Jumat, 02 November 2012

Misteri Tercabutnya Batang Asam


            Aku sekarang bisa mengangkat kepala lebih tinggi. Bukan hanya itu, kaki juga bisa sebenarnya. Meletakkannya diatas meja sambil menyandar pada punggung kursi empuk. Betapa enakknya ketika memerintah mereka yang sering menganggukan kepala dengan cepat. Ku harap lebih cepat pula kerja mereka. Jika tidak, lebih baik enyah saja dari hadapanku. Satu hal yang lebih penting dari ini semua adalah Mak. Mak tidak akan pernah lagi marah-marah kepadaku. Bukannya tidak pernah, hanya memang tidak sempat. Ia terlalu sibuk dengan mobil baru dan menghabiskan uang delapan digit didalam cek yang kuberikan. Hidup memang terasa begitu indah.
            Itu semua berawal dari sebuah impianku. Tentunya saat ini aku telah berhasil merintis, membangun dan mengembangkannya. Deep Sleeping Hall, itulah namanya. Awalnya aku dicemooh oleh siapapun yang kuberitahu tentang ide ini. Termasuk Mak. Lebih gilanya lagi, dikiranya aku telah gila. Dan sekarang mata mereka hampir keluar dari rongganya ketika mendapatiku benar-benar telah sukses sebagai pemilik gedung pencakar langit ini. Kurasa aku memang sedikit gila.
            Profesi sebagai pengangguran kelas kakap menyebabkanku banyak waktu luang untuk membaca. Juga mempraktekkan pastinya. Kata orang-orang yang mengaku bijak, bisnis dimulai dari apa-apa yang kita senangi. Sulit memang pada mulanya lantaran hobiku adalah tidur sepanjang hari. Tak lepas bermalas-malasan pula. Jenuh dan muak mengikuti keinginan mak untuk terus dan terus melayangkan lamaran ke banyak perusahaan. Bukannya apa, mereka selalu menekankan pentingnya pengalaman kerja. Itulah lingkaran setan sesungguhnya. Fresh graduate memang lihai dalam teori barangkali, namun disisi lain pengalaman sering kali tidak pernah didapat, kecuali dengan bekerja. Dan untuk bekerja harus masuk ke perusahaan.
            Disingkat De Es Ha, bisnisku ini bergerak dibidang jasa. Menyediakan tempat untuk pemuda pengangguran berduit, anak orang-orang kaya misalnya. Juga tempat tidur-tiduran dan bermalas-malasan sepanjang hari. Karena aku tahu, kebanyakan pemuda di negeri ini suka seperti itu. Sukanya menjadi kaya hanya dengan mengucapkan bim-sala-bim.
            Lamunanku tersentak lantaran pintu digedor dari luar. Entah sejak kapan dua tungkai kakiku ternyata telah ada diatas meja. Tak berniat sama sekali menurunkannya ketika mempersilahkan seseorang untuk masuk. Ku pikir itu hakku selaku bos disini. Siapa yang melarang coba? Di tempatmu, kamu bisa melakukan apa saja.
            “Masuk!” Perintahku ketus.
            Wanita paruh baya dengan rambut kusut masai. Mengenakan daster lusuh dan muka lusuh pula. Sepertinya aku mengenal wanita ini, pikirku. Tatapannya nanar ke arahku menandakan amarah tertahan. Berani sekali marah-marah di ruanganku. Memangnya pikirnya dia siapa?
            “Aku ni makmu!” teriak wanita itu sembari menyemburkan lahar panas dari mulutnya. Matanya berubah merah. Menyeramkan.
            “Mak?”
            “Dah jam tujuh ni, Dung. Pokok e jangan sampai wawancaramu di bank hari ini gagal!” wanita itu diam sejenak. “Awas kalau mak datang kau belum bangun juge!” ancamnya lagi.
            Uh…bisa aku tidur lagi? Lima menit pun jadilah.
