Wanita itu bersimpuh di hujung shalat subuhnya. Terpekur di sudut mushalla RSUD, ia menadahkan tangan dengan penuh kerendahan hati. Berharap buah hatinya segera pulih, lalu ia bisa beraktivitas sebagaimana biasanya.
Sungguh, air mata yang mengucur tak lagi Ana hiraukan. Khusyuknya dalam memohon kemurahan dan kasih sayang Allah, menjadikan ia lupa dimana sesungguhnya berada. Baru, saat seorang wanita masuk dan menuju lemari letak mukena, Ana tersadar. Wanita itu mengusap air matanya dan kemudian beranjak. Sisa-sisa tangis masih tampak jelas dari raut wajahnya.
"K' Ana, hari ini Towi ndak sekolah."
"Iya."
Pesan singkat yang masuk barusan tak lebih sekedar angin lalu. Ana dengan letih dan kepasrahan serta gontai, melangkahkan kaki menuju ruang kelas III.
Bari, anaknya masih tidur. Dekat situ, ada ibunya yang tengah berjaga.
"Ibu shalat saja dulu," pinta Ana dengan suara hampir seperti bisikan. Takut membangunkan Bari yang semalaman, boleh dibilang tidak bisa lelap. Baru menjelang fajarlah, putra semata wayangnya itu bisa memejamkan mata.
Ibunya Ana bangkit tanpa mengiyakan.
Ana menancapkan telapak tangannya pada jidat Bari. Panas.
Tit..tit...tit....
"K' Ana, Bila katanya masuk siang hari ini."
Ana diam, tak bisa langsung membalas pesan singkat kedua yang masuk beberapa detik lalu. Ia malah membetulkan kain yang menyelimuti Bari. Ia terduduk di tikar plastik yang dibawanya dari rumah. Barulah membuka ulang pesan singkat tadi.
"Maaf bu Diah, Bari lagi demam. Jadi, hari ini saya tidak bisa mengantar anak-anak ke sekolah."
Ah, sudahlah. Rejeki tak kemana-mana, pikirnya.
Dua tahun belakangan ini, Ana dengan berat hati mengambil profesi sebagai tukang ojek anak sekolah. Buah dari menebalkan muka, mulai dari menawarkan diri pada tetangga sampai menerima kata-kata yang memojokkan, "itu pekerjaan laki-laki."
Hari-hari dalam beberapa bulan pertama, pelanggannya cuma satu dua orang. Dengan dibayar lima puluh ribu perbulan dari satu siswa, semangat Ana masih saja membaja. Hei, jika tidak demikian, siapa lagi yang menafkahi ibunya yang renta dan Bari. Suami yang diandalkannya, telah berpulang. Kerja kerasnya tampak sekarang. Belasan anak sudah menjadi pelanggan tetap yang mesti diantar jemput setiap hari dalam sepekan.
Tit...tit...tit....
"Ya, ndak apa-apa K' Ana. Semoga Bari cepat sembuh ya."
"Terima kasih."
..............
"Pemirsa, kemeriahan hari Kartini bergema dimana-mana di seluruh Indonesia. Mau tahu kemeriahannya seperti apa, berikut liputannya...."
Ana mengintip dari ruang para perawat. Berita di TV menyuguhkan anak-anak TK berlenggak-lenggok di podium. Semuanya menggunakan pakaian tradisional. Tak lama setelah itu, berpindah ke acara penerimaan hadiah. Seorang bocah perempuan dan laki-laki seusia Bari, senyum sumringah dan malu-malu menerima piala. Sorak sorai dan tepuk tangan orang tua peserta, menambah-nambah semaraknya keadaan.
Lalu, liputan berpindah ke tempat lain, untuk acara serupa pula. Namun, Ana tidak punya waktu untuk menyaksikannya lebih lama.
...............
Berlebihankah jika kita mengatakan, "Ana adalah seorang Kartini yang sesungguhnya di masa sekarang ini?"
................
