Aku sekarang bisa mengangkat kepala
lebih tinggi. Bukan hanya itu, kaki juga bisa sebenarnya. Meletakkannya diatas
meja sambil menyandar pada punggung kursi empuk. Betapa enakknya ketika
memerintah mereka yang sering menganggukan kepala dengan cepat. Ku harap lebih
cepat pula kerja mereka. Jika tidak, lebih baik enyah saja dari hadapanku. Satu
hal yang lebih penting dari ini semua adalah Mak. Mak tidak akan pernah lagi
marah-marah kepadaku. Bukannya tidak pernah, hanya memang tidak sempat. Ia
terlalu sibuk dengan mobil baru dan menghabiskan uang delapan digit didalam cek
yang kuberikan. Hidup memang terasa begitu indah.
Itu semua berawal dari sebuah
impianku. Tentunya saat ini aku telah berhasil merintis, membangun dan
mengembangkannya. Deep Sleeping Hall, itulah namanya. Awalnya aku dicemooh oleh
siapapun yang kuberitahu tentang ide ini. Termasuk Mak. Lebih gilanya lagi,
dikiranya aku telah gila. Dan sekarang mata mereka hampir keluar dari rongganya
ketika mendapatiku benar-benar telah sukses sebagai pemilik gedung pencakar
langit ini. Kurasa aku memang sedikit gila.
Profesi sebagai pengangguran kelas
kakap menyebabkanku banyak waktu luang untuk membaca. Juga mempraktekkan
pastinya. Kata orang-orang yang mengaku bijak, bisnis dimulai dari apa-apa yang
kita senangi. Sulit memang pada mulanya lantaran hobiku adalah tidur sepanjang
hari. Tak lepas bermalas-malasan pula. Jenuh dan muak mengikuti keinginan mak
untuk terus dan terus melayangkan lamaran ke banyak perusahaan. Bukannya apa,
mereka selalu menekankan pentingnya pengalaman kerja. Itulah lingkaran setan
sesungguhnya. Fresh graduate memang
lihai dalam teori barangkali, namun disisi lain pengalaman sering kali tidak
pernah didapat, kecuali dengan bekerja. Dan untuk bekerja harus masuk ke
perusahaan.
Disingkat De Es Ha, bisnisku ini
bergerak dibidang jasa. Menyediakan tempat untuk pemuda pengangguran berduit,
anak orang-orang kaya misalnya. Juga tempat tidur-tiduran dan bermalas-malasan sepanjang
hari. Karena aku tahu, kebanyakan pemuda di negeri ini suka seperti itu. Sukanya
menjadi kaya hanya dengan mengucapkan bim-sala-bim.
Lamunanku tersentak lantaran pintu
digedor dari luar. Entah sejak kapan dua tungkai kakiku ternyata telah ada
diatas meja. Tak berniat sama sekali menurunkannya ketika mempersilahkan
seseorang untuk masuk. Ku pikir itu hakku selaku bos disini. Siapa yang
melarang coba? Di tempatmu, kamu bisa melakukan apa saja.
“Masuk!” Perintahku ketus.
Wanita paruh baya dengan rambut
kusut masai. Mengenakan daster lusuh dan muka lusuh pula. Sepertinya aku
mengenal wanita ini, pikirku. Tatapannya nanar ke arahku menandakan amarah
tertahan. Berani sekali marah-marah di ruanganku. Memangnya pikirnya dia siapa?
“Aku ni makmu!” teriak wanita itu
sembari menyemburkan lahar panas dari mulutnya. Matanya berubah merah.
Menyeramkan.
“Mak?”
“Dah jam tujuh ni, Dung. Pokok e jangan
sampai wawancaramu di bank hari ini gagal!” wanita itu diam sejenak. “Awas
kalau mak datang kau belum bangun juge!” ancamnya lagi.
Uh…bisa aku tidur lagi? Lima menit
pun jadilah.
………..
