Rabu, 07 Maret 2012

Jamah


Tawa kami terhenti sebaik saja mak su kembali datang dengan tiba-tiba. Terengah-engah mengatur nafasnya. Berkali-kali menelan ludahnya yang mengering. Dilanjutkan dengan mengangkat bajunya sedikit keatas, mengelap keringat. .Tidak salah jika di terka, ia pasti berlari-lari menuju rumah kami setelah kepulangannya tadi. Mukanya menegang dan jelas sekali kepanikan juga mengikutinya.
Kak Mok memecah keheranan kami dengan menyodorkan segelas air putih pada mak su. Hatiku bertanya, “kapan kak Mok ke dapur?”. Bukankah dia baru saja tergabung dalam kumpulan keluarga kaget. Dan sekarang dia menjadi penenang mak su.
Bagai berabad-abad tidak meneguk air, mak su langsung menyambar sodoran dari kak Mok. Dalam sekejap isi gelas kaca tersebut menjadi kosong. Dan memberikannya kembali kepada kak Mok.
Ada apa, Jah?” Mak bertanya tak sabar. Menjadi wakil diantara aku, ayah dan kak Mok yang semuanya merasa penasaran. Mak su yang bernama Jijah adalah adik bungsu dari ibu. Usu panggilan untuk putri atau putra bungsu dalam sebuah keluarga dalam budaya melayu. Karena adik ibu adalah perempuan, maka kami memanggilnya dengan sebutan mak su.
“Mak tergelincir. Sekarang di lagi di rumah pak long Dar” Mak su menjelaskan terbata-bata. Jika dipaksa berbicara lebih lanjut, mungkin aliran air akan menyeruak dari kedua belah matanya.
“Bagaimana bisa?” Ayah melanjutkan pertanyaan mak. Tapi mak su yang ditanya bukannya langsung menjawab, tetapi malah melemparkan tatapan tajam menghujam mataku. Jelas itu tatapan menyalahkan. Entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya aku yang menyebabkan nek wan tertimpa musibah.
**********
Keadaan kampung memang pekat apabila malam tiba. Listrik masuk baru sekadar pancangan tiang-tiang besinya. Kata pak kades, kemungkinan kampung kami mulai bercahaya dimalam hari menjelang akhir tahun ini. Bukan hanya aku, warga sekampung dan termasuk pak kades sendiri sangat tidak yakin akan hal itu. Semuanya hanya bisa menunggu sejauh ini.
Warga kampung masih menggunakan pelita yang terbuat dari aluminum bekas minuman atau dari botol kaca bekas. Dibuat sedemikian rupa sehingga ada corong kecil untuk sumbu menyembul dan didalamnya menampung minyak tanah. Itu digunakan sebagai penerangan dirumah dan biasanya disimpan di tengah-tengah ruangan. Satu  dua pelita sudah cukup untuk setiap rumah. Desain rumah warga yang rata-rata tidak mempunya banyak sekat kecuali batas kamar, menjadikan penggunaan sedikit pelita lebih efisien. Dan apabila hendak tidur, biasanya pelita tersebut tetap disimpan dilantai, namun diwadahi dengan piring beling berisi air. Sebagai antisipasi jika tertabrak kucing gila. Sedangkan lampu strongkeng hanya akan digunakan ketika acara keluarga, seperti pernikahan.
Lain hal lagi dengan infrastruktur jalan. Tak ada satupun warga yang berani untuk menebak kira-kira kapan jalan dikampung akan diaspal. Jika musim kemarau tiba, jalanan berdebu bukan main. Tapi ya, orang kampung sudah imun terhadap dampak yang yang mungkin bisa ditimbulkannya kemudian. Penggunaan masker hanya diketahui dan wajib dilakukan oleh warga kota.
Di musim hujan seperti sekarang ini, jalanan licin. Jika tidak hati-hati, terjerembab adalah hal yang lumrah. Lebih parah lagi jika pasca hujan sekitar setengah jam. Jalan tanah lengket dan memintal ban sepeda ayah Badul jika memaksa untuk menjajakinya.
**********
Pak long Dar yang merangkap tukang urut sekaligus dukun kampung menjadi tempat nek wan mengeluhkan rasa sakitnya. Nek wan meringis ketika pergelangan kakinya disentuh sedikit saja. Tapi yang dilakukan  pak long Dar justru sebaliknya. Ia menekan kuat-kuat sendi yang dianggapnya “tersalah” dan memutar-mutar kecil pergelangan kaki nek wan. Teriakan sesaat pun terdengar sebagai sambutan kedatangan kami sekeluarga.
