkan alasan masuk akal pada kedua orang tuanya sejelas-jelasnya.
Belum lagi perihal pasangan hidup yang masih berbentuk tanda tanya. Tentang
yang satu ini, Soe sendiri bingung. Waktunya habis bekerja dari pagi hingga
malam. Semakin tinggi posisinya, lembur semakin memangsa malam-malamnya. Dan
ketika ada waktu luang, ia malah menghabiskan dengan menulis.
Dua tiga wanita yang menggilakannya di kantor, tapi itu
bukan tipikal ia sepakati tuk jadi ibu dari anak-anaknya kelak. Yah paling
tidak, pendamping hidupnya itu bisa mengayomi buah hatinya dengan kasih sayang
serta agama. Bisa menjaga aib keluarga, dan saling menasehati dalam kebaikan.
Singkatnya, perjalanan cinta Soe belum temu titik ujung.
0 Messages:
Posting Komentar