Jumat, 22 Maret 2013

Scene Menegangkan

Tinggal sejengkal dengan tebing sungai rupanya tidak memengaruhi laju kendaraan tersebut. Diatas roda dua yang menggelinding cepat, bertengger seorang suami sebagai pengendara dengan istrinya. Disana juga ada anak laki-lakinya yang masih seumuran SD dan seorang balita perempuan.
 
Belum ada tanda-tanda untuk mengerem dan berhenti. Bahkan tidak sama sekali. Seolah jalan yang dilaluinya masih punya terusan. Padahal tidak sama sekali. Terus melaju artinya maut. Dan dari balik jendela, aku langsung menyaksikan adegan "fantastis" siang itu. Burrrr....air menciprat ke segala arah akibat tertimpa benda berat. Gelombang-gelombang kecil menyebar sesaat. Empat beranak itu lenyap di telan sungai.

Dramatis, karena situasi begitu lengang. Dipastikan, akulah saksi pertama. Anehnya, tiada teriakan sama sekali dari korban. Atau barangkali ada, hanya saja kalah oleh kerasnya detak jantungku.  

Aku segera berlari keluar melakukan penyelamatan. Terjun bebas ke sungai adalah cara yang cukup efisien ku kira. Lebih cepat lebih baik. 

Beruntung, saat aku telah menceburkan diri ke sungai, sang ayah muncul dan sedang membopong putrinya yang terdiam. Yang aku kesalkan cuma, kenapa lelaki itu tidak merasa gelisah atau bersalah sama sekali. Lebih-lebih geraknya menuju ke darat malah melenggang santai. Harusnya ia bergegas, kan. Paling tidak, mimik mukanya mestinya was-was. Ini tidak!

Mengetahui masih ada dua korban lain di sana, aku bergegas menghampiri. Namun, belum sempat menyelam, sang ibu dan anak laki-lakinya muncul ke permukaan. Dengan setengah sadar, ku bopong dua sosok tersebut.

"Cepat, ambil ini!"

Rupanya aku tidak sendirian di TKP. Tentunya selain lelaki si pelaku sekaligus korban "bunuh diri massal" ini. Di pinggir sungai, berdiri seorang lelaki dengan berewak banyak. Perintahku digubrisnya dengan lamban. Kesalku bertambah-tambah. Uhh....

Scene itu berhenti. 

Gelap, remang, silau, dan lalu terang. 

Roh kembali menyusup ke raga. Serasa ada sesuatu yang menjalar ke seluruh tubuh. Jantung kembali berdetak seperti sedia kala. Bedanya, kali ini lebih cepat dari biasanya. Meski keringat belum bisa dikatakan membanjiri, tapi cukup untuk menandakan telah bermimpi buruk. Benar adanya. 

Tidak lama berselang, ku ambil alat komunikasi bernama HP. Bukan untuk memeriksa pesan maupun panggilan masuk, melainkan memastikan apakah waktu Ashar telah tiba. Hampir. 

Tidur siang yang pulas adalah hal yang ku senangi. Tapi tidak jika dibarengi dengan mimpi seperti itu. Awalnya satu kumandang terdengar jauh, kemudian disambut dengan kumandang dari penjuru mata angin lainnya. Ashar bertandang seketika. 

Setengah jam kemudian, hitungan detak jantungku belum terbilang normal. Itu menjadikan nafasku masih terasa sesak. Mimpi itu masih menggerayangi hingga selesai shalat Ashar ku dirikan. 

0 Messages:

Posting Komentar

 
;