Selasa, 20 November 2012

TIDOER


Ketika terjaga, ku dapati tidak lagi berada di kamar di rumah kontrakan. Mungkin itulah sebabnya tidurku tidak punya mimpi. Bau obat-obatan menyeruak dan berjejalan di hidung. Ku lihat ibu meneteskan air mata. Dan ayah pula menyeka matanya sendiri. Muka adikku yang berdiri di sisi dinding mulai mendung. Ada apa gerangan? Aku tidak kenapa-napa atau barang kali sangat kenapa-napa. Hanya aku belum tahu saja.
Sakit kepala seperti kemarin itu sering kali melanda. Ini seingatku yang terparah. Sehingga aku bahkan tidak sadar ketika dipindahkan ke rumah sakit ini. Seorang perawat masuk dan memanggil ayah. Ayah keluar seketika. Ibu mengekor dari belakang. Aku tersenyum getir. Apakah ini benar-benar gawat?
Aku ingat sekarang, kemarin itu….
…………..
Kalian tahu, aku selalu senang kalau hujan di tengah hari. Itu artinya tidak pergi ke kios paling tidak sampai setelah ashar. Dan jika hujan berterusan, malam hari baru aku ke kios lagi. Mengunci gembok saja. Itu juga artinya, aku bisa tidur siang dengan nyaman.
            Perutku tidak lagi bernyanyi ria. Setelah diisi dengan menu super apa adanya. Ya, tak jauh-jauh dari menu hari-hari sebelumnya. (Lebih baik jadi rahasia saja, ya). Aku langsung menunaikan niatan tadi. Merebahkan diri di atas kasur di atas lantai. Cukup empuk meskipun tidak terlalu tebal. Selimut perlahan-lahan mengirimkan hawa panas ke seluruh tubuh. Dingin yang meraja tadi, mulai berkurang.
            Satu hampir lima belas menit. Setelah mendengarkan lagu dari HP sebentar, timbul minatku untuk membaca buku yang dipinjam kemarin di perpusda. Seandainya siang ini tidak hujan, sebenarnya aku ingin mengembalikannya saja. Namun terlanjur tidak ada yang dibaca beberapa hari ini, mau tidak mau. Tak ada rotan akar pun jadilah.
            Buku pertama dari Trilogi Golden Compass. Dibaca serius ternyata seru juga. Aku merasa tengah bertualang ke negeri lapland bersama si bocah Lyra dan daemonnya. Lembar demi lembar terlahap juga. Sembari menguap terus-terusan, ku pikir saatnya untuk tidur. Itu sudah pukul dua lewat hampir lima menit.
            Ku betulkan posisi dari tengkurap menjadi telentang. Ku naikkan lagi selimut semakin tinggi. Ku sisakan untuk mukaku saja. Selalu begitu sedari kecil dulu. Aku masih ingat kenapa itu bisa terjadi. Dan aku tidak ingin bercerita di sini, ok? 
            Alarm sudah di-stel. Pikiran ku biarkan menerawang. Tak ingin berpikir berat, karena pengalaman mengatakan; itu akan membuatku susah tidur. Memikirkan alur cerpen yang tengah ku tulis, misalnya. Tepat, yang seperti itu akan membuatku sakit kepala karena sukar terlelap. Dengan posisi mata tertutup, slide-slide entah tentang apa saja hilir mudik. Silih berganti dengan sketsa ceritanya sendiri. Ku biarkan tetap seperti itu. Hingga akhirnya, kesadaranku sudah diambang pintu. Aku berlayar ….
            “Bruaaak.”
            Aku terlonjak pelan. Spontan tubuhku bergerak. Tidak perlulah untuk melihat ke sosok penimbul suara tadi. Itu adalah adik laki-lakiku yang baru pulang dari sekolah. Ia datang lebih telat dari biasanya lantaran hujan sangat lebat. Berbeda denganku yang sekurus kacang, tubuhnya gemuk. Lantai kayu tak berhasil meredam langkah kakinya yang berat. Seolah paku-paku tercabut dari tempatnya. Aku kesal. Padahal ….
            Itu yang paling ku benci. Ketika tidur siangku diganggu begitu saja. Oleh siapa dan bagaimanapun caranya. Sulit bagiku untuk kembali terlelap. Seolah rasa kantuk sirna tak bersisa. Dengusan dalam benakku menjadi andalan. Pikiranku ikut bergabung. Semuanya jadi kacau. Percuma rasanya memejamkan mata. Yang ada hanyalah kepala mulai berdenyut-denyut.
            Ku raih HP di samping kasur. Dua dua puluh. “tiga puluh menit lagi,” kataku membatin spontan. Tiga puluh menit menjelang shalat ashar. Ku rapatkan mata kembali. Berharap kantuk tak berat hati kembali menyapa. Ku ingin tertidur meskipun sekedar sepuluh menit saja. Itu sudah cukup dan lebih baik daripada tidak tidur sama sekali.