Kami menemukan seluruh anggota pak long Dar lengkap kecuali mak long tentunya. Melingkari satu-satunya sumber cahaya yang ada di ruangan itu. Tapi lebih tepatnya menonton nek wan yang tengah kesakitan kakinya.
Pak long yang bernama asli Musdar adalah anak sulung nek wan yang juga merupakan saudara kandung mak. Sekarang memiliki satu zuriat bernama Rika. Umurnya enam tahun lebih tua dari kak Mok yang kelas tiga sekolah madrasah. Seolah ada tembok penghalang, kami tidak pernah akrab dengannya lagi sejak beberapa tahun lalu. Entah mengapa. Dan malam ini, ia beserta suami kecuali anaknya yang baru kelas dua SD ikut melemparkan tatapan sinis ke arahku.
“Ini mutlak kesalahan Zuki!” Pak long Dar berterus terang dan sangat kasar terdengar. Menyalahkanku seperti yang mak su lakukan tadi. Mak, ayah dan kak Mok bahkan diriku sendiri menjadi heran.
“Apa hubungannya?” batinku membantah
Nek wan dan mak su serta Fauzi sepupuku yang masih dalam gendongan  tadi pulang ketika hujan belum reda sepenuhnya. Gerimis-gerimis kasar masih menerobos diantara mereka. Payung dirumah menjadi sandera. Mak meminjamkannya setelah tidak berhasil membujuk untuk menginap saja dirumah malam ini. Bisa dibayangkan, sebuah payung untuk melindungi dua anak manusia yang tidak lagi kanak-kanak kecuali Fauzi, dari tetesan air langit.
“Lha, kenapa Marzuki yang disalahkan, bang?” Mak membelaku. Dan tentu saja itu bukan pembelaan biasa seperti seorang ibu terhadap anaknya yang dipersalahkan begitu saja, tetapi lebih kepada untuk mencari hubungan yang logis antara keberadaan ku dirumah dengan nek wan yang tergelincir tepat di depan rumah pak long Dar.
Yang pasti aku tengah menjadi tersangka dipersidangan keluarga. Pak long Dar sebagai ketua hakim dan mak su Jah bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum merangkap saksi. Dan korban sendiri yaitu nek wan tak berucap sepatah katapun selain meringis kesakitan. Dan aku yakin, nek wan sama sekali tidak akan menyalahkanku dalam hal ini.
“Tadi sebelum kami pulang, Marzuki mengajak kami makan dan kami menolak. Kami menjamah nasi yang ada dipiringnya. Tapi, tak lama kemudian Marzuki mengajak makan lagi. Lalu kami pun menjamah nasinya lagi. Itu terjadi hingga tiga kali. Dan untuk ke empat kalinya, kami tidak peduli. Dan sekarang mak menjadi kemponan nasinya Marzuki. Aku tahu ia mengolok dan sambil tertawa-tawa pula.”
Ucapan mak su sepanas timah yang keluar dari cerobong pistol di film-film barat dan sepanjang pidato pak Harto yang ku saksikan lewat layar kaca hitam putih di rumah Badul siang kemarin. Konyol dan  menyudutkan. Bukan pidatonya tentunya, tetapi pendapat mak su barusan.
Hatiku tersenyum getir. Ternyata semuanya hanya gara-gara lima kata yang masih mentradisi, jamah. Untuk poin yang terakhir dari ucapan mak su benar, aku mengolok tradisi itu. Dan dihubungkan dengan tragedi ini adalah sesuatu yang harus diluruskan. Kata itu tidak lagi masuk dalam kamus kehidupanku. Beruntung aku mendapatkan pencerahan dari guru-guru di madrasah tingkat pertama tempatku menuntut ilmu. Terutama bu Sa’diah. Dalam pelajaran Aqidah Akhlaq beliau pernah menyinggung akan hal ini. Seingat ku ketika kami memasuki bab iman kepada Qada’dan Qadar.
“Ujian dan cobaan itu semuanya datang dari Allah SWT dan sama sekali tidak ada kaitannya penolakan kita yang berujung pada menyentuh makanan apabila seseorang menawari. Kebiasaan jamah hanyalah sebuah tradisi yang seharusnya sedikit demi sedikit kita hilangkan dari masyarakat kita. Di dalamnya mengandung unsur kemusyrikan. Karena apa? Karena kita menganggap apa yang terjadi pada diri kita adalah sesuatu yang dilakukan oleh makhluk. Makanan, misalnya.”
