Rabu, 23 April 2014

RATAPAN VIOLA (2)

Bukannya menyesali kepergian ayah, yang mengherankanku adalah, sampai ajal pun ia kukuh dengan pendapatnya. Saat kumintai penjelasan, ayah selalu saja menepis. Ada yang mengendap dan terpendam jauh di lubuk hatinya. Bahkan detik ini, aku tidak tahu apa itu. Bertanya pada ibu pun sama. Seolah mereka bersekongkol menghijabi sebuah kenyataan dariku.

Aku masih setia menunggu mama Vio menjawab pertanyaanku. Berselang beberapa detik, belum ada tanda-tanda wanita itu angkat bicara. Matanya menerawang jauh, jauh sekali. Seperti menyibak adegan demi adegan di waktu lampau.

Kreeekk...."Soe, cepat desak mama Vio agar bicara."

Aku membetulkan dudukan. Suara dari headset mengingatkanku tengah memandu talkshow spesial "BERSAMA MAMA VIO". Aku mengangguk kecil hampir samar.

"Mama Vio, maaf."
Tampak kaget wanita itu. Kesadarannya langsung pulih. Ia berucap maaf pula.

"Biar saya ulangi lagi pertanyaannya, mama. Adakah hal lain di dunia yang mama inginkan atau belum tercapai hingga saat ini?"

Dengan pasti, kulihat mama Vio menjawab, "ada!"
...............

Sejak tumbuh sebagai bocah remaja, aku suka menggambar. Ketika teman sekelas sukanya menggambar gunung, pepohonan dan bunga-bunga, aku justru meniru gambar kartun di tas-tas mereka. Angka delapan memang tak lepas terukir manis di buku gambarkan. Hampir setiap lembarannya.

Beranjak Sekolah menengah pertama, cerita pendek remaja serta komik petualangan menjadi makanan harianku. Rupanya disanalah mulai tampak bakatku yang sesungguhnya.

"Soe, besar nanti mau jadi apa?" Suatu waktu ayah bertanya sembari membelai rambutku yang keriting dan sering gatal-gatal.

"Soe ingin pandai menggambar, pandai menulis, ingin sering muncul di tipi."

Ayah mendadak gelisah. "Kalau guru bagaimana, atau dokter, atau polisi."  Ayah jelas-jelas berupaya membelokkan impian masa kecilku.

Aku menggaruk-garuk kepala.

Di sekolah menengah atas, kepiawaian menulisku kian menanjak. Pers sekolah menjadi tempatku bernaung. Bakatku tersalurkan. Sesekali, cerpen yang kubesut termuat di koran lokal. Tapi entah berapa banyak yang tertampang di bulentin sekolah. Dari menulis cerita, aku merambah dunia jurnalisme tahap pemula.

Semakin menjadi-jadi apabila memakan bangku perkuliahan. Pers mahasiswa yang skalanya lebih besar, semakin menantang kebolehanku. Awalnya menjadi kader, meningkat menjadi kepala divisi, hingga menapaki puncak sebagai editor. Tak jarang juga mengisi waktu luang sebagai presenter di radio kampus.

Lambat laun, aku semakin pasti. Jurnalisme dan kepenulisan, merupakan setengah dari diriku. Tak terpisahkan.

"Ayah tidak setuju!"

Ayah berang mendapatiku mengikuti audisi pencarian Anchor News sebuah televisi Nasional milik swasta.

"Kenapa ayah? Adakah yang salah dengan pembaca berita?"

Langkah awal menuju kesana tentunya tidaklah mudah. Peserta harus menjadi wartawan dahulu. Kalau beruntung dan meyakinkan, baru menginjakkan kaki di studio yang ekstra mewah. Tak menutup kemungkinan, setiap harinya, selalu saja ada wajahmu di televisi.

Ayah masih tidak memberikan alasan. Darah tinggi yang menyerang, menghabiskan sisa umurnya. Bersamaan dengan itu pula, alasan yang kutagih ikut terkubur bersama dirinya.

Kenapa ayah?

Kenapa?

0 Messages:

Posting Komentar

 
;