K' Ana yang sebenarnya memang ada, dengan profesi serupa pula. Pertama kali mengetahuinya, aku terkagum-kagum. Namun, cerita selain itu, cuma fiksi belaka.
Sungguh, air mata yang mengucur tak lagi Ana hiraukan. Khusyuknya dalam memohon kemurahan dan kasih sayang Allah, menjadikan ia lupa dimana sesungguhnya berada. Baru, saat seorang wanita masuk dan menuju lemari letak mukena, Ana tersadar. Wanita itu mengusap air matanya dan kemudian beranjak. Sisa-sisa tangis masih tampak jelas dari raut wajahnya.
"K' Ana, hari ini Towi ndak sekolah."
"Iya."
Pesan singkat yang masuk barusan tak lebih sekedar angin lalu. Ana dengan letih dan kepasrahan serta gontai, melangkahkan kaki menuju ruang kelas III.
Bari, anaknya masih tidur. Dekat situ, ada ibunya yang tengah berjaga.
"Ibu shalat saja dulu," pinta Ana dengan suara hampir seperti bisikan. Takut membangunkan Bari yang semalaman, boleh dibilang tidak bisa lelap. Baru menjelang fajarlah, putra semata wayangnya itu bisa memejamkan mata.
Ibunya Ana bangkit tanpa mengiyakan.
Ana menancapkan telapak tangannya pada jidat Bari. Panas.
Tit..tit...tit....
"K' Ana, Bila katanya masuk siang hari ini."
Ana diam, tak bisa langsung membalas pesan singkat kedua yang masuk beberapa detik lalu. Ia malah membetulkan kain yang menyelimuti Bari. Ia terduduk di tikar plastik yang dibawanya dari rumah. Barulah membuka ulang pesan singkat tadi.
"Maaf bu Diah, Bari lagi demam. Jadi, hari ini saya tidak bisa mengantar anak-anak ke sekolah."
Ah, sudahlah. Rejeki tak kemana-mana, pikirnya.
Dua tahun belakangan ini, Ana dengan berat hati mengambil profesi sebagai tukang ojek anak sekolah. Buah dari menebalkan muka, mulai dari menawarkan diri pada tetangga sampai menerima kata-kata yang memojokkan, "itu pekerjaan laki-laki."
Hari-hari dalam beberapa bulan pertama, pelanggannya cuma satu dua orang. Dengan dibayar lima puluh ribu perbulan dari satu siswa, semangat Ana masih saja membaja. Hei, jika tidak demikian, siapa lagi yang menafkahi ibunya yang renta dan Bari. Suami yang diandalkannya, telah berpulang. Kerja kerasnya tampak sekarang. Belasan anak sudah menjadi pelanggan tetap yang mesti diantar jemput setiap hari dalam sepekan.
Tit...tit...tit....
"Ya, ndak apa-apa K' Ana. Semoga Bari cepat sembuh ya."
"Terima kasih."
..............
"Pemirsa, kemeriahan hari Kartini bergema dimana-mana di seluruh Indonesia. Mau tahu kemeriahannya seperti apa, berikut liputannya...."
Ana mengintip dari ruang para perawat. Berita di TV menyuguhkan anak-anak TK berlenggak-lenggok di podium. Semuanya menggunakan pakaian tradisional. Tak lama setelah itu, berpindah ke acara penerimaan hadiah. Seorang bocah perempuan dan laki-laki seusia Bari, senyum sumringah dan malu-malu menerima piala. Sorak sorai dan tepuk tangan orang tua peserta, menambah-nambah semaraknya keadaan.
Lalu, liputan berpindah ke tempat lain, untuk acara serupa pula. Namun, Ana tidak punya waktu untuk menyaksikannya lebih lama.
...............
Berlebihankah jika kita mengatakan, "Ana adalah seorang Kartini yang sesungguhnya di masa sekarang ini?"
................
K' Ana yang sebenarnya memang ada, dengan profesi serupa pula. Pertama kali mengetahuinya, aku terkagum-kagum. Namun, cerita selain itu, cuma fiksi belaka.
0 Messages:
Posting Komentar