"Hey J" Bu Lena menyapa gadis yang mengikuti belakangku
Sapaan yang terdengar sangat akrab dari seorang dosen pada mahasiswanya. Tapi itu lumrah. Aku hanya tidak menyangka.
"Ya, bu" Mahasiswi yang dipanggil J itu membalas malu-malu.
"Silakan duduk. Saya tidak punya banyak waktu." Aku meminta.
"Kamu beruntung pak Daniel." Lagi bu Lena sok ambil peduli terhadap ku. Tapi kata "beruntung" mengusik rasa penasaranku.
"Beruntung?" Aku mengerutkan kening
Bu Lena tiba-tiba gusar. Seperti ada yang salah dengan kata-katanya sendiri. Padahal yang menjadi sasaran ku adalah kata "beruntung". Tapi sepertinya bukan kata itu yang membuatnya gelisah. Sejenak ia terdiam. Mencari kata yang tepat untuk menjawab sekaligus menjelaskan apa yang kutanyakan.
Terbata-bata ia mengatakan "J, J itu anak yang cerdas."
"Well, semoga. Bukankah begitu J"
Sekarang aku hanya tidak ingin berlama-lama dengan mahasiswi ini. Aku tahu dia sangat perlu berkonsultasi denganku sama perlunya aku ingin menghadiri pertemuan pagi ini.
Mahasiswi tersebut langsung duduk di depan meja. Kami saling menghadap. Baru kali ini aku benar-benar melihat rupa wajahnya dengan seksama. Tak sadar aku terpaku. Wajah itu?.
Lamunan ku buyar seketika ia memanggil namaku pelan. Ingatanku melampaui puluhan tahun silam. Tentang sesosok yang mirip gadis itu dan juga tentang harapan-harapan indah kala itu. Beruntung, ia berhasil menarikku kembali ke saat sekarang ini. Mengingatkanku untuk apa kami saling berhadapan.
"Jayanti Rahman. Apa yang kau angkat lady" Ku baru tahu nama lengkapnya dari naskah skripsi yang disodorkannya kepadaku. Boleh jadi panggilan "J" diambil dari huruf depan namanya.
Ia menjelaskan sekilas judul beserta tema penelitiannya. Mataku menjelajahi secara random dan membolak-balik tiap halaman. Sementara, penjelasannya tidak terlalu ku gubris. Sebenarnya aku hanya ingin mengetahui apakah ia benar-benar menguasai apa yang telah dituliskannya.
Panjang lebar ia menjelaskan. Intinya telah ku dapat ketika membaca poin latar belakang.
"Lalu apa yang kau temukan?"
"Pergeseran itu terjadi pada dasawarsa terakhir. Hipotesis itu diterima. Tetapi, seperti yang saya tuliskan pada bab terakhir, bahwa ini belum bisa digeneralisir. Karena, persebaran media komunikasi di Indonesia masih belum merata. Meskipun sudah memasuki pelosok-pelosok negeri. Disini juga tertulis beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Diluar perspektif biaya tentunya."
Aku memuji naskah sekaligus isi skripsi ini. Aku sangat setuju dengan hipotesis yang menjadi dasar penelitian ini. Cukup bagus untuk mahasiswa S1. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala dengan memujinya saat itu juga.
"Baiklah J, saya perlu waktu lebih lama untuk mengoreksinya. Insya Allah pekan depan kita ketemu lagi. Saya pikir lebih baik pukul sepuluh saja."
"Ya, Pak."
J langsung keluar dari ruang jurusan. Meninggalkan aku dan bu Lena yang suka mencampuri urusan orang lain. Katanya berbela sungkawa atas meninggalnya Maya, tapi pada hari itu ia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Betul kata ibu, J anak yang pintar. Ups..sorry, cerdas" Aku menggaris bawahi "cerdas" secara tampak kepada rekan wanita seprofesiku.
Ia hanya tersenyum puas. Dan aku tidak tahu apa arti senyumnya itu.
