Rabu, 27 Maret 2013

Biarkan Cinta Memilih


            “Aku seolah telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku.”
            Fitri menatap benda berwana cokelat muda ditangannya. Ornamen bunga berwarna abu-abu membalut sisi-sisinya. Ditengah juga rangkaian bunga yang berbentuk hati. Sederhana memang bentuknya. Sesederhana acara yang akan digelar pada hari yang tertera disana. Betul, seharusnya ia mempersiapkan lahir batin untuk menghadapi hari H-nya. Bukannya bergelut dengan perasaan bersalah. Namun, ia tak kuasa untuk mengenyahkan pikiran itu begitu saja.
            Terlebih nama Adha tertulis disana. Dulu ia berpikir untuk tidak mengundang saja pemuda itu. Tapi mengingat persahabatan yang terlanjur berwujud diantara mereka, serta jasa-jasanya selama ini rasanya itu tidak etis.  Jika mau jujur, justru sebab itulah ia merasa tersiksa seperti ini. Persahabatan yang bagi Adha istimewa, meskipun telah berulang kali Fitri menegaskan bahwa perasaannya tak lebih dari teman karib. Seperti teman-teman lainnya.
            Saheeda mengambil perlahan undangan di tangan sahabatnya. Menumpuk dengan undangan lainnya di atas meja. Dan mengambil satu yang menarik perhatiannya. Duduknya disamping gadis berjilbab itu tadi seolah memudar ketika Fitri terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Kasihan bercampur empati, Saheeda menghela nafas dalam.
            “Tak seharusnya di detik-detik seperti ini kamu masih memikirkannya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seandainya Faisal tahu,” tukas Saheeda tanpa bertatap muka dengan Fitri. Ia tidak terlalu ingin melebur dalam kondisi tersebut. Lagi pula, untuk apa sih mengundang Adha segala jika memang hanya akan memperburuk keadaan. Yang lalu biarlah berlalu.
            “Faisal sudah bertemu dengannya lebaran kemarin.”
            Mata Saheeda membesar tak percaya apa yang didengarnya. Membetulkan posisi duduknya yang canggung lantaran menggunakan rok panjang. Menghadap ke Fitri, “lalu?”
            “Saya pernah menceritakan tentang Adha padanya. Juga tentang cintanya. Hari itu, saya seolah melihat ada gunung es diantara mereka. Pembicaraan yang kaku mengisi kunjungan Adha ke rumah lima belas menitan tersebut. Untung saja tidak mengarah pada hal yang sensitif.”
            “Sen-si-tif?” Saheeda mengucapkannya dengan perlahan dan penuh penekanan.
            “Seperti menanyakan siapa Faisal.”
            “Ah, tapi ku kira Adha tak bodoh untuk membuat kesimpulan sendiri. Kalau benar, bukankah kamu tak perlu repot-repot untuk menjelaskan banyak? Toh selama ini kamu tak pernah memberinya harapan lebih. Sepatutnya ia mengundurkan diri dengan teratur.” Ucap Saheeda terus-terusan.
            Sedikit banyak Fitri sependapat dengan Saheeda. Mengundurkan diri. Istilahnya sangat tepat untuk menggambarkan sikap Adha sejak kunjungannya lebaran kemarin. Pemuda itu bahkan tidak pernah bertanya lagi kapan Fitri akan menuntaskan perbaikan skripsi dengan dosen pembimbingnya. Desakan yang lebih kepada motivasi juga tak pernah Adha layangkan lewat sms lagi. Jika bukan Fitri yang bertanya tentang perkembangan perbaikan skripsinya, ia tak pernah mendapat pesan lain.
            “Ingat Fit, kita tak mungkin bisa membahagiakan setiap orang.”
            Fitri mengangguk tanda sepakat dengan ucapan itu.
            “Andai saja ini Diana teman SMA kita.” Kata Saheeda mencoba mengalihkan pembicaraan sembari menyodorkan undangan bertuliskan Diana dan partner.
            Untuk pertama kalinya Fitri menampilkan wajah ceria sejak kedatangan Saheeda kerumahnya siang ini. “Oho, saya hampir lupa Id. Ya, dia memang Diana teman SMA kita.”
            “Yang benar?” Tubuh Saheeda seolah ingin terlonjak dari tempat duduknya. “Apakah dia berubah setelah hampir tujuh tahun, ya?”
            “Tentu sayang. Kamu saja berubah.” Jawab Fitri.
“Itulah, nasib seseorang tak pernah bisa diduga,” tambah Fitri lagi. “Dulu dia selalu saja jadi bulan-bulanan lantaran namanya yang sedikit ‘aneh’ untuk seorang laki-laki. Sulit dipercaya, seseorang yang culun sepertinya bisa menjadi jurnalis. Bahkan, katanya cerpen besutannya kerap kali nongol di koran lokal.”
Saheeda ternganga. “Jangan-jangan? Oh, cerpenis bernama Dian A itu dirinya. Bahkan saya sering kirim email padanya untuk meminta saran dalam menulis.”
“Kita sama terkejutnya, kan. Satu hal lagi Id, Allah itu memang maha adil. Kau tahu, nama istrinya adalah Dani.”
Mata Saheeda hampir lepas dari rongganya.
................. 
Tulisan ini sebenarnya telahpun usai sejak Desember 2012 lalu. Namun, ada niat untuk melanjutkannya. Semoga.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;