Kalimat itu masih terngiang jelas di telingaku walaupun telah berumur setahun lebih lamanya. Ku simpan dalam hati terdalam dan berharap sedikit demi sedikit bisa mengaplikasikannya pada diriku sendiri dan orang-orang terdekatku. Dan sampai sekarang cukup berhasil. Paling tidak, mak dan ayah tidak melakukan hal itu lagi. Tapi tidak tahu jika mereka berada di luar rumah. Dan sangat aku yakini, kak Mok sendiri sudah jauh lebih faham mengenai hal ini daripadaku.
“Pak long. Itu tidak ada dalam agama kita!” Aku mencoba melakukan pembelaan pertama. Harapanku adalah dengan menegaskan bahwa agama tidak mengajarkan bahkan melarang hal itu, semua yang hadir diruangan itu paham. Tentu saja selain anggota keluargaku.
“Tahu apa kau tentang agama hah?” Pak Long Dar mulai meninggikan tensi suaranya.
“Sudah…” Nek wan menyela dan mencoba menenangkan amarah pak long Dar.
Pak long Dar sama sekali tidak peduli dengan teguran maknya. Dipikirannya hanyalah agar jangan sampai siapapun menyepelekan tradisi ini.
“Saya ini telah banyak makan asam garam dari kau yang masih ingusan. Baru saja sekolah di madrasah kau sudah berlagak sok tahu. Kau tahu luka di betis Rika gara-gara apa? Betul karena tertebas parang pak long di ladang. Tapi sebelumnya bukankah kau menawarinya buah jambu dan ia tidak menjamahnya?”
Pak long melanjutkan rentetan kata demi kata hingga mengungkit-ungkit peristiwa lima tahun yang lalu. Kala itu aku tengah menaiki pohon jambu yang ada dibelakang rumah. Di bawah, kak Rika berjalan hendak menuju ladang. Aku menawarinya buah jambu. Tetapi ia menolak dan menyentuh batang pohon saja. Sebagai pengganti karena tidak memakan buahnya.
Menurut cerita yang kudengar dari tempat kejadian, pak long Dar tengah memangkas ilalang yang mulai meninggi. Memunggungi sehingga tak disadari anak tunggalnya menerobos dari belakang. Tak ayal lagi, insiden itu pun terjadi begitu saja. Dan satu hal yang baru sekarang aku ketahui adalah akulah penyebabnya. Entah bagaimana kak Rika menjelaskan pada pak Long atau mungkin dia sendiri yang menyimpulkan dari cerita anaknya.
Semua mulut terkatup rapat kecuali pak long Dar yang mulai ancang-ancang untuk melanjutkan murkanya.
“Dan….” Pak Long diam sebentar. Tampak seperti menyusun kata-kata yang meringankan batinnya dari kesedihan.
“Dan yang menimpa mak long kau. Hari itu ia tidak sarapan. Aku memaksanya dan ia menolak. Entah bagaimana ia lantas lupa menjamah nasi yang ada diatas meja. Buru-buru ia berjalan kaki menuju sungai bersama mak mu. Mungkin takut ketinggalan motor air untuk pergi kepasar di kecamatan. Apa yang terjadi? Perahu motor karam ketika baru melewati dua kampung sebelah. Nahasnya, Zainab satu-satunya korban yang tenggelam dan ditemukan sudah tidak bernyawa dua jam kemudian.”
Pak long menyeka air yang membasahi matanya. Ada tanda kerinduan kepada istrinya disana. Tapi dibalik air mata itu, masih ada kejengkelan yang amat sangat. Mungkin terhadap ku atau terhadap nasib itu sendiri.
Tak ada yang berani membantah. Perawakan pak long yang keras kepala dan sangar menambah keengganan kedua orang tuaku untuk membantah lebih lanjut. Mengalah adalah pilihan bijak. Jika dipaksakan, pasti perdebatan kusir akan memecah diantara rintik-rintik yang mulai berkurang. Akibat terburuk adalah retaknya hubungan keluarga.
Aku sendiri telah terperuk ke dalam lubang terdalam. Dipojokkan dan dianggap membangkang tradisi sekaligus orang yang lebih tua. Perspektif agama tidak berlaku dalam hal ini. Aku hanya bisa mendesah dan memandangi nek wan yang kukira berucap lewat tatapan sayang kepadaku.