Aku senang membaca novelnya S. Marga
GD. Detektif dan partnernya yang selalu saja berhasil mengungkap teka teki
kasus yang tengah mereka hadapi. Juga senang pemilihan setiap judul novelnya.
Sering dan hampir semuanya sebenarnya di dahulu dengan kata ‘misteri’. Gaya tulisannya
juga berbeda penulis tanah air pada kebanyakan. Mungkin lantaran nyonya bernama
banyak disingkat itu sering menerjemahkan novel besutan Christy Agatha ke dalam
bahasa Indonesia.
Keseringan membaca itu pula menular
pada keseharianku. Sedikit-sedikit, seolah selalu saja ada misteri dalam setiap
kejadian. Seperti tiba-tiba mak mendapat telepon dari seorang laki-laki. Ku
intip dari balik pintu ketika mak berbicara. Apakah ia jatuh cinta lagi?
Boleh-boleh saja kalau demikian adanya. Toh ayah sudah sepuluh tahun
dikebumikan.
Waktu itu nada bicara mak jauh dari
tersipu seperti yang ditunjukkan oleh seorang wanita yang lagi kasmaran. Jauh
sama sekali. Lebih tepatnya biasa-biasa saja. Di balik pintu, aku masih
mengintainya. Tak lama berbicara, HP pun beliau matikan. Penasaran
menggerayangiku. Tanpa panjang lebar, ku minta penjelasan.
“Salah sambong tu,” Tukasnya
singkat.
“Iye ke? Aku masih kurang percaya.
“Iyelah, Dung.” Mak mulai panas.
Lanjutnya lagi, “ia mo ngomong
dengan Syahrini. Mane gak Syahrini ada disini. Kalau Sarimah ade lah.”
Nama mak memang Sarimah.
Setelah wawancara di bank, aku
melarikan diri ke ‘markas besar’ daripada kenyang makan amukan mak. Disini
tentunya lebih aman dan sepi. Aku bisa mengulang mimpi tadi subuh bila perlu.
Atau, atau menyusun strategi praktis supaya Deep Sleeping Hall itu segera
menjadi nyata. Kira-kira dimana aku akan membangunnya, ya? Di kampung ini jelas
tidak masuk akal.
Di…di…..? Terputus oleh kemunculan
si telinga gajah yang masuk tanpa mengucapkan salam. “Saye ade berite bagos ni.
Mo dengar tak, Dung?”
Jujur, telinganya normal seperti
milikku juga. Di panggil telinga gajah adalah lantaran informasi apapun seputar
kampung seolah tak pernah lepas dari pendengarannya. Dari isu pemilihan kepala
desa beserta calon-calon yang bakal berkompetisi, sampai pada rencana laki-laki
lajang berumur yang akan membuat semacam klub para bujang. Dan kali ini aku
penasaran, apakah berita yang dibawanya benar-benar bernilai.
“So?” tanyaku sok keren.
“Tadi pas aku lewat tu ye, nek Ripah
marah besar. Bukan ke aku. Tapi menuduh semue orang yang lewat depan rumah e.”
“Masalahnye?”
“Batang asamnye tu ha. Di cabut
orang. Padahal baru jak besar segini ni.” Jumadi mengangkat tangannya
sepingang.
“Dapat dak orangnye?”
“Kate nek Ripah, orang itu kejam
benar…gak. Tak pe lah kalau ditepi jalan atau di tengah jalan. Ni tidak. Di
halaman rumanye sorang.” Jumadi menjelaskan lagi.
Aku tak tertarik untuk bertanya
lebih jauh. Lebih menarik jika kembali tenggelam ke urusanku sebelumnya. Aku
berpaling dari Jumadi. Ia bergerak ke mukaku, “barang siape bise menemukan
pelakunye, ade bayarannye.”
Uang. Kita memang perlu uang untuk
sekedar mengisi pulsa. Hitung-hitung sampingan daripada terus menggerogoti uang
pensiun almarhum ayah. “Berape?” Aku mulai berminat lagi.
