Ketika
terjaga, ku dapati tidak lagi berada di kamar di rumah kontrakan. Mungkin itulah
sebabnya tidurku tidak punya mimpi. Bau obat-obatan menyeruak dan berjejalan di
hidung. Ku lihat ibu meneteskan air mata. Dan ayah pula menyeka matanya
sendiri. Muka adikku yang berdiri di sisi dinding mulai mendung. Ada apa
gerangan? Aku tidak kenapa-napa atau barang kali sangat kenapa-napa. Hanya aku
belum tahu saja.
Sakit
kepala seperti kemarin itu sering kali melanda. Ini seingatku yang terparah.
Sehingga aku bahkan tidak sadar ketika dipindahkan ke rumah sakit ini. Seorang
perawat masuk dan memanggil ayah. Ayah keluar seketika. Ibu mengekor dari
belakang. Aku tersenyum getir. Apakah ini benar-benar gawat?
Aku
ingat sekarang, kemarin itu….
…………..
Kalian
tahu, aku selalu senang kalau hujan di tengah hari. Itu artinya tidak pergi ke
kios paling tidak sampai setelah ashar. Dan jika hujan berterusan, malam hari
baru aku ke kios lagi. Mengunci gembok saja. Itu juga artinya, aku bisa tidur
siang dengan nyaman.
Perutku tidak lagi bernyanyi ria. Setelah diisi dengan
menu super apa adanya. Ya, tak jauh-jauh dari menu hari-hari sebelumnya. (Lebih
baik jadi rahasia saja, ya). Aku langsung menunaikan niatan tadi. Merebahkan
diri di atas kasur di atas lantai. Cukup empuk meskipun tidak terlalu tebal. Selimut
perlahan-lahan mengirimkan hawa panas ke seluruh tubuh. Dingin yang meraja
tadi, mulai berkurang.
Satu hampir lima belas menit. Setelah mendengarkan lagu
dari HP sebentar, timbul minatku untuk membaca buku yang dipinjam kemarin di
perpusda. Seandainya siang ini tidak hujan, sebenarnya aku ingin mengembalikannya
saja. Namun terlanjur tidak ada yang dibaca beberapa hari ini, mau tidak mau.
Tak ada rotan akar pun jadilah.
Buku pertama dari Trilogi Golden Compass. Dibaca serius
ternyata seru juga. Aku merasa tengah bertualang ke negeri lapland bersama si
bocah Lyra dan daemonnya. Lembar demi lembar terlahap juga. Sembari menguap
terus-terusan, ku pikir saatnya untuk tidur. Itu sudah pukul dua lewat hampir
lima menit.
Ku betulkan posisi dari tengkurap menjadi telentang. Ku
naikkan lagi selimut semakin tinggi. Ku sisakan untuk mukaku saja. Selalu
begitu sedari kecil dulu. Aku masih ingat kenapa itu bisa terjadi. Dan aku
tidak ingin bercerita di sini, ok?
Alarm sudah di-stel. Pikiran ku biarkan menerawang.
Tak ingin berpikir berat, karena pengalaman mengatakan; itu akan membuatku
susah tidur. Memikirkan alur cerpen yang tengah ku tulis, misalnya. Tepat, yang
seperti itu akan membuatku sakit kepala karena sukar terlelap. Dengan posisi
mata tertutup, slide-slide entah
tentang apa saja hilir mudik. Silih berganti dengan sketsa ceritanya sendiri.
Ku biarkan tetap seperti itu. Hingga akhirnya, kesadaranku sudah diambang
pintu. Aku berlayar ….
“Bruaaak.”
Aku terlonjak pelan. Spontan tubuhku bergerak. Tidak
perlulah untuk melihat ke sosok penimbul suara tadi. Itu adalah adik
laki-lakiku yang baru pulang dari sekolah. Ia datang lebih telat dari biasanya
lantaran hujan sangat lebat. Berbeda denganku yang sekurus kacang, tubuhnya
gemuk. Lantai kayu tak berhasil meredam langkah kakinya yang berat. Seolah
paku-paku tercabut dari tempatnya. Aku kesal. Padahal ….
Itu yang paling ku benci. Ketika tidur siangku diganggu
begitu saja. Oleh siapa dan bagaimanapun caranya. Sulit bagiku untuk kembali
terlelap. Seolah rasa kantuk sirna tak bersisa. Dengusan dalam benakku menjadi
andalan. Pikiranku ikut bergabung. Semuanya jadi kacau. Percuma rasanya
memejamkan mata. Yang ada hanyalah kepala mulai berdenyut-denyut.
Ku raih HP di samping kasur. Dua dua puluh. “tiga puluh
menit lagi,” kataku membatin spontan. Tiga puluh menit menjelang shalat ashar.
Ku rapatkan mata kembali. Berharap kantuk tak berat hati kembali menyapa. Ku
ingin tertidur meskipun sekedar sepuluh menit saja. Itu sudah cukup dan lebih
baik daripada tidak tidur sama sekali.