“Nek wan tidak apa-apa ki” Itulah arti tatapan yang aku simpulkan.
**********
Seperti kebanyakan warga kampung di sini, anak bungsu yang sudah berkeluarga biasanya akan tinggal di rumah pusaka dengan orang tua. Begitu juga dengan mak su Jah dan Fauzi, anak tunggalnya. Sedangkan nek aki sudah lama meninggal. Bahkan sebelum aku sempat mengenali wajahnya.
Kurang lebih tiga puluh menit dibutuhkan untuk mencapai rumah nek wan jika berjalan kaki dengan cepat. Tetapi jika kondisi hujan, bisa mencapai hampir satu jam. Rumah itu tidak lagi sebagus ia dibangun dulu. Sudah banyak lubang-lubang yang menjadi rumah kumbang. Di banyak tiang, anai-anai sudah pun bertebaran bersarang. Bila di pukul-pukul sedikit, butiran-butiran kecil warna putih kekuningan pun berhamburan. Dan lantainya mulai berdecit setiap kali dipijaki.
Nek wan berusia tujuh puluh lebih, mungkin. Dulu, pernah ku tanya berapa sesungguhnya usianya. Nek wan hanya memperkirakan. Sepertinya orang-orang tua di kampung tidak terlalu memperhatikan sudah berapa lama mereka hidup diatas bumi apalagi harus mencatatnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota yang terlalu melebih-lebihkan, memperingati dan banyak yang merayakan jatah hidup yang sebenarnya semakin berkurang.
Tentu saja nek wan tidak akan pernah memarahiku dan juga kak Mok. Aku adalah salah satu cucu kesayangannya. Nek wan punya standar tersendiri terhadap ke empat cucunya. Dan mungkin aku lebih istimewa di hatinya meskipun ada Fauzi yang selalu di asuhnya setiap hari. Boleh jadi karena aku cucu laki-laki pertama atau mungkin karena kelahiranku terjadi dirumahnya. Sedangkan Fauzi baru ada setahun terakhir.
Paling tidak seminggu dua kali aku berkunjung ke rumah nek wan. Lebih rapat lagi ketika Sekolah Dasar karena rumahnya berdempet dengan gedung pendidikan itu. Lauk yang aku cari-cari setiap makan dirumahnya adalah sambal sereh. Batang sereh muda dipotong kecil-kecil lalu ditumbuk halus dengan cabe rawit. Selanjutnya timbah dengan terasi yang telah dibakar. Pedas, wangi dan enak tentunya. Di lengkapi dengan gulai daun ubi bersantan yang dimasak ditungku dengan kayu bakar. Tak lupa ikan asin.
Tapi semenjak aku masuk madrasah. Dua kali seminggu kerumah nek wan adalah jadwal terapat yang mampu ku jaga. Jika memang tidak sempat, dua minggu sekali. Letak rumah dan madrasah berjarak empat kilo meter. Tiga kilo meter diantaranya dimana harus melewati jalan tanah selebar dua meter diantara kebun-kebun karet. Sisanya baru menapaki jalan aspal. Jangan pikir aku berangkat menggunakan kendaraan. Satu-satunya kendaraan di kampung kami hanya dimiliki oleh ayah Badul yang merupakan juragan karet. Hal itulah menyebabkan kecapaian yang luar biasa pada bulan-bulan pertama pulang pergi ke madrasah.
**********
            Tak banyak yang bisa aku perbuat. Kembali menyangkal akan membuat segalanya semakin keruh. Dan pasti itu arti tatapan ayah tadi kepadaku. Menunduk adalah pilihanku. Bendera putih telah berkibar sebagai lambang aku telah menyerah. Dan kemenangan ada dipihak pak long Dar beserta keluarga dan mak su Jah sendiri.
            “Seberapa parah bang?” Mak mencoba mencairkan suasana.
“Insya Allah esok lusa akan sembuh. Aku telah mengolesinya dengan minyak cap gunung.”
“Mak, sebaiknya menginap disini saja.” Pinta mak kemudian. Dan nek wan pun mengiyakan. Karena ia menyadari tentu tidak akan bisa berjalan jauh untuk pulang ke rumahnya. Apalagi malam sudah hampir pukul sepuluh. Dan sejak satu jam yang lalu adalah batas waktu larut bagi warga kampung untuk beraktifitas.
