Aku masih berkemul dengan selimut hangat ketika jam dinding hampir menunjukkan pukul tujuh. Dari arah dapur terdengar suara-suara berisik. Ku lihat Hani di ranjangnya. Masih pulas. Ia sangat tahu, sama sepertiku jika hari minggu adalah hari yang pas untuk bangun telat. Tadi, setelah shalat subuh bersamaan dengan turunnya hujan, aku menjelajah alam mimpi kembali.
Tak ada yang perlu kulakukan dengan tergesa-gesa dihari ini. Tidak ada jadwal rapat maupun menghadiri undangan pernikahan dan sejenisnya. Benar-benar kesempatan langka untuk menghabiskan seharian dirumah bersama putriku. Bi Atin tentu juga takut dan pengertian untuk membangunkan kami berdua. Setibanya di rumah, ia langsung mengerjakan pekerjaannya. Tak perlu aku membukakannya pintu, karena dia memang memegang satu duplikat kunci.
Pelan. Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Pasti bi Atin pikirku.
"Ada apa bi?" Tanyaku dengan suara yang masih parau. Kata pertama di hari ini.
"Ada telepon?"
Telepon. Begitu penting kah hingga mengganggu orang dipagi hari. Tak ada kerjaan tuh orang. Di hari libur lagi.
"Dari siapa bi?" Aku masih malas untuk beranjak dari tempat tidur.
"Aas atau siapa tadi ya. Kurang jelas. Sekarang dia tengah menunggu di seberang telepon."
"Aas..?" Lama aku berpikir. Setahuku aku tidak pernah kenal dengan seseorang bernama Aas. Satu kilatan ingata melintas. "Laras!"
Secepat mungkin aku bangkit. Ku tahu bi Atin tidak lagi berdiri di belakang pintu. Belum sampai meraih ganggang pintu kamar, Hani merengek. Benar-benar pengertian pikirku.
"Bi. Tolong urus Hani sebentar." ku mengeraskan suara agar sampai hingga kesudut dapur.
Beberapa detik, muncul sosok wanita tua lima puluhan dari arah dapur.
"Ya, hallo." Aku penasaran apakah perkiraanku benar. Bahwa diseberang sana itu teman sekaligus mantan ku semasa SMU.
"Aku Laras."
Dug. Jantungku berdetak lebih kencang. Beberapa pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri secara spontan sebelum berbicara lebih banyak. Nomor wahidnya adalah apakah ini menandakan aku masih mencintainya?. Kedua, bukankah ini penghianatan terhadap Maya yang dulu kukatakan bahwa dia adalah cinta sejatiku? dan yang terakhir, apa benar kesempatan yang ku bicarakan dengan Nas kemarin itu benar-benar akan terwujud?. Lalu untuk apa Laras menghubungiku jika dia sudah bahagia bersama Reynold. Jika ada kesempatan, aku pasti akan menanyakan itu.
"Oh iya. E...e...Laras."
"Tentu aku ingat. Sudah lama tidak bersua."
"Apa? Siang ini."
Jadwal untuk menghabiskan waktu seharian bersama Hani sepertinya harus ku atur ulang.
"Oke."
Tak ada yang perlu kulakukan dengan tergesa-gesa dihari ini. Tidak ada jadwal rapat maupun menghadiri undangan pernikahan dan sejenisnya. Benar-benar kesempatan langka untuk menghabiskan seharian dirumah bersama putriku. Bi Atin tentu juga takut dan pengertian untuk membangunkan kami berdua. Setibanya di rumah, ia langsung mengerjakan pekerjaannya. Tak perlu aku membukakannya pintu, karena dia memang memegang satu duplikat kunci.
Pelan. Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Pasti bi Atin pikirku.
"Ada apa bi?" Tanyaku dengan suara yang masih parau. Kata pertama di hari ini.
"Ada telepon?"
Telepon. Begitu penting kah hingga mengganggu orang dipagi hari. Tak ada kerjaan tuh orang. Di hari libur lagi.
"Dari siapa bi?" Aku masih malas untuk beranjak dari tempat tidur.
"Aas atau siapa tadi ya. Kurang jelas. Sekarang dia tengah menunggu di seberang telepon."
"Aas..?" Lama aku berpikir. Setahuku aku tidak pernah kenal dengan seseorang bernama Aas. Satu kilatan ingata melintas. "Laras!"
Secepat mungkin aku bangkit. Ku tahu bi Atin tidak lagi berdiri di belakang pintu. Belum sampai meraih ganggang pintu kamar, Hani merengek. Benar-benar pengertian pikirku.
"Bi. Tolong urus Hani sebentar." ku mengeraskan suara agar sampai hingga kesudut dapur.
Beberapa detik, muncul sosok wanita tua lima puluhan dari arah dapur.
"Ya, hallo." Aku penasaran apakah perkiraanku benar. Bahwa diseberang sana itu teman sekaligus mantan ku semasa SMU.
"Aku Laras."
Dug. Jantungku berdetak lebih kencang. Beberapa pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri secara spontan sebelum berbicara lebih banyak. Nomor wahidnya adalah apakah ini menandakan aku masih mencintainya?. Kedua, bukankah ini penghianatan terhadap Maya yang dulu kukatakan bahwa dia adalah cinta sejatiku? dan yang terakhir, apa benar kesempatan yang ku bicarakan dengan Nas kemarin itu benar-benar akan terwujud?. Lalu untuk apa Laras menghubungiku jika dia sudah bahagia bersama Reynold. Jika ada kesempatan, aku pasti akan menanyakan itu.
"Oh iya. E...e...Laras."
"Tentu aku ingat. Sudah lama tidak bersua."
"Apa? Siang ini."
Jadwal untuk menghabiskan waktu seharian bersama Hani sepertinya harus ku atur ulang.
"Oke."
Next -------> Insya Allah
0 Messages:
Posting Komentar