………..
            Aku senang membaca novelnya S. Marga GD. Detektif dan partnernya yang selalu saja berhasil mengungkap teka teki kasus yang tengah mereka hadapi. Juga senang pemilihan setiap judul novelnya. Sering dan hampir semuanya sebenarnya di dahulu dengan kata ‘misteri’. Gaya tulisannya juga berbeda penulis tanah air pada kebanyakan. Mungkin lantaran nyonya bernama banyak disingkat itu sering menerjemahkan novel besutan Christy Agatha ke dalam bahasa Indonesia.
            Keseringan membaca itu pula menular pada keseharianku. Sedikit-sedikit, seolah selalu saja ada misteri dalam setiap kejadian. Seperti tiba-tiba mak mendapat telepon dari seorang laki-laki. Ku intip dari balik pintu ketika mak berbicara. Apakah ia jatuh cinta lagi? Boleh-boleh saja kalau demikian adanya. Toh ayah sudah sepuluh tahun dikebumikan.
            Waktu itu nada bicara mak jauh dari tersipu seperti yang ditunjukkan oleh seorang wanita yang lagi kasmaran. Jauh sama sekali. Lebih tepatnya biasa-biasa saja. Di balik pintu, aku masih mengintainya. Tak lama berbicara, HP pun beliau matikan. Penasaran menggerayangiku. Tanpa panjang lebar, ku minta penjelasan.
            “Salah sambong tu,” Tukasnya singkat.
            “Iye ke? Aku masih kurang percaya.
            “Iyelah, Dung.” Mak mulai panas.
            Lanjutnya lagi, “ia mo ngomong dengan Syahrini. Mane gak Syahrini ada disini. Kalau Sarimah ade lah.”
            Nama mak memang Sarimah.

            Setelah wawancara di bank, aku melarikan diri ke ‘markas besar’ daripada kenyang makan amukan mak. Disini tentunya lebih aman dan sepi. Aku bisa mengulang mimpi tadi subuh bila perlu. Atau, atau menyusun strategi praktis supaya Deep Sleeping Hall itu segera menjadi nyata. Kira-kira dimana aku akan membangunnya, ya? Di kampung ini jelas tidak masuk akal.
            Di…di…..? Terputus oleh kemunculan si telinga gajah yang masuk tanpa mengucapkan salam. “Saye ade berite bagos ni. Mo dengar tak, Dung?”
            Jujur, telinganya normal seperti milikku juga. Di panggil telinga gajah adalah lantaran informasi apapun seputar kampung seolah tak pernah lepas dari pendengarannya. Dari isu pemilihan kepala desa beserta calon-calon yang bakal berkompetisi, sampai pada rencana laki-laki lajang berumur yang akan membuat semacam klub para bujang. Dan kali ini aku penasaran, apakah berita yang dibawanya benar-benar bernilai.
            “So?” tanyaku sok keren.
            “Tadi pas aku lewat tu ye, nek Ripah marah besar. Bukan ke aku. Tapi menuduh semue orang yang lewat depan rumah e.”
            “Masalahnye?”
            “Batang asamnye tu ha. Di cabut orang. Padahal baru jak besar segini ni.” Jumadi mengangkat tangannya sepingang.
            “Dapat dak orangnye?”
            “Kate nek Ripah, orang itu kejam benar…gak. Tak pe lah kalau ditepi jalan atau di tengah jalan. Ni tidak. Di halaman rumanye sorang.” Jumadi menjelaskan lagi.
            Aku tak tertarik untuk bertanya lebih jauh. Lebih menarik jika kembali tenggelam ke urusanku sebelumnya. Aku berpaling dari Jumadi. Ia bergerak ke mukaku, “barang siape bise menemukan pelakunye, ade bayarannye.”
            Uang. Kita memang perlu uang untuk sekedar mengisi pulsa. Hitung-hitung sampingan daripada terus menggerogoti uang pensiun almarhum ayah. “Berape?” Aku mulai berminat lagi.