“Pokoknye ade. Nek Ripah tak mo
bilangnye berape.”
“Markas besar” yang hanyalah posko
siskamling seolah berubah menjadi kantor detektif. Dimana aku, Badung, sebagai
Hakim dalam novel S.Mara GD dan Jumadi sebagai Ghazali. Dan saraf-saraf otakku
pun mulai tersambung satu sama lain. Langkah pertama kali yang harus dilakukan
adalah mendatangi TKP untuk membuat hipotesis dasar. Sempurna.
…………..
“Wuihh..udah kerje dimane, Dung?”
Pertanyaan nek Ripah seolah sindiran
ditelingaku. Jelas-jelas kemarin ia berkunjung ke rumah dan berbincang banyak
dengan mak. Tak luput pula perihal hari ini aku mengikuti sesi wawancara di
bank. Atau lantaran tidak seperti biasanya, aku saat ini mengenakan kemeja
panjang yang digulung sampai siku serta mengenakan celana kain. Boleh jadi.
Tapi kan tidak secepat itu diterima kerjanya.
“Nek…” Bla-bla-bla. Aku mulai
mengecek kebenaran yang disampaikan oleh Jumadi. Sementara Jumadi benar-benar
bertindak sebagai asisten luar biasa hebatnya. Duduk seperti patung di
sampingku dengan buku saku dan pena di tangannya. Mungkin ia telah mencatat
semua ucapanku. Juga bagaimana nek Ripah duduk menghadapi kami.
Jidat nek Ripah yang secara alami
berkerut, makin berkedut-kedut karena pertanyaan yang ku lontarkan. Susah payah
ia membuka folder-folder memori di storage otaknya. “Oh iye, betol tu, Dung.”
Katanya hampir membuatku lepas jantung.
Cerocosnya berlanjut,”kurang asam
benar gak budak tu yang tege-tegenye mencabut batang asam saye. Kalau dapat
orangnye, ku buat sambal asam die tu.” Tangannya memperagakan mengulek sambal.
“Kire-kire siape, nek?” Tanyaku
lagi.
“E…eh, manelah saye tau. Kalau tau
tak perlu saye marah-marah macam ni. Ha, kita’ bedua nak ngape jak datang ke
sini? Atau jangan-jangan kita’ yang cabut batang asam saye.”
“Tadaklah, bukan kami, nek.” sergahku
cepat. “Justru kami ni mo bantu nenek cari pelakunye. Gimane?”
“Baguslah kalau
macam tu.” Raut lega yang ditampilkan nek Ripah.
Bukan itu jawaban yang ku inginkan
tepatnya. Ku harap nek Ripah segera menyebutkan nominal upah yang akan
diberikannya kepada kami jika berhasil. Dan aku yakin akan berhasil.
Baiklah. Daripada mendesaknya yang
akan membuatnya naik darah, aku mulai bekerja. “Kembali ke awal, nek. Kire-kire
siapa yang nenek pikir melakukan ni?”
“Kan udah saye katekan tadi, nenek
tak tau!”
“Kire-kire jak nek.”
………….
Sela yang pertama kali menemukan
batang asam muda itu yang sudah layu pagi itu. Artinya, kejadian pencabutan itu
telah lebih dari dua puluh empat jam. Ia menemukannya di tepi jalan. Orang
super jahil seperti apa yang sanggup melakukan ini. Tepatnya, apa motif
utamanya. Balas dendam? Mungkin saja. Terlebih bocah yang sering di halau oleh
nek Ripah bermain dihalamannya. Dapat satu.
Namun dalam penyelidikan, kita harus
bisa melihat apa yang kecil dan mungkin tidak terlihat. Dari pertemuan dengan
nek Ripah siang tadi, kami mengetahui bahwa ternyata ia suka memelihara kucing.
Sekedar mengusir sepi keseharian. Bukannya ia tidak memiliki anak, nek Ripah
mengatakan ia di sia-siakan anak-anaknya. Berseberangan dengan pendapat kami,
nenek itu keras kepala. Setiap lebaran Budi, anak lelakinya selalu datang.