Sulitnya mengosongkan pikiran kembali. Ku paksakan dan
akhirnya berhasil. Mataku mulai sendu. Dan aku senang. Namun, sebuah pesan
singkat membuyarkan harapanku. Entah kenapa getaran HP terdengar begitu
menggelegar. Mataku terbuka lesu. Tangan otomatis melakukan fungsinya. Membuka
isi pesan tersebut. Seperti dugaanku, ada nomor HP yang pulsanya mesti di isi. Sudah resiko berprofesi sebagai penjual pulsa elektronik. Begini jadinya. Pesan itu berasal dari ayah.
Perlu kurang dari satu menit untuk menyelesaikan urusan
dengan pesan singkat tadi. Aku mencoba keberuntungan kembali. Membolak-balikkan
badan sekenanya. Ke kiri lalu ke kanan. Ke kiri lagi dan ke kanan lagi. Tak ada
yang betul rasanya. Sementara jam terus saja berjalan. Aku meringis kesal.
Aku tahu tidak akan ada lagi acara tidur siang. Walau
demikian, mataku tetap ku suruh untuk meram saja. Biar pendengaran yang
menangkap apa yang terjadi di sekitar. Suara gitar adik laki-lakiku. Dan
lari-lari bocah tetangga. “Lengkap sudah!”
“Ih abang gendut,” si Ida masuk ke rumah dan ikut
memainkan tali gitar. Aku tidak tahu persisnya seperti apa. Yang pasti
hasilnya, “treeeng-treeeng-dan-treeeng.” Adikku marah pada Ida. Jelas ia anak
yang bengal dan nakal. Ku garis bawahi itu. Merasa apa yang diinginkannya tidak
terpenuhi, langkahnya beralih ke arah kamar. Dimana aku tengah berbaring. Dari
dulu ia begitu terpesona dengan kasur ini. Dan kini tiba saatnya untuk melompat
merasakan empuknya. Tak tanggung, ia berdiri di pinggir kepalaku. Melompat,
seperti yang dimauinya.
“Ida!” Tentu saja aku marah. Namun suara ku atur pelan.
Karena rumah ida sangat berdempet dengan rumah kontrakan ini. Takut saja, orang
tua atau saudaranya mendengar. Apalagi kami orang datang disini. Tidak enak
saja, sebagai pendatang baru. Tapi, kelakuan Ida sudah keterlaluan. Ku pukul
kakinya menggunakan tangan. Tidak sakit memang, tapi bisa menghentikannya.
Matanya menjadi sasaran pelototan mataku. Ia bergeming. Berlari-lari keluar
sambil bernyanyi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Dan seperti itulah Ida. Aku
dongkol jadinya.
Satu
sisi, aku salut dengan bocah itu. Imunitasnya luar biasa. Tidurnya pukul
sepuluh lewat. Dan paginya terjaga awal. Tidak pernah tidur siang dan selalu
ceria pembawannya. Tadi saja ku dengar ia bermain di tengah hujan. Meski
sendirian saja.
“Allahu
akbar, Allahu Akbar, Allah…..” Akhirnya suara merdu Maher Zain dalam tembangnya
always be there mengubur cita-citaku
siang ini. Ku matikan alarm. Di kejauhan terdengar kumandang azan dari corong
Masjid. Mulanya satu saja. Di sambut dengan kumandang lainnya. Dan lain lagi
setelahnya. Ashar telah tiba. Saatnya untuk membangkitkan badan. Meski sukar,
mengikhlaskan adalah pilihan terbaik, ku kira. Ku tarik nafas dalam. Duduk,
lalu bangkit. Belum sempurna ku berdiri, kamar berputar dahsyat. Setelahnya,
mungkin aku terjerembab dan tertidur.
………………
Aku
masih terbaring di atas ranjang pesakitan. Dugaanku matahari baru saja naik, tetapi
ternyata zuhur telah lewat. Saatnya untuk melaksanakan kewajiban, tukasku pada
diri sendiri. Kini ibu yang mendahului masuk ruangan. Mukanya tampak lesu dan mayanya hilang entah kemana. Lalu ayah muncul kemudian. Dengan raut muka yang
sama. Setelah shalat, stepertinya aku perlu tidur lebih lama untuk mendengar kabar yang mungkin
menyakitkan. Ketika aku terjaga lagi, ku harap kabar itu terdengar biasa-biasa
saja. Aku ingin bermimpi. Itu saja.
<<
Tak lebih dari guratan fiksi semata. Terutama pada poin awal dan akhir. Setelah
ini ku harap bisa tidur siang dengan nyenyak. Kalau tidak pun, kedongkolan ini
sudahpun tersimpan disini. Jadi untuk apa dibesar-besarkan, kan? He..he..he… >>
0 Messages:
Posting Komentar