Sapaan yang terdengar sangat akrab dari seorang dosen pada mahasiswanya. Tapi itu lumrah. Aku hanya tidak menyangka.
"Ya, bu" Mahasiswi yang dipanggil J itu membalas malu-malu.
"Silakan duduk. Saya tidak punya banyak waktu." Aku meminta.
"Kamu beruntung pak Daniel." Lagi bu Lena sok ambil peduli terhadap ku. Tapi kata "beruntung" mengusik rasa penasaranku.
"Beruntung?" Aku mengerutkan kening
Bu Lena tiba-tiba gusar. Seperti ada yang salah dengan kata-katanya sendiri. Padahal yang menjadi sasaran ku adalah kata "beruntung". Tapi sepertinya bukan kata itu yang membuatnya gelisah. Sejenak ia terdiam. Mencari kata yang tepat untuk menjawab sekaligus menjelaskan apa yang kutanyakan.
Terbata-bata ia mengatakan "J, J itu anak yang cerdas."
"Well, semoga. Bukankah begitu J"
Sekarang aku hanya tidak ingin berlama-lama dengan mahasiswi ini. Aku tahu dia sangat perlu berkonsultasi denganku sama perlunya aku ingin menghadiri pertemuan pagi ini.
Mahasiswi tersebut langsung duduk di depan meja. Kami saling menghadap. Baru kali ini aku benar-benar melihat rupa wajahnya dengan seksama. Tak sadar aku terpaku. Wajah itu?.
Lamunan ku buyar seketika ia memanggil namaku pelan. Ingatanku melampaui puluhan tahun silam. Tentang sesosok yang mirip gadis itu dan juga tentang harapan-harapan indah kala itu. Beruntung, ia berhasil menarikku kembali ke saat sekarang ini. Mengingatkanku untuk apa kami saling berhadapan.
"Jayanti Rahman. Apa yang kau angkat lady" Ku baru tahu nama lengkapnya dari naskah skripsi yang disodorkannya kepadaku. Boleh jadi panggilan "J" diambil dari huruf depan namanya.
Ia menjelaskan sekilas judul beserta tema penelitiannya. Mataku menjelajahi secara random dan membolak-balik tiap halaman. Sementara, penjelasannya tidak terlalu ku gubris. Sebenarnya aku hanya ingin mengetahui apakah ia benar-benar menguasai apa yang telah dituliskannya.
Panjang lebar ia menjelaskan. Intinya telah ku dapat ketika membaca poin latar belakang.
"Lalu apa yang kau temukan?"
"Pergeseran itu terjadi pada dasawarsa terakhir. Hipotesis itu diterima. Tetapi, seperti yang saya tuliskan pada bab terakhir, bahwa ini belum bisa digeneralisir. Karena, persebaran media komunikasi di Indonesia masih belum merata. Meskipun sudah memasuki pelosok-pelosok negeri. Disini juga tertulis beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Diluar perspektif biaya tentunya."
Aku memuji naskah sekaligus isi skripsi ini. Aku sangat setuju dengan hipotesis yang menjadi dasar penelitian ini. Cukup bagus untuk mahasiswa S1. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala dengan memujinya saat itu juga.
"Baiklah J, saya perlu waktu lebih lama untuk mengoreksinya. Insya Allah pekan depan kita ketemu lagi. Saya pikir lebih baik pukul sepuluh saja."
"Ya, Pak."
J langsung keluar dari ruang jurusan. Meninggalkan aku dan bu Lena yang suka mencampuri urusan orang lain. Katanya berbela sungkawa atas meninggalnya Maya, tapi pada hari itu ia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Betul kata ibu, J anak yang pintar. Ups..sorry, cerdas" Aku menggaris bawahi "cerdas" secara tampak kepada rekan wanita seprofesiku.
Ia hanya tersenyum puas. Dan aku tidak tahu apa arti senyumnya itu.
Next-------> Insya Allah
0 Messages:
Posting Komentar