Selalu pula meminta agar maknya itu tinggal bersamanya. Nek Ripah menolak
keras. Demikian pula dengan Mala, putri sekaligus si bungsu, seolah kehabisan
kata untuk membujuk maknya pindah bersamanya. Jadi siapa yang harus disalahkan?
Masalahnya nek Ripah ingin anaknya tinggal dikampung ini saja bersamanya. Lalu,
mau makan apa mereka nanti semuanya. Mencari kerja dikampung ini sesulit
menemukan jarum di dalam gudang jerami.
Nek Ripah benci anjing. Itu memang
suatu perilaku terpuji, pikirku. Dan kami pun bertanya orang-orang yang
akhir-akhir ini berinteraksi dengannya. Ia menyebutkan Sumi, si tukang jamu
sepeda. Memang disini tukang jamu sudah modern. Tak lagi menggendong, bahkan
pakaiannya pun kadang seperti orang mau ke pasar. Leging, bu!
Yang kedua, Sela. Itupun pada saat
melaporkan batang asam muda pada nek Ripah. Jadi tak ada salahnya jika
memasukkannya dalam kategori tersangka. Selanjutnya ia menyebutkan satu per
satu anak-anak yang selalu bermain dihalamannya. Di bumbui dengan betapa
bencinya ketika tidur siangnya terus diganggu oleh mereka itu. Tukang sayur pun
tak lepas. Rutinitas harian lelaki legam berkumis itu menjajakan dagangannya di
kampung. Ia warga kampung sebelah. Dan terakhir yang mampu disebutkannya adalah
wanita berjilbab pink yang satu hari sebelum kejadian itu datang untuk minta
sumbangan. Dalam hal beri memberi, nek Ripah bisa dibilang sedikit pelit,
menurutku. Juga seperti saat itu, wanita yang jelas-jelas membaca proposal
pembangunan mesjid palsu pulang dengan tangan hampa. Merengut-rengut tak jelas
sepanjang jalan.
………….
Aku dan Jumadi menggelar rapat
tertutup dan sangat rahasia di markas besar. Agendanya menetapkan tersangka
potensial dari beberapa orang yang disebutkan oleh nek Ripah. Motif utama
pelaku tentunya. Kami menggugurkan satu per satu tersangka. Filterisasi
selesai. Dan aku mengeraskan rahang. Sepertinya pekerjaan kedepannya sangat
sulit. Satu-satunya nama yang muncul adalah wanita tak bernama. Bukan tak
bernama, kami tak tahu namanya. Nek Ripah pun tak akan tahu siapa wanita
peminta sumbangan waktu itu. Wanita itulah satu-satunya yang punya alasan untuk
marah besar pada nek Ripah. Mencabut batang asam merupakan luahan amarahnya.
Tentunya setelah nek Ripah menutup pintu depan.
Mencari sosok tersebut bukanlah
pekerjaan mudah. Biasanya mereka bergerombolan meskipun daerah opreasinya
berbeda-beda. Sayangnya lagi, mereka bukanlah warga setempat. Kesulitan pertama
yang harus diselesaikan. Kemudahannya adalah, peristiwa ini masih baru. Kemungkinan
besar para peminta sumbangan tersebut masih beroperasi di daerah dekat-dekat
sini.
Kami memutuskan nek Ripah kembali
untuk meminta informasi lebih ciri-ciri wanita berkerudung yang disebutkannya. Dikejauhan,
aku melihat nek Ripah membawa galah untuk memukul seekor anjing. Ia
berlari-lari kecil mengejar anjing tersebut. Kurang kerjaan sepertinya.
“Assalamu’alaikum, nek.”
Aku yang membonceng Jumadi
memarkirkan motor sekenanya. Lalu kami pun menghampiri nek Ripah yang
kebingungan atas kemunculan kami. “Mo ngape?” tanyanya judes.