            “Pokoknye ade. Nek Ripah tak mo bilangnye berape.”
            “Markas besar” yang hanyalah posko siskamling seolah berubah menjadi kantor detektif. Dimana aku, Badung, sebagai Hakim dalam novel S.Mara GD dan Jumadi sebagai Ghazali. Dan saraf-saraf otakku pun mulai tersambung satu sama lain. Langkah pertama kali yang harus dilakukan adalah mendatangi TKP untuk membuat hipotesis dasar. Sempurna.

…………..
            “Wuihh..udah kerje dimane, Dung?”
            Pertanyaan nek Ripah seolah sindiran ditelingaku. Jelas-jelas kemarin ia berkunjung ke rumah dan berbincang banyak dengan mak. Tak luput pula perihal hari ini aku mengikuti sesi wawancara di bank. Atau lantaran tidak seperti biasanya, aku saat ini mengenakan kemeja panjang yang digulung sampai siku serta mengenakan celana kain. Boleh jadi. Tapi kan tidak secepat itu diterima kerjanya.
            “Nek…” Bla-bla-bla. Aku mulai mengecek kebenaran yang disampaikan oleh Jumadi. Sementara Jumadi benar-benar bertindak sebagai asisten luar biasa hebatnya. Duduk seperti patung di sampingku dengan buku saku dan pena di tangannya. Mungkin ia telah mencatat semua ucapanku. Juga bagaimana nek Ripah duduk menghadapi kami.
            Jidat nek Ripah yang secara alami berkerut, makin berkedut-kedut karena pertanyaan yang ku lontarkan. Susah payah ia membuka folder-folder memori di storage otaknya. “Oh iye, betol tu, Dung.” Katanya hampir membuatku lepas jantung.
            Cerocosnya berlanjut,”kurang asam benar gak budak tu yang tege-tegenye mencabut batang asam saye. Kalau dapat orangnye, ku buat sambal asam die tu.” Tangannya memperagakan mengulek sambal.
            “Kire-kire siape, nek?” Tanyaku lagi.
            “E…eh, manelah saye tau. Kalau tau tak perlu saye marah-marah macam ni. Ha, kita’ bedua nak ngape jak datang ke sini? Atau jangan-jangan kita’ yang cabut batang asam saye.”
            “Tadaklah, bukan kami, nek.” sergahku cepat. “Justru kami ni mo bantu nenek cari pelakunye. Gimane?”
                “Baguslah kalau macam tu.” Raut lega yang ditampilkan nek Ripah.
            Bukan itu jawaban yang ku inginkan tepatnya. Ku harap nek Ripah segera menyebutkan nominal upah yang akan diberikannya kepada kami jika berhasil. Dan aku yakin akan berhasil.
            Baiklah. Daripada mendesaknya yang akan membuatnya naik darah, aku mulai bekerja. “Kembali ke awal, nek. Kire-kire siapa yang nenek pikir melakukan ni?”
            “Kan udah saye katekan tadi, nenek tak tau!”
            “Kire-kire jak nek.”
………….
            Sela yang pertama kali menemukan batang asam muda itu yang sudah layu pagi itu. Artinya, kejadian pencabutan itu telah lebih dari dua puluh empat jam. Ia menemukannya di tepi jalan. Orang super jahil seperti apa yang sanggup melakukan ini. Tepatnya, apa motif utamanya. Balas dendam? Mungkin saja. Terlebih bocah yang sering di halau oleh nek Ripah bermain dihalamannya. Dapat satu.
