"Good Job, kawan. Selamat proposalmu diterima."
"Alhamdulillah, ini semua tak lepas dari bantuan dari rekan-rekanku."
Proposal penelitian daerah perbatan RI-Malaysia yang aku ajukan berhasil lolos. Dan proyek penelitian itu menjadi tanggungjawabku sekarang. Tentu ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi karirku.
"Apa langkahmu selanjutnya?"
"Ini memang bukan penelitian untuk pertama kalinya mengenai daerah perbatasan. Namun, kami akan melebarkan sayap lebih luas dimana bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik, tapi sosial, budaya dan lingkungan juga akan include di dalamnya."
Aku diam sejenak. Menyeruput cappucino yang masih mengepul-ngepulkan asap kemudian menghilang. Sementara Nasution tengah sibuk memikirkan apa yang barusan didengarnya. Tangannya memainkan sendok didalam gelas berisi cairan pekat. Sesekali kepalanya turun naik.
Ku melanjutkan ucapanku tentang rencana tim penelitian kami selanjutnya.
"Dalam waktu dekat kami akan menggandeng World Wildlife Fund dan dua universitas dari Malaysia untuk menggelar workshop internasional dengan tema "Pembangunan Berbasis Lingkungan di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia-Brunei, Kawasan Heart of Borneo: Sebuah Pendekatan Multi Disiplin." * Brunei juga termasuk negara yang terlibat disini. Karena negara tersebut juga berbatasan langsung dengan pulau kita."
"Menarik." Jadi apa yang bisa kami lakukan dari pihak pemerintah daerah.
"Aku kesal. Apa saja sih pekerjaan kalian disana. Aku meminta atas nama sahabat, warga dan akademisi agar kamu dan lembaga yang menaungimu segera berbuat sesuatu. Menonton tidak akan menyelesaikan masalah."
"Tidak semudah itu kawan. Meskipun posisiku sekarang sebagai Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal, namun kita bekerja ada aturannya."
"Selalu. Itulah senjata pamungkas kalian."
Nas mendesah. Mungkin terlalu bingung untuk menjelaska padaku. Tepatnya memberikan pengertian. Ia tersenyum sinis sendiri.
"Apakah makan siang ini hanya sebuah penghakiman buat diriku?" Kemudian Nas mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku menagihnya kembali lain kali selama kau duduk disana tanpa berbuat apa-apa."
Nas menempelkan telapak tangan kanan diatas jidatnya. "Ya ampun." Tukasnya kemudian.
"Kamu ingat Laras? Teman SMU." Ku memutar stir pembicaraan.
"Laaras." Susah payah Nas mengingat sosok pemilik nama itu. Bayangan teman-teman wanita semasa SMU berkelebat di pikirannya.
"Anggap saja mantan ku." Jujur aku tidak suka menggunakan kata "mantan". Tapi apa boleh buat. Itu akan memudahkan Nas untuk mengingat wanita itu.
"O..iya. Baru aku ingat. Primadona SMU." Nas bersiul.
"Tadi aku melihat wajahnya. Maksudku, mahasiswa bimbingan skripsiku memiliki wajah yang mirip dengannya. Bagai pinang tidak dibelah." Aku menjelaskan inti pertemuan kami sesungguhnya.
"Sekalian saja dibelah sepuluh." Nas memunculkan tabiatnya yang suka usil terhadapku.
Ia melanjutkan, "Apakah kamu berencana mencari pengganti Maya secepatnya?"
"Enam bulan seharusnya cepat berlalu. Tetapi tidak sepeninggalannya. Aku terasa kewalahan menangani Hani sendirian. Meskipun akhirnya aku sudah sangat terbiasa. Tapi tetap saja tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu punya sense yang cukup dalam. Sedangkan aku. Aku memang tidak menyukai anak-anak kecuali putriku sendiri. Itulah masalahnya. Berbeda dengan Maya, sebelum menikahpun ia sudah menunjukkan sifat keibuannya."
"Aku mengerti perasaanmu. Kamu tentu sangat merindukan Maya kan, Dan?"
Aku mengangguk.
"Apakah kamu masih mencintai Laras?"
"Gadis bernama J itu mengingatkanku padanya. Boleh jadi dia anaknya." Aku mengangkat gelas berisi minuman kecoklatan itu sebagai tegukan terakhir.
"Apakah kamu masih mencintai Laras?" Takut-takut Nas bertanya lagi.
"Tidak. Tetapi mungkin, jika ada kesempatan kedua."
"Apakah kamu lupa bagaimana ia mencampakkanmu demi Reynold?"
"Seandainya Maya ada disini. Tentu aku tidak akan pernah memikirkan ini lagi walaupun kesempatan kedua itu benar-benar ada. Maya bagai malaikat buatku. Melaluinya aku mendapat hidayah. Aku sangat bersyukur atas iman ini."