“Mak e nenek ni. Kite mo nolong, die
marah-marah pula.” hatiku dongkol.
Aku dan Jumadi bungkam. Mengikuti
nek Ripah yang melangkah menuju rumahnya. Ia berhenti sejenak, menancapkan
galah seukuran tiga meter pada tanah becek. Tepat di dekat batang asam muda
dulunya tumbuh.
“Siape jak di kampong kite ni yang
suke piare anjing. Kurap lagi tu.”
Jelas itu bukan pertanyaan kepada
kami berdua. Ucapannya lebih kepada kekesalan terhadap binatang berkaki empat
yang terus mengincar jemuran kerupuk basahnya.
“Kalau tak pakai galah ni, tak mo
peggi anjing tu. Tau die. Uh, kurang ajar. Uhuk..uhuk..” Nek Ripah terus saja berkicau.
“Nek, mo nanya…” Aku mencoba memutus
ucapan nek Ripah.
“Tau ke kita’? su Milahmu tu pinjam
galah ni macam tak mo balikkan. Berape hari ye. Due atau tige gitulah. Nenek
ambek di rumahnye, baru tau die. Besumpah tak mau agek saye minjamkan galah tu
ke die.”
Apa? Ucapan nek Ripah mengangguku.
Sedikit banyak juga melunturkan niat untuk bertanya wanita peminta sumbangan.
Mungkinkah?
“Nek, batang asam nenek dimana?”
tanyaku meyakinkan.
Ia linglung. “Oh batang asam? Di
sini ha. Ia berjalan mendekati galah yang tertancap. Matanya membesar. “Mane,
mane batang asamku? Asamku……”
………….
Ini bukan mimpi. Bukan mimpi. Aku
memastikannya dengan mencubit kulitku sendiri. Sakit. He..he...senangnya.
Aku masih diruanganku. Masih pula duduk
di kursi empuk dengan kaki tersangga meja. Lekat memandangi bingkai foto
keluarga, ayah, mak dan aku didinding. Ada seorang wanita lain disana. Siapa
kah dia? Oh ya ampun. Mana mungkin aku tidak mengenali istriku sendiri. Purnama
pujaan hati yang wajahnya seindah purnama. Rambutnya tergerai bergelombang.
Aduhai. Tunggu-tunggu! Ada bayi ditangan istriku. Dia anakku? Ya, anakku yang
pertama. Tapi siapa namanya? Terngiang-ngiang suara menyebutkan ‘Topan’. Betul,
Topan namanya. Kini segalanya telah sempurna. Kesuksesan dan keluarga telah
kumiliki semuanya.
Aku beranjak menuju dinding kaca. Dari
sini bisa melihat pemandangan kota di bawah. Betapa sudah majunya kota ini.
Gedung pencakar langit berdiri tegak seperti balok raksasa yang ditancapkan ke
bumi.
Suara teriakan bersahut-sahutan di
bawah. Manusia berlari tunggang langgang tak tentu arah. Menjerit-jerit. Bumi bergetar.
Di ruanganku, bingkai foto terhempas ke lantai. Telepon di meja demikian pula.
Apa ini? Raksasa? Berperawakan nenek tua
sambil menenteng pohon asam luar biasa besar. Di ayunkannya sembarangan.
Meruntuhkan gedung-gedung diseberang sana. Aku gemetar. Bagaimana mungkin nek
Ripah berubah menjadi monster seperti itu. Matanya melotot ke arahku berdiri.
Ceringainya menyeramkan. Tamatlah. Ia berpaling menuju Deep Sleeping Hall ku.
Tidak………….Ini mimpi. Pasti ini mimpi...
Aku terjaga. Muka mak menyeruak di balik
pintu. “Bagos, tidok jak agek!”
<sudah sangat lama ingin menulis kejadian ini. Alhamdulillah meskipun hasilnya belum maksi, kelar juga. Have a nice reading>
0 Messages:
Posting Komentar