Selasa, 13 Maret 2012

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 11)

Aku tercenung. Bukan karena dia yang ada dihadapanku sepenuhnya, melainkan dua huruf yang merangkai kata "Ko". Terakhir kudengar seseorang memanggil namaku dengan itu sekitar dua puluh lima tahun silam. Saat ini keluar dari mulut yang sama.
     Itu mengingatkan jejak identitasku. Sepenuhnya aku percaya kisah yang terlontar dari ibu pemilik panti asuhan dimana aku tumbuh hingga remaja. Aku tidak punya kuasa untuk mendustakannya. Pertama kali datang disana, usiaku masih dalam hitungan hari. Bertanya alasan ibu kandung menitipkan ku kesini pada bu Sakinah sia-sia belaka. Beliau hanya menggeleng. Tapi aku sangsi jika ia tidak tahu sama sekali. Paling tidak untuk dua nama. Sejak itupun aku tidak pernah mengungkit hal itu lagi. Masa-masa aku mulai mengenal istilah teman, kudapati kebanyakan dari mereka memandang aneh kepadaku. Entah karena apa. Bertambahnya usia menjelaskan alasannya kemudian. Aku berbeda dari mereka. Hanya nama belakang, kulit kuning dan mata sipit yang mengingatkan akan keturunanku. Aku sangat yakin, ama dan apa juga keturunan etnis Tionghoa. Walau akhirnya mereka bisa menerimaku bahwa aku sama bagian dan sama dengan mereka.
.................
    Untunglah suaraku tertahan. Keceplosan yang tidak disengaja tadi bisa jadi membuat pertemuan yang seharusnya hangat bisa berubah dongkol.  
     "Masya Allah, bang Bakar. Sudah lama sekali tidak bersua." Novel-novel dalam genggamannya ku letakkan sekenanya dirak dan aku merangkul tubuhnya. Bang Bakar pun demikian pula. Pertemuan ini seperti sebuah melodrama antara adik kakak. Memang, selain bu Sakinah yang kuanggap lebih dari sekedar ibu kandung, maka usianya yang sepuluh tahun lebih tua dariku bang Bakar bagai saudara sedarah. Dan lagi. Hanya dialah satu-satunya yang menggunakan kata "Ko" ketika memanggilku.
      Rumahnya tepat didepan gedung panti berdiri. Tergolong mewah ukuran kala itu. Keluarga bang Bakar hijrah sebaik saja orang tua mereka meninggal. Dan rumah itupun tergadai. Sejak saat pemergiannya, kami kehilangan kontak. Bahkan surat menyurat tidak pernah melayang walau sekali pun. Memang aku tidak berusaha untuk meminta alamatnya. Yang kuharapkan waktu itu adalah ia akan kembali.   
     "Ya, sudah puluhan tahun. Bagaimana kabarmu. Bu Sakinah dan yayasan Amanah.?" Tanyanya ketika kami menyudahi saling merangkul.
     "Alhamdulillah, baik bang. Bu Sakinah juga demikian. Meskipun akhir-akhir ini saya jarang bertandang kesana, tapi komunikasi tidak putus. Yayasannya, Alhamdulillah berkembang. Abang sendiri?"
       "Syukurlah kalau demikian. Dan saya, seperti yang Ko lihat sekarang."  Bang bakar melebarkan mulut selebar tangan yang direntangkannya. 
       "Banyak yang ingin ceritakan sama abang. Lebih baik kita kebawah. Saya traktir"
       Bang Bakar menjawab singkat, "itu baru mantap. Saya belum pernah sama sekali makan duit mu, Ko."
       Aku merogoh saku celanaku. Mengambil benda persegi kecil dan kemudian merapatkannya ke telinga kanan. 
       "Ya, halo bi. Sudah belanjanya?" Jeda sejenak. 
      "Saya kebawah. Kebetulan bertemu teman lama disini. Nanti hubungi kalau sudah selesai ya bi." Kembali aku mendengarkan suara bi Atin yang tengah bersama Hanny berkeliling di Hypermart.
       "Baiklah." Aku memutuskan sambungan. Baru aku sadari sebuah pesan singkat masuk. Berasal dari nomor yang belum tersimpan di buku telepon. Mengambil waktu sedetik untuk membukanya. Membuang rasa penasaran. Mataku membesar. 
         Kabar buruknya adalah bang Bakar menangkap sesuatu yang tidak seharusnya berlaku. Dan ia pun bertanya kepadaku, "ada apa?"
           Aku berkilah. "ah. Tidak apa-apa, bang." Jelas itu bukan jawaban yang diinginkan olehnya. Baru kali ini aku pandai berdalih darinya. Meski sangat ketara. 
          "Ayo." Aku menghapus tanda tanya dari mukanya. "
     Kami memilih tangga darurat yang langsung menuju pintu masuk dari belakang Mall. Keluar dari pintu kaca, kami memasuki areal parkir.
...................
       

0 Messages:

Posting Komentar

 
;