            Namun dalam penyelidikan, kita harus bisa melihat apa yang kecil dan mungkin tidak terlihat. Dari pertemuan dengan nek Ripah siang tadi, kami mengetahui bahwa ternyata ia suka memelihara kucing. Sekedar mengusir sepi keseharian. Bukannya ia tidak memiliki anak, nek Ripah mengatakan ia di sia-siakan anak-anaknya. Berseberangan dengan pendapat kami, nenek itu keras kepala. Setiap lebaran Budi, anak lelakinya selalu datang. Selalu pula meminta agar maknya itu tinggal bersamanya. Nek Ripah menolak keras. Demikian pula dengan Mala, putri sekaligus si bungsu, seolah kehabisan kata untuk membujuk maknya pindah bersamanya. Jadi siapa yang harus disalahkan? Masalahnya nek Ripah ingin anaknya tinggal dikampung ini saja bersamanya. Lalu, mau makan apa mereka nanti semuanya. Mencari kerja dikampung ini sesulit menemukan jarum di dalam gudang jerami.
            Nek Ripah benci anjing. Itu memang suatu perilaku terpuji, pikirku. Dan kami pun bertanya orang-orang yang akhir-akhir ini berinteraksi dengannya. Ia menyebutkan Sumi, si tukang jamu sepeda. Memang disini tukang jamu sudah modern. Tak lagi menggendong, bahkan pakaiannya pun kadang seperti orang mau ke pasar. Leging, bu!
            Yang kedua, Sela. Itupun pada saat melaporkan batang asam muda pada nek Ripah. Jadi tak ada salahnya jika memasukkannya dalam kategori tersangka. Selanjutnya ia menyebutkan satu per satu anak-anak yang selalu bermain dihalamannya. Di bumbui dengan betapa bencinya ketika tidur siangnya terus diganggu oleh mereka itu. Tukang sayur pun tak lepas. Rutinitas harian lelaki legam berkumis itu menjajakan dagangannya di kampung. Ia warga kampung sebelah. Dan terakhir yang mampu disebutkannya adalah wanita berjilbab pink yang satu hari sebelum kejadian itu datang untuk minta sumbangan. Dalam hal beri memberi, nek Ripah bisa dibilang sedikit pelit, menurutku. Juga seperti saat itu, wanita yang jelas-jelas membaca proposal pembangunan mesjid palsu pulang dengan tangan hampa. Merengut-rengut tak jelas sepanjang jalan.
………….
            Aku dan Jumadi menggelar rapat tertutup dan sangat rahasia di markas besar. Agendanya menetapkan tersangka potensial dari beberapa orang yang disebutkan oleh nek Ripah. Motif utama pelaku tentunya. Kami menggugurkan satu per satu tersangka. Filterisasi selesai. Dan aku mengeraskan rahang. Sepertinya pekerjaan kedepannya sangat sulit. Satu-satunya nama yang muncul adalah wanita tak bernama. Bukan tak bernama, kami tak tahu namanya. Nek Ripah pun tak akan tahu siapa wanita peminta sumbangan waktu itu. Wanita itulah satu-satunya yang punya alasan untuk marah besar pada nek Ripah. Mencabut batang asam merupakan luahan amarahnya. Tentunya setelah nek Ripah menutup pintu depan.
            Mencari sosok tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya mereka bergerombolan meskipun daerah opreasinya berbeda-beda. Sayangnya lagi, mereka bukanlah warga setempat. Kesulitan pertama yang harus diselesaikan. Kemudahannya adalah, peristiwa ini masih baru. Kemungkinan besar para peminta sumbangan tersebut masih beroperasi di daerah dekat-dekat sini.
            Kami memutuskan nek Ripah kembali untuk meminta informasi lebih ciri-ciri wanita berkerudung yang disebutkannya. Dikejauhan, aku melihat nek Ripah membawa galah untuk memukul seekor anjing. Ia berlari-lari kecil mengejar anjing tersebut. Kurang kerjaan sepertinya.
            “Assalamu’alaikum, nek.”
            Aku yang membonceng Jumadi memarkirkan motor sekenanya. Lalu kami pun menghampiri nek Ripah yang kebingungan atas kemunculan kami. “Mo ngape?” tanyanya judes.
