Minggu, 06 April 2014

This is The End of Soe-Sab

“Kau tahu, aku seperti terbang melangit. Mengitari pegunungan, lalu melesat lebih tinggi lagi. Namun, tanpa sadar, ternyata sebelah sayapku tiba-tiba patah. Aku khawatir, was-was, resah bercampur gelisah. Pasrah. Jelas, kulihat nasib tengah mentertawakanku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain membiarkan itu berjalan apa adanya. Setiap kali aku coba mengepakkan sayap, setiap kali pula aku gagal. Jarak tubuhku dengan bumi semakin terpangkas. Di udara, aku menggapai-gapai, tetapi usahaku sia-sia belaka. Sebelum akhirnya aku terjatuh, berdebum di hutan rimba. Apa selanjutnya?”
……..
Aku menutup buku harianku. Hari kedua sejak mengetahui rahasia itu, masih saja membuat diriku benar-benar runtuh. Sabira, merubah menjadi asing dalam sekejap. Mengenalnya, ah itu ternyata ilusi semata. Ibaratnya mimpi yang berakhir saat suara azan memecah keheningan subuh hari.
Aku yakin, Sabira merasakan ketidaknyamanan yang sama.
Kami hanya berpura tidak terjadi apa-apa ketika keluar kamar. Dengan ibu, Sabira bahkan kelihatannya mulai semakin akrab. Aku mengamati bagaimana ibu mengajarinya memasak. Memperkenalkan rempah-rempah, mencoba resep masakan. Keduanya tertawa renyah. Tetapi aku tidak bisa ikut bergabung.
“Kenapa berdiri saja disitu?”
Suatu kali aku kepergok ibu. “Tidak apa-apa,” jawabku menetralisir keadaan. Sabira melirik kearahku, mencoba untuk melempar senyum. Belum sempurna, aku memalingkan muka.
………..
“Aku tahu yang kulakukan ini tidak memperbaiki keadaan. Ego yang terlalu kuturutkan. Sungguh, memaafkan Sabira telah kulakukan pada hari itu juga. Melupakan? Aku coba, tetapi nyatanya statusku bukanlah seorang malaikat. Jujur, aku ingin segalanya kembali seperti beberapa hari lalu.”
…………
Meski masih ada ganjalan, kututup buku harian dengan sesuatu yang baru. Tepat di samping, Sabira pulas membelakangiku. Bukannya ia marah, akulah tokoh kunci perbaikan hubungan kami berdua. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhempaskan lewat mulut. Dengan lembut, kuelus mahkota kebesaran Sabira. Ia tetap pulas.
………....................................................
Ketegangan kami masih berlanjut memasuki hari kedua. Sapa-sapa hanya berupa basa-basi. Aku telah berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Yang ada, Soe malah kian menjauh. Bukannya mengesampingkan, aku hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk berbuat lebih.
Tidak ada gunanya memaksakan jika perasaan Soe masih panas. Makanya aku berupaya saja mengenal ibu mertuaku lebih jauh. Aku minta diajari memasak. Terutama lauk kegemaran Soe.
“Soe itu Sab, makan lauk apa aja mau.”
Kami cekikikan bersamaan. Syukurlah, ucapku dalam hati. Ibu mertua juga menguji pengetahuanku tentang rempah-remah. Oho, rupanya aku harus belajar lebih banyak. Aku bahkan tidak tahu membedakan antara lengkuas dengan jahe. Lucu, ya.
“Kenapa berdiri saja disitu?”
Ibu mertua mendapati putra tunggalnya, sekaligus suamiku kini, terjegat di muka pintu pembatas ruang tengah dengan dapur. Soe tertawa canggung. Saat aku mencoba mengajaknya senyum, ia menepis. Aku kecewa. Kapan ini akan berakhir?
…………..
Soe masih sibuk dengan pen dan buku hariannya. Buku yang tak berani aku buka sekalipun sampai detik ini. Itu privasinya pribadi. Aku masuk kamar dan langsung berbaring. Tidak ada tanda-tanda ia akan mengajak bicara padahal esok sudah masuk hari ketiga. Mengambil posisi membelakangi, mungkin itu lebih disukai Soe saat ini. Aku pura-pura tertidur lelap. Tak lama, sebuah telapak tangan hinggap dikepalaku. Membelai dengan lembut berulang-ulang. Aku tetap pura-pura tidak sadar.
................................................................................
‪#‎anggapsajasudahselesai‬. Soe masih perlu sebuah pembuktian. Dan bukti itu baru bisa tampak, ketika Sabira punya kesempatan untuk menunjukkannya secara tampak dan tegas.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;