"Apa langkahmu selanjutnya?"
"Ini memang bukan penelitian untuk pertama kalinya mengenai daerah perbatasan. Namun, kami akan melebarkan sayap lebih luas dimana bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik, tapi sosial, budaya dan lingkungan juga akan include di dalamnya."
Aku diam sejenak. Menyeruput cappucino yang masih mengepul-ngepulkan asap kemudian menghilang. Sementara Nasution tengah sibuk memikirkan apa yang barusan didengarnya. Tangannya memainkan sendok didalam gelas berisi cairan pekat. Sesekali kepalanya turun naik.
Ku melanjutkan ucapanku tentang rencana tim penelitian kami selanjutnya.
"Dalam waktu dekat kami akan menggandeng World Wildlife Fund dan dua universitas dari Malaysia untuk menggelar workshop internasional dengan tema "Pembangunan Berbasis Lingkungan di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia-Brunei, Kawasan Heart of Borneo: Sebuah Pendekatan Multi Disiplin." * Brunei juga termasuk negara yang terlibat disini. Karena negara tersebut juga berbatasan langsung dengan pulau kita."
"Menarik." Jadi apa yang bisa kami lakukan dari pihak pemerintah daerah.
"Aku kesal. Apa saja sih pekerjaan kalian disana. Aku meminta atas nama sahabat, warga dan akademisi agar kamu dan lembaga yang menaungimu segera berbuat sesuatu. Menonton tidak akan menyelesaikan masalah."
"Tidak semudah itu kawan. Meskipun posisiku sekarang sebagai Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal, namun kita bekerja ada aturannya."
"Selalu. Itulah senjata pamungkas kalian."
Nas mendesah. Mungkin terlalu bingung untuk menjelaska padaku. Tepatnya memberikan pengertian. Ia tersenyum sinis sendiri.
"Apakah makan siang ini hanya sebuah penghakiman buat diriku?" Kemudian Nas mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku menagihnya kembali lain kali selama kau duduk disana tanpa berbuat apa-apa."
Nas menempelkan telapak tangan kanan diatas jidatnya. "Ya ampun." Tukasnya kemudian.
"Kamu ingat Laras? Teman SMU." Ku memutar stir pembicaraan.
"Laaras." Susah payah Nas mengingat sosok pemilik nama itu. Bayangan teman-teman wanita semasa SMU berkelebat di pikirannya.
"Anggap saja mantan ku." Jujur aku tidak suka menggunakan kata "mantan". Tapi apa boleh buat. Itu akan memudahkan Nas untuk mengingat wanita itu.
"O..iya. Baru aku ingat. Primadona SMU." Nas bersiul.
"Tadi aku melihat wajahnya. Maksudku, mahasiswa bimbingan skripsiku memiliki wajah yang mirip dengannya. Bagai pinang tidak dibelah." Aku menjelaskan inti pertemuan kami sesungguhnya.
"Sekalian saja dibelah sepuluh." Nas memunculkan tabiatnya yang suka usil terhadapku.
Ia melanjutkan, "Apakah kamu berencana mencari pengganti Maya secepatnya?"
"Enam bulan seharusnya cepat berlalu. Tetapi tidak sepeninggalannya. Aku terasa kewalahan menangani Hani sendirian. Meskipun akhirnya aku sudah sangat terbiasa. Tapi tetap saja tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu punya sense yang cukup dalam. Sedangkan aku. Aku memang tidak menyukai anak-anak kecuali putriku sendiri. Itulah masalahnya. Berbeda dengan Maya, sebelum menikahpun ia sudah menunjukkan sifat keibuannya."
"Aku mengerti perasaanmu. Kamu tentu sangat merindukan Maya kan, Dan?"
Aku mengangguk.
"Apakah kamu masih mencintai Laras?"
"Gadis bernama J itu mengingatkanku padanya. Boleh jadi dia anaknya." Aku mengangkat gelas berisi minuman kecoklatan itu sebagai tegukan terakhir.
"Apakah kamu masih mencintai Laras?" Takut-takut Nas bertanya lagi.
"Tidak. Tetapi mungkin, jika ada kesempatan kedua."
"Apakah kamu lupa bagaimana ia mencampakkanmu demi Reynold?"
"Seandainya Maya ada disini. Tentu aku tidak akan pernah memikirkan ini lagi walaupun kesempatan kedua itu benar-benar ada. Maya bagai malaikat buatku. Melaluinya aku mendapat hidayah. Aku sangat bersyukur atas iman ini."
Next--------> Insya Allah
* Referensi: Kompas.com
0 Messages:
Posting Komentar