Jumat, 21 Juni 2013

Last Job of Superman?

“Apa!”
            Lois dengan malas menyodorkan sobekan surat kabar hari ini kepada suaminya, Clark. Dalam hitungan detik setelahnya, wanita itu memilih hengkang dari sana. Tidak peduli bagaimana reaksi pasangan hidupnya itu. Menolak, ah ia hanya berusaha membantu. Tetapi lebih baik seandainya lowongan yang diberikannya ditanggapi.
           Akhir-akhir ini temperamen Clark memburuk. Setumpuk tagihan yang mesti diselesaikan dalam bulan ini. Listrik, air, telepon, biaya sekolah anak-anak, belum lagi sikap istrinya yang mudah marah lantaran hamil muda. Namun apa yang bisa dilakukannya? Bukan berarti dunia telah aman. Persaingan antar superhero semakin ketat. Dan para klien tidak lagi membutuhkan jasanya. Yang terbaru adalah, kau tahu MAN OF STEEL. 
          “Pekerjaan sampah!”
          Tangan Clark yang keras langsung melumat kertas tersebut sejadi-jadinya. Membentuknya seperti bola dan memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Ia melanjutkan lagi menyesap kopinya yang dingin. Layar komputer berkedip-kedip seolah menunjukkan perasaannya.
          Lois muncul lagi setelah menidurkan anaknya yang baru kelas satu sekolah dasar di kamar. Perang dingin sebenarnya masih terjadi antara keduanya, tetapi hatinya lebih kepada keinginan untuk mengetahui pendapat suaminya.
         “Bagaimana, Clark?” Tanya Lois.
         “Tidak!” Singkat, padat, dan jelas. Artinya tiada kompromi setelahnya.
         “Baiklah. Jhon sebenarnya sudah berkali-kali memintaku untuk bekerja lagi padanya. Dan kukira ini saatnya mengakhiri harapannya. Mungkin aku masih segesit dulu. Mulai besok, kau yang akan mengurus anak-anak. Aku akan berangkat pagi-pagi sekali. Itu enam hari selama satu minggu. Begitu seterusnya sampai …… “
        Clark memangkas omelan istrinya yang mengalir deras. “Tidak ada sampai. Karena aku tidak setuju. Melakukan apa yang kau minta maupun kau yang bekerja. Titik.”
       Gunung es di benak Louis mulai mencair. Sialnya, itu membuatnya naik pitam seketika. “Lalu apa maumu, S?”
       Clark membisu. Sementara istri yang dinikahinya lima belas tahun silam itu mematung menunggu jawaban. Kedua tangannya bersilang didada. Sebuah tanda perlawanan dan pantang menyerah. Oh, wanita itu sudah jenuh dengan rumah tangganya yang jauh lebih berantakan kali ini. Berulang kali Clark membujuknya, sebagai hiburan, untuk terbang ke langit, sebanyak itu pula ia menolak. Saat ini, tidak ada yang lebih penting dari hidupnya selain anak-anak. Tepatnya, nasib anak-anaknya yang memprihatinkan saat ini.
      “Kau lihat ini, Lois.” Clark menunjuk kearah layar komputer. “Naskah ini sebentar lagi akan kelar. Dan aku yakin, pasar akan memangsanya tanpa ampun. Seketika itu juga, uang akan mengalir deras ke dompet ku. Dompet kita maksudku.” Untuk yang terakhir itu Clark menurunkan suaranya. Bukannya ia tidak mau berbagi penghasilan dengan istrinya. Ia hanya sama tidak yakinnya akan hasil tulisannya. Sejauh ini, plot tulisannya mandek pada bagian ending. Terlalu biasa atau seandainya dipaksakan berlanjut, maka akan tampak klise.
        “Ok.” Lois mengendorkan tameng dirinya. Memilih berbaring lekas di atas ranjang. Ujungnya sudah ketahuan, tak lebih dari debat kusir. Dan sebelum ia menutup diri dengan seprai, Louis berkata lemah, “bawa itu semua besok ke penerbitmu, ya. Susu formula Smith hampir habis.”
………….
        Ini mimpi buruk, benak Clark berteriak. Apa yang tengah dikerjakannya diatas langit saat ini? Merendahkan!
        Tetapi ia tetap meneruskan usahanya. Penangkapan pertama belum juga membuatnya hatinya tersenyum. Kedua, tidak berbeda. Ketiga dan keempat, tetap serupa. Sang Superman baru bisa menikmati pekerjaan pada hitungan kelima dan seterusnya. Ada suara-suara berteriak dibawah sana. Menyebut-nyebut dirinya. Sesuatu yang sudah lama hilang dari kesehariannya. Dan itu, itu sangat menyenangkan.
       “Lihat, Superman!”
       Rasa terhina menyebabkan Clark secepatnya menghilang dari langit. Lumayan, pikirnya. Paling tidak bisa menaikkan nilai tawarnya pada Lois. Meski awalnya kesal, Clark masih ingin mencobanya esok sore.
        “Biar aku yang menjualnya,” pinta Lois penuh sumringah di wajahnya saat Clark menyuguhkan apa yang didapatnya. Kali ini Clark sama sekali tidak membantah.
         Dalam angannya, Lois menghitung pendapatannya dari menjual dua belas layang-layang yang dibawa suaminya. Di kalikan dengan penjualan lima ribu rupiah perbuah, enam puluh ribu cukup untuk keperluan mereka yang diperketat.
………
       Malam sebelumnya, beberapa saat sebelum Clark menutup harinya di depan komputer, lelaki itu mengambil lagi kertas yang telah dilumatnya dari tong sampah. Disana tertulis;
Musim menatap langit, pemerintah Kabupaten Sambas menjadikan musim ini sebagai ajang memperkenalkan salah satu wisata budaya. Layang-layang memenuhi cakrawala setiap sore. Sementara teriakan anak-anak pengejar layang-layang putus menjadi irama yang mengikutinya.


    

0 Messages:

Posting Komentar

 
;