Tak ada yang kami bicarakan dalam perjalanan pulang dari rumah pak long. Tak ada pula kesan menyalahkan kepadaku. Semuanya bisu dan memang menganggap hal ini adalah perkara yang tidak perlu dibesar-besarkan. Semuanya telah berlalu dan nek wan akan sembuh dan bisa berjalan seperti sedia kala.
Setibanya dirumah, tiba-tiba mak yang tengah mengandung tujuh bulan berpesan singkat kepadaku.
“Jangan ulangi.” Setelah itu mak dan ayah pun beranjak menuju kamarnya. Begitu juga dengan kak Mok. Dan tinggal aku sendiri yang masih setia duduk diruang tengah. Pikiranku berbagi. Antara harus tidur segera atau menyelesaikan tugas sekolah yang seharusnya kukerjakan tadi.
Aku membayangkan, jika dirumah ini ada televisi. Tentu aku akan punya pilihan yang ketiga. Aku membayangkan Badul sekarang pasti tengah menonton saluran TVRI.
Ternyata aku benar-benar masih punya pilihan ketiga. Setelah di jadikan tersangka dan berujung pada terdakwa oleh pak long Dar menjadikan perutku terasa lapar kembali. Ku beranjak ke dapur dan mendapati di dalam panci masih ada nasi lemak buatan mak tadi pagi. Setelah mencium baunya, aku yakin nasi itu tidak basi. Di atas meja ku mendapati air kopi yang masih tersisa di dalam kaleng. Jika orang barat menyebutnya supper, itulah menuku malam ini.
**********
            Hampir mendekati sebulan, kaki nek wan makin tampak melebam kehitam-hitaman membentuk sesempurna sebuah lingkaran. Lebih seperti tanda lahir diarea mata kaki. Perbedaannya hanya pada rasa nyut-nyut yang dirasakan makin sakit oleh nek wan.
            Bukan dalam jumlah hitungan lagi berapa kali pak long Dar bolak balik dari rumah ibunya ke rumah dirinya sendiri dan sebaliknya. Ia penasaran bercampur kesal. Itu tidak seperti yang diucapkannya kepada mak dulu bahwa nek wan akan baik-baik saja.
            Berbagai jampi-jampi dan ramuan yang dibuatnya sendiri telah dicoba. Pernah ia juga mengatakan bahwa ada gangguan orang halus. Tentu saja aku tidak percaya. Dan ketidakpercayaan itu sama sekali tidak berani aku ungkapkan dihadapannya. Jelas aku masih ingat apa yang terjadi malam itu.
            “Mak terkena orang halus” Pak long Dar menyatakan sebab penyakit nek wan yang tidak kunjung sembuh pada sebuah rapat keluarga yang tidak disengaja di rumah nek wan sendiri. Waktu itu mak hanya melakukan kegiatan rutinnya semenjak nek wan sakit yaitu berkunjung ke rumahnya paling tidak dua hari sekali.
            Berkumpul lengkap tiga saudara anak-anak nek wan dan itu sangat jarang terjadi. Sepertinya sakitnya nek wan menjadi berkah tersendiri bagi keluarga besar tersebut.
            “Kurang satu” Hati nek wan berucap melihat semuanya berkumpul di ruang tengah. Musdar, Lela, dan Jijah. Ingatannya melayang pada puluhan tahun silam. Meskipun tidak sesegar dulu, tapi ia masih mampu membayangkan anak-anaknya sering berkelahi pada urusan makan. Baik pagi, siang maupun malam. Bila suaminya pulang dari pasar dan membeli rambutan, maka ialah yang menjadi juru bagi diantara anak-anaknya. Satu ikat dibagi tiga. Tentu saja ia dan suaminya lebih memilih mengalah demi anak-anaknya. Dan jika ada satu dua buah tersisa, maka status anak bungsu sangat menguntungkan.
            Jauh kebelakang ia menarik ingatannya lagi, pada sosok anaknya yang nomor dua dan besar kemungkinan akan dipanggil pak ggah. Anaknya meninggal berumur dua tahun lebih. Dan tidak sempat untuk berebut makanan dengan saudaranya yang lain. Anaknya yang bernama Rusli tiba-tiba kejang-kejang ketika tengah demam. Tak banyak yang ia dan suaminya lakukan, kecuali membelikannya obat penurun panas. Tapi tidak juga mempan.