            Sulitnya mengosongkan pikiran kembali. Ku paksakan dan akhirnya berhasil. Mataku mulai sendu. Dan aku senang. Namun, sebuah pesan singkat membuyarkan harapanku. Entah kenapa getaran HP terdengar begitu menggelegar. Mataku terbuka lesu. Tangan otomatis melakukan fungsinya. Membuka isi pesan tersebut. Seperti dugaanku, ada nomor HP yang pulsanya mesti di isi. Sudah resiko berprofesi sebagai penjual pulsa elektronik. Begini jadinya. Pesan itu berasal dari ayah.
            Perlu kurang dari satu menit untuk menyelesaikan urusan dengan pesan singkat tadi. Aku mencoba keberuntungan kembali. Membolak-balikkan badan sekenanya. Ke kiri lalu ke kanan. Ke kiri lagi dan ke kanan lagi. Tak ada yang betul rasanya. Sementara jam terus saja berjalan. Aku meringis kesal.
            Aku tahu tidak akan ada lagi acara tidur siang. Walau demikian, mataku tetap ku suruh untuk meram saja. Biar pendengaran yang menangkap apa yang terjadi di sekitar. Suara gitar adik laki-lakiku. Dan lari-lari bocah tetangga. “Lengkap sudah!”
            “Ih abang gendut,” si Ida masuk ke rumah dan ikut memainkan tali gitar. Aku tidak tahu persisnya seperti apa. Yang pasti hasilnya, “treeeng-treeeng-dan-treeeng.” Adikku marah pada Ida. Jelas ia anak yang bengal dan nakal. Ku garis bawahi itu. Merasa apa yang diinginkannya tidak terpenuhi, langkahnya beralih ke arah kamar. Dimana aku tengah berbaring. Dari dulu ia begitu terpesona dengan kasur ini. Dan kini tiba saatnya untuk melompat merasakan empuknya. Tak tanggung, ia berdiri di pinggir kepalaku. Melompat, seperti yang dimauinya.
            “Ida!” Tentu saja aku marah. Namun suara ku atur pelan. Karena rumah ida sangat berdempet dengan rumah kontrakan ini. Takut saja, orang tua atau saudaranya mendengar. Apalagi kami orang datang disini. Tidak enak saja, sebagai pendatang baru. Tapi, kelakuan Ida sudah keterlaluan. Ku pukul kakinya menggunakan tangan. Tidak sakit memang, tapi bisa menghentikannya. Matanya menjadi sasaran pelototan mataku. Ia bergeming. Berlari-lari keluar sambil bernyanyi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Dan seperti itulah Ida. Aku dongkol jadinya.
Satu sisi, aku salut dengan bocah itu. Imunitasnya luar biasa. Tidurnya pukul sepuluh lewat. Dan paginya terjaga awal. Tidak pernah tidur siang dan selalu ceria pembawannya. Tadi saja ku dengar ia bermain di tengah hujan. Meski sendirian saja.
“Allahu akbar, Allahu Akbar, Allah…..” Akhirnya suara merdu Maher Zain dalam tembangnya always be there mengubur cita-citaku siang ini. Ku matikan alarm. Di kejauhan terdengar kumandang azan dari corong Masjid. Mulanya satu saja. Di sambut dengan kumandang lainnya. Dan lain lagi setelahnya. Ashar telah tiba. Saatnya untuk membangkitkan badan. Meski sukar, mengikhlaskan adalah pilihan terbaik, ku kira. Ku tarik nafas dalam. Duduk, lalu bangkit. Belum sempurna ku berdiri, kamar berputar dahsyat. Setelahnya, mungkin aku terjerembab dan tertidur.
………………
Aku masih terbaring di atas ranjang pesakitan. Dugaanku matahari baru saja naik, tetapi ternyata zuhur telah lewat. Saatnya untuk melaksanakan kewajiban, tukasku pada diri sendiri. Kini ibu yang mendahului masuk ruangan. Mukanya tampak lesu dan mayanya hilang entah kemana. Lalu ayah muncul kemudian. Dengan raut muka yang sama. Setelah shalat, stepertinya aku perlu tidur lebih lama untuk mendengar kabar yang mungkin menyakitkan. Ketika aku terjaga lagi, ku harap kabar itu terdengar biasa-biasa saja. Aku ingin bermimpi. Itu saja.

<< Tak lebih dari guratan fiksi semata. Terutama pada poin awal dan akhir. Setelah ini ku harap bisa tidur siang dengan nyenyak. Kalau tidak pun, kedongkolan ini sudahpun tersimpan disini. Jadi untuk apa dibesar-besarkan, kan? He..he..he… >>

0 Messages:

Posting Komentar

 
;