Selasa, 14 Februari 2012

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 6)

     Tinggal hitungan hari menunggu kelahirkan bayi kami. Aku dan Maya mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari berbagai nama-nama islami yang diseleksi dari belasan buah buku sampai pada pakaian serta perlengkapan bayi lainnya.
     Sesuatu diluar nalar membingunkanku. Hal itu aku sesalkan hingga detik ini. Perubahan emosional yang sangat drastis dari diri Maya waktu itu. Sebagai upaya untuk menghibur diri, kuanggap itu sebagai suatu hal yang wajar bagi setiap wanita menjelang proses persalinan. Terlalu khawatir dan mungkin juga was-was. Tapi terkadang aku tidak tahan. Amarahnya sering menjadi-jadi dan tanpa alasan. Entah apa yang dipikirkannya. Bukan seharusnya mempersiapkan diri serta mentalnya untuk menghadapi jihad di hari H. Ia justru sering melampiaskan murkanya kepadaku.
     Itu semua bermula ketika Maya keluar rumah. Meskipun dalam usia kandungan hampir mencapai sembilan bulan, ia bersikukuh untuk menemui seseorang yang menghubunginya via HP. Aku melarangnya, tetapi ia tetap ngotot. "Ini sangat penting, mas!" Katanya kemudian.
     Aku mengalah dan bermaksud menjadi sopirnya saja kesana. Ia melarang keras. Seolah aku akan mengacaukan segala-galanya.
     "Ini urusan perempuan." Ia mencegahkan lewat kata-katanya.
     Lama aku menunggu, ternyata Maya tidak juga keluar rumah. Hatiku makin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang tengah berlaku. Ku menanyakan perihal niatnya untuk keluar, tapi ia menampiknya dengan mengatakan dibatalkan. Lalu aku berangkat dan mengecup keningnya.
     Entah apa yang terjadi dirumah pagi itu. Kepulanganku dari kampus sore harinya disambut dengan berjuta bara. Untungnya bara itu tidak sampai membakar. Mulut Maya terkunci gembok. Andai saja aku bisa mencari kuncinya meskipun dilautan terdalam, akan aku lakukan. Asal Maya mau bicara. Tapi nihil, Maya membuang kuncinya ketempat yang tidak mungkin aku jangkau, ke masa lalu.
     "Ada apa mi." Ku melabuhkan tangan kepundaknya
     Ia menepis daratan tanganku dan sedikit menjauh dengan bisu dan tatapan nanar. Posisinya masih terduduk di sofa di ruang tamu.
     "Abi tahu ummi cukup khawatir menghadapi masa-masa persalinan. Tapi itu akan kita hadapi bersama-sama. Insya Allah."
     Maya yang lima belas tahun dibawahku tetap bungkam. Apakah gejolak masa-masa remaja masih melekat didalam dirinya. Padahal bukankah seharusnya ia sudah menjadi lebih dewasa. Dua puluh lima tahun bukan lagi saatnya untuk bertindak kekanak-kanakan dengan merajuk dan sebagainya. Apapun masalahnya, harus dibicarakan.
    "Mi, jika ada sesuatu yang salah dengan diri abi tolong katakan. Supaya abi bisa segera memperbaikinya."
Aku mencoba menembusi benteng kebisuannya. Tetapi tidak berhasil. Aku dan Maya diam untuk beberapa saat.
    Diluar rumah angin mulai menggerek awan yang sudah menjatuhkan butiran-butiran gerimis dicelah-celahnya. Langit menjadi mendung dan berangin pelan. Seharusnya itu mampu membuat hati Maya ikut dingin.
    "Dari sesuatu yang tidak pernah ummi lakukan dihari-hari sebelumnya. Beriya-iya ingin keluar sendirian padahal itu sangat ummi pantangi kecuali dengan mukhrim. Dan sekarang, kedatanganku disambut dengan kemurkaan. Apa sebenarnya mi? Apa yang menyebabkan rumah ini tidak lagi bagai di syurga?"
    Beningan kecil mulai muncul dari celah kedua mata Maya. Apakah kata-kataku sekasar itu hingga membuat Maya menangis. Tidak. Kata-kata dan intonasi suaraku tadi sudah yang teramat lembut bagi seseorang ketika marah. Pasti bukan itu.
    "Ummi hanya capek." jawaban pertamanya yang sama sekali tidak memuaskanku. Jawaban yang diperuntukkan sebagai pengalih perhatianku. Dan itu tidak berhasil. Ada sesuatu gejolak dihatinya yang ditampakkannya lewat bahasa tubuh. Satu hal yang berhasil Maya lakukan adalah merahasiakan apa yang mengganggu pikirannya.
    Aku mencoba untuk mengorek lebih jauh penjelasannya tadi. Tetapi niatku urung. Satu-satunya kebenaran yang kutemukan diwajahnya adalah dia benar-benar letih. Bukan karena bayi kami. Karena peristiwa tadi pagi.
    Hari-hari berikutnya kutemukan Maya menjadi sosok yang emosional bahkan pasca melahirkan Hani.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;