            Ia kemudian melumuri asam jawa yang sudah diberi air keseluruh tubuh anaknya. Kunyit mentah dikunyahnya sendiri lalu disemburkan ke kening anaknya menjadi langkah selanjutnya. Tapi tidak sedikitpun ada perubahan. Tak ketinggalan, pengobatan alternatif dukun ahli sekampung pun dicoba beriringan dengan usahanya tadi.
            Tapi sekarang ia tahu sedikit bahwa anaknya waktu itu menderita demam berdarah. Ia tahu dari tenaga penyuluh kesehatan yang diutus oleh pemerintah pada desa-desa tertinggal.. Ia menyesali karena tidak mencoba cara yang lainnya seperti yang diungkap oleh tenaga ahli tersebut, yaitu membawanya kerumah sakit. Ia mengaku sebenarnya ada terbersit maksud itu, tapi jarak yang memerlukan waktu seharian penuh untuk menuju rumah sakit membuatnya berpikir dua kali. Tak lepas, keuangan keluarga menjadi faktor utama menggagalnya niat itu.
            “Abang sudah mengatasinya?” Mak su Jah penasaran
            “Sudah saya pindahkan ke badan kambing.” Jelas pak long
            “Kenapa ke kambing. Simpan saja di pohon kayu.” Meskipun mak tidak percaya lagi hal seperti itu, tetapi bukan bijak untuk memprotes apa yang diperbuat oleh saudaranya itu. Lagipula ia tidak banyak melakukan apa-apa untuk menyembuhkan ibunya selain bertanya kabar dan memijitinya ketika berkunjung.
            “Ia akan kembali mengganggu manusia. Jika ditubuh binatang, ia akan terperangkap disana.” Jawaban tidak masuk akal pak long terlontar.
            “Kasihan dengan kambing.” Tukas mak kemudian
            “Lebih kasihan kambing daripada mak sendiri!” Suara mak su sedikit kesal.
**********
            Penghakimanku malam itu ternyata kembali ditinjau ketika penyakit nek wan semakin parah. Beban dipersalahkan kembali membebani pundakku. Persis seperti malam itu. Tatapan kejam dan sinis dari keluarga pak long dan mak su menjadi hal yang sangat aku takutkan. Bukan takut karena tatapan itu terlihat garang, tapi aku takut pada nasib silaturahim keluarga. Setiap kali aku mencoba menghubungkannya lagi dengan beribu ucapan meminta maaf, setiap kali itu pula aku dicemooh.
            Rasa bersalah mulai bertunas dihatiku ketika melihat kondisi yang tidak semakin membaik. Kadang-kadang sangat merasa pantas untuk dipersalahkan. Namun kadang aku tersadar kembali bahwa tidak ada hubungan antara gurauan ku malam itu dengan perihal nek wan. Aku semakin khawatir, apakah aku juga mulai percaya akan hal itu?
            Daripada aku berkutat dengan pikiranku yang semakin ngawur, aku berjalan menuju rumah nek wan. Karena aku sekolah siang, maka pagi hari adalah waktu yang tepat. Aku yakin nek wan tengah sendirian dirumah sementara mak su pasti pergi ke ladang. Dan itu akan memudahkanku bercakap-cakap dengannya nanti. Menanyakan kabar dan memijiti mungkin bagian kaki dan anggota tubuh lainnya seperti yang dilakukan mak.
            Kudapati nek wan tengah terbaring diruang tengah. Lebih tepatnya tergeletak. Ku buka jendela mengusir pengap. Meskipun ini bukan kunjungan pertamaku semenjak nek wan sama sekali tidak bisa berjalan, tapi kondisi nek wan kutemukan sedikit berbeda. Mukanya terlihat tidak seimbang. Dan tangan kirinya menyusut. Namun matanya terpejam.
            Ku mencoba menyadarkannya akan kedatanganku.
            “Nek…” Sapaku pelan
            Tak ada jawaban sama sekali. Aku khawatir apakah ini akhir hidupnya. Ku lihat dadanya masih bergerak turun naik. Aku lega. Ku pikir nek wan hanya tidur pulas.
            Aku merasa akan sia-sia jika pulang tanpa membangunkannya dan bercakap-cakap dengannya. Padahal aku sudah membawa bubur nasi dari rumah. Jika kutinggalkan disampingnya saja, pasti akan menjadi dingin dan rasanya tidak seenak sewaktu agak panas.
