Senin, 20 Februari 2012

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 8)

    "Dua puluh tiga tahun. Em..terasa begitu singkat bukan?"
    Pertemuan terakhir dengannya menyisakan luka menganga. Baru sembuh ketika ku bertemu dengan wanita sholeha bernama Maya. Seringai penyiksaan. Keputusannya memilih yang lain menghancurkanku. Sama sekali tidak mudah. Putus asa dan prahara cinta menghilangkan jati diriku. Kekacauan menjadi santapan dan aku kenyang dengan sebentuk kegalauan.
    Aku dan kematian hanya dipisahkan oleh satu kata. Harapan. Bersyukur, Allah menanamkan kata itu ke sanubariku. Dan aku menyimpulkan bahwa aku harus bertahan. Entah demi apa. Perlahan ku lalui badai dan ku menerobos pusaran angin yang bisa saja membawaku terbang ke angsa dan menjatuhkanku menjadi bangkai kemudian. Akhirnya aku berhasil.
    Sekarang, dihadapanku. Wanita itu yang tidak mungkin aku panggil gadis lagi. Wanita yang hampir membuatku sirna di telan bumi. Dengan entengnya menjamuku di meja makan siang. Tenaga apa yang menghilangkan kesadaranku hingga membuat kakiku terasa ringan untuk melangkah dan mengorbankan semata wayangku.
    "Dua puluh tiga tahun." Ulangku dan diam sesaat.
    Tidak mungkin aku marah-marah lagi mengenang kiamat itu. Sepertinya semua sudah tercurah dan aku sekarang tidak lagi punya sumpah serapah. Menghinanya, bangsat, penghianat, pembohong atau apapun.
    "Ya, sangat singkat. Terakhir kali kau melemparkanku ke jurang neraka."
    "Aku menyesal. Dan aku sangat minta maaf."
    Ternyata gayanya merayunya masih sama. Aku yakin lakon seperti ini juga yang digunakannya untuk mendekati Reynold. Dan aku tersisih.
    "Seperti katamu tadi. Dua puluh tiga tahun itu hanya masa lalu. Aku hampir tidak ingat lagi." Aku berpura-pura.
    Seorang waitress menghampiri dan mencatat menu yang Laras pesan. Kemudian pergi meninggalkan kami, terutama aku, yang masih kaku.
    "Tentu saja aku masih ingat menu kesukaanmu. Makanya aku memilih restoran ini?"
    Apa sebenarnya tujuan Laras ingin menemuiku. Mau balikan? Bagaimana dengan suaminya. Sudah meninggal. Tiba-tiba ia muncul kembali dalam hidupku setelah kepergian Maya. Seperti sebuah naskah film.
    Aku tidak mau basa basi terlalu lama meskipun batinku menjerit agar berlam-lama.
    "Bagaimana kabar Reynold?"
    Sepertinya tidak suka ku tanya tentang suaminya, Laras menjawab singkat, "Dia, em..baik-baik saja."
    "Syukurlah." Aku mengangguk pelan.
    "Anak?" Ku bertanya kemudian.
    "Dia gadis yang pintar dan cantik seperti ku. Ku pikir kalian sudah bertemu."
    Belum sempat aku berucap, Laras menyerobot, "Jayanti Rahman."
    "Sudah ku tebak ketika pertama kali berjumpa dengannya. Anak itu memang pintar."
    "Persis ibunya bukan?"
    Aku diam.
    "Kamu sama sekali tidak berubah, Dan. Apakah kamu benar-benar menderita elective mute?"
    "Boleh dikatan begitu jika mau."
    Sebuah suara membelah perbincangan kami. Suara yang pernah ku dengar dan kutahu pasti pemilik suara itu. Namun, kali ini nadanya tinggi. Jelas mengandung kejengkelan. "Mama?".

Insya Allah, Next------>

0 Messages:

Posting Komentar

 
;