            “Mak e nenek ni. Kite mo nolong, die marah-marah pula.” hatiku dongkol.  
            Aku dan Jumadi bungkam. Mengikuti nek Ripah yang melangkah menuju rumahnya. Ia berhenti sejenak, menancapkan galah seukuran tiga meter pada tanah becek. Tepat di dekat batang asam muda dulunya tumbuh.
            “Siape jak di kampong kite ni yang suke piare anjing. Kurap lagi tu.”
            Jelas itu bukan pertanyaan kepada kami berdua. Ucapannya lebih kepada kekesalan terhadap binatang berkaki empat yang terus mengincar jemuran kerupuk basahnya.
            “Kalau tak pakai galah ni, tak mo peggi anjing tu. Tau die. Uh, kurang ajar. Uhuk..uhuk..” Nek Ripah terus saja berkicau. 
            “Nek, mo nanya…” Aku mencoba memutus ucapan nek Ripah.
            “Tau ke kita’? su Milahmu tu pinjam galah ni macam tak mo balikkan. Berape hari ye. Due atau tige gitulah. Nenek ambek di rumahnye, baru tau die. Besumpah tak mau agek saye minjamkan galah tu ke die.”
            Apa? Ucapan nek Ripah mengangguku. Sedikit banyak juga melunturkan niat untuk bertanya wanita peminta sumbangan. Mungkinkah?
            “Nek, batang asam nenek dimana?” tanyaku meyakinkan.
            Ia linglung. “Oh batang asam? Di sini ha. Ia berjalan mendekati galah yang tertancap. Matanya membesar. “Mane, mane batang asamku? Asamku……”
………….
            Ini bukan mimpi. Bukan mimpi. Aku memastikannya dengan mencubit kulitku sendiri. Sakit. He..he...senangnya.
Aku masih diruanganku. Masih pula duduk di kursi empuk dengan kaki tersangga meja. Lekat memandangi bingkai foto keluarga, ayah, mak dan aku didinding. Ada seorang wanita lain disana. Siapa kah dia? Oh ya ampun. Mana mungkin aku tidak mengenali istriku sendiri. Purnama pujaan hati yang wajahnya seindah purnama. Rambutnya tergerai bergelombang. Aduhai. Tunggu-tunggu! Ada bayi ditangan istriku. Dia anakku? Ya, anakku yang pertama. Tapi siapa namanya? Terngiang-ngiang suara menyebutkan ‘Topan’. Betul, Topan namanya. Kini segalanya telah sempurna. Kesuksesan dan keluarga telah kumiliki semuanya.
Aku beranjak menuju dinding kaca. Dari sini bisa melihat pemandangan kota di bawah. Betapa sudah majunya kota ini. Gedung pencakar langit berdiri tegak seperti balok raksasa yang ditancapkan ke bumi.
Suara teriakan bersahut-sahutan di bawah. Manusia berlari tunggang langgang tak tentu arah. Menjerit-jerit. Bumi bergetar. Di ruanganku, bingkai foto terhempas ke lantai. Telepon di meja demikian pula.
Apa ini? Raksasa? Berperawakan nenek tua sambil menenteng pohon asam luar biasa besar. Di ayunkannya sembarangan. Meruntuhkan gedung-gedung diseberang sana. Aku gemetar. Bagaimana mungkin nek Ripah berubah menjadi monster seperti itu. Matanya melotot ke arahku berdiri. Ceringainya menyeramkan. Tamatlah. Ia berpaling menuju Deep Sleeping Hall ku. Tidak………….Ini mimpi. Pasti ini mimpi...
Aku terjaga. Muka mak menyeruak di balik pintu. “Bagos, tidok jak agek!”


<sudah sangat lama ingin menulis kejadian ini. Alhamdulillah meskipun hasilnya belum maksi, kelar juga. Have a nice reading>

0 Messages:

Posting Komentar

 
;