            “Nek…” Kali ini aku membangunkannya dengan mengguncang sedikit bahunya. Dan alhamdulillah tubuhnya bereaksi dan melencengkan pikiranku tadi.
            “Masya Allah, Nek!”
            Nek Wan hanya mampu berkedip. Susah payah ia mengucapkan kata-kata. Suaranya sengau dan jauh dari bisa ditangkap maksudnya. Mukanya sebelah kiri melorot. Ku lihat tangannya yang menyusut tadi semakin terkulai. Dan yang tidak aku sadari ternyata kaki kirinya juga tampak mengecil seperti tanpa tulang. Ia memaksakan diri untuk bergerak lebih, tapi aku melihatnya semakin kasihan. Tangan kanannya menghempas-hempas ke lantai. Hanya itu yang mampu dilakukannya disamping matanya yang mencurahkan air mata.
            Aku semakin panik. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Meninggalkannya sendirian disini dan menemui mak su Jah diladang salah satu kemungkinannya. Tapi aku sama sekali tidak tega meninggalkannya sendirian seperti ini. Ku keluar rumah dan berharap bertemu seseorang yang bisa membantu untuk melakukan sesuatu. Tapi sepi yang kutemukan kecuali anak-anak kecil bertelanjang kaki pulang sekolah dengan seragam sangat kumal.
            Orang-orang dewasa jam-jam begini pasti tengah menggarap mata pencahariannya. Berladang dan menyadap karet. Ada juga yang mencari kayu bakar. Aku kembali masuk dan melihat nek wan masih dalam keadaan sama. Keputusasaan tersirat diwajahnya. Hanya itu perberbedaannya.
            Aku tidak tahan dan linglung. Menangis adalah hal yang pertama aku lakukan untuknya. Sama sekali lupa dengan prinsipku bahwa laki-laki pantang menangis. Tapi kali ini paling tidak aku menunjukkan kepadanya bahwa aku juga merasakan apa yang ia rasa. Ia pasrah tidak mampu bergerak banyak, sedangkan aku pasrah tidak mampu berbuat banyak. Ia marah tidak mampu membangunkan tubuhnya, aku bahkan marah pada diriku sendiri tidak mampu memilih apakah akan meninggalkannya sendirian atau menemaninya disini. Pilihan kedua secara tidak sadar telah aku ambil.
            Terdengar sesuatu bergerak-gerak dari kunci kayu di dapur. Seseorang berusaha untuk masuk dengan menyodok-nyodok kuncinya. Bersegera aku berlari. Memegang kunci kayu yang terbuat dari sisa potongan papan itu kemudian meluruskannya. Sosok mak su berdiri diluar.
**********
            “Nek wan terkena strok” Bu Eti, tenaga kesehatan itu memaparkan kondisi nek wan beserta dengan ciri-ciri dan gejalanya.
            “Sering kesemutan atau tiba-tiba merasa pusing” Bu Eti menambahkan.
“Dan kaki nek wan yang hitam lebam itu akibat dari pembekuan darah. Kemungkinan terjadi salah penanganan pada kaki Nek Wan sewaktu ia tergelincir dulu” Bu Eti belum berhenti berujar.
            Mata mak su dan mak tertuju pada pak long. Tak alpa juga mata warga yang ikut mengerumuni nek wan yang terkulai lemah di pembaringan. Pak long menjadi serba salah dipandangi banyak mata. Tapi beruntung tidak ada yang mengungkit penyelamatan pertama pak long terhadap nek wan malam itu.
            Lebih-lebih mak su. Ia merasa dibohongi dengan ucapan pak long beberapa waktu lalu. Dan ia menyimpulkan, bahwa ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan makhluk halus.
            “Jadi, bagaimana menangani mak, bu?” Cepat-cepat pak long Dar bertanya. Lebih terkesan agar tidak ada suara yang menyalahkan dirinya.
            “Penyakit ini bisa disembuhkan dengan terapi. Tetapi perlu fasilitas yang menunjang dan waktu cukup lama. Fasilitas itu hanya ada dikota-kota besar. Untuk penyakit ini, penderitanya sulit bahkan tidak akan senormal seperti sedia kala. Apalagi nek wan sudah tidak lagi muda. Kemungkinan itu setebal kulit ari.” Bu Eti mempertegas ucapannya.
            Sama sekali tidak ada yang ditutup-tutupi oleh wanita berpendidikan itu. Disitulah letak kesalahannya. Membesarkan hati pasien dengan memberi motivasi untuk segera sembuh adalah etika profesional yang melekat padanya. Bukannya malah membuat pasien merasa tidak punya kesempatan. Dan sekarang, keputusasaan tidak menggelayuti wajah nek wan seperti yang kusaksikan tempo hari, melainkan semua anak cucunya, termasuk aku.
            Satu-satunya yang membuatku lega dari ucapan bu Eti adalah tentang asal muasal penyakit nek wan. Aku bebas. Rasa bersalah yang sempat hinggap menguap begitu saja. Aku menang meskipun hanya aku sendiri yang merasakannya. Hatiku berteriak dan puas.
            “Semua ini salah Marzuki!”
            Suara kak Rika tiba-tiba melengking menembusi dinding-dinding papan yang berlubang, tidak hanya mengejutkan semua jasad yang ada diruangan itu, bahkan kumbang yang tengah tertidur dilubangnya pun ikut merasa cemas dan keluar dengan suara berdengung-dengung dari kepakan sayapnya. Dan mataku terbelalak sebesar mulutku yang menganga.

Marzoeki, ST 1961
         
            “Sepertinya sangat sibuk profesor ganteng. Apakah aku mengganggumu jika mengingatkan bahwa pagi ini ada janji dengan mahasiswamu?”
            “Tidak honey. Maksudku terima kasih telah mengingatkanku. Aku tengah menterjemah tulisan ini kedalam Ejaan Yang Disempurnakan. Agar mahasiswa kelas sastra Bahasa Indonesia ku bisa membacanya. Ini adalah harta karun. Catatan lima puluh tahun silam mungkin bisa dijadikan aset museum. Aku menemukannya sebelum rumah di kampung di robohkan kemarin. Tak sengaja ketika membongkar-bongkar tumpukan buku-buku lama.”
            Ayeesha yang bisa berbahasa Indonesia itu membaca tulisan yang diketik oleh Prof. Karli. Secepat kilat dan mengangguk-angguk pelan.
            “Kenapa tulisan Marzoeki di bawah ini masih menggunakan huruf o dan e sedangkan dalam tiap pragraf diganti dengan huruf u?” Ayeesha mengkritisi terjemahanku.
            “Istri cerdas. Aku sengaja.” Jawab prof. Karli singkat.
            “Dan kau akan menjelaskannya pada mereka nanti, sementara aku kebingungan apa maksudnya, bukan? Lalu apa kepanjangan dari ST itu?”
            “Itu nama kampungku. Sange Tebat.” Lagi, jawaban prof. Karli pendek.
            “Apakah ini masih berlaku pada masyarakat disana?”
            “Aku yakin masih ada. Dan terakhir kedatanganku kemarin untuk menuntaskan perkara harta warisan, aku masih menemukan hal-hal serupa. Sama saat aku meninggalkan Indonesia puluhan tahun lalu. Sepertinya hal itu sulit untuk dihilangkan.”
            Ayeesha diam.
            “Begitulah jika budaya lebih didahulukan daripada agama. Perlu sosok seperti Marzoeki, maksudku abangmu untuk memberikan pencerahan.”
            “Well. Aku setuju. Tetapi sampai akhir hayatnya ia tidak pernah bercerita tentang hal ini padaku. Begitu pula dengan ibu, ayah dan kakak tertuaku.”
            “Aku hanya berpesan agar kau harus berhati-hati dalam menjelaskan kepada mahasiswa mu kelak. Tentu saja akan ada sudut pandang berbeda. Kau hanya ingin membandingkan harta karun berupa tulisan dalam bahasa Indonesia beberapa waktu silam dengan yang telah disempurnakan saat ini. Tapi aku tidak yakin jika mahasiswamu tidak akan berpendapat tentang budaya yang tersirat didalamnya.”
            Ayeesha benar. Tapi sebagai profesor di Universitas Nasional Australia, ia akan bertindak profesional. Tidak akan menghindari kemungkinan terjadinya berbagai prospektif. Lebih baik lagi jika ada yang bertanya tentang budaya itu dengan unsur agama yang dianut oleh masyarakat disana. Ini kesempatan untuk menjelaskan tentang agamaku kepada mereka. Semoga ini bisa menjadi ladang amal ibadah.

* Nek wan       : Nenek
  Nek aki          : Kakek
 Kemponan   : kecelakaan disebabkan karena tidak menjamah makanan/minuman jika ditawari

0 Messages:

Posting Komentar

 
;