Jumat, 23 November 2012

De' Bujangers


            Masih sulit memercainya bahwa ide ini keluar dari kepalanya si Abun. Begitu jenius meskipun sedikit abnormal. Tak masalah sama sekali, justru itu penemuan yang patut dihargai. Dimana-mana, sesuatu yang ‘wah’ hampir semuanya berasal dari ketidaknormalan. Jika tidak, dari yang sederhana. Bukan biasa-biasa, maksudku.
            Abun datang dengan marah-marah. “Dikiranya ini main-main apa?” tukasnya emosional. Aku bergeming dan konsentrasi dengan dunia maya.         “Sudah menikah kok mau masuk De Bujangers. Beranak satu lagi,” lanjut lelaki empat puluh tahun itu.
            Aku membetulkan dudukan dan kacamata, “itulah tugasmu selaku pendiri. Untuk menjelaskan bahwa komunitas ini bukan biro jodoh atau semacam itu. Ini adalah komunitas para lelaki ‘tua’ untuk saling bantu membantu menjemput jodoh. Bukan begitu?” ucapku mengulangi visi Abun dulu.
            “Yang paling parah, ia ingin mencari istri yang ketiga. Bengak gak tu!”
            Temanku itu mendekat. Meraih kursi lalu duduk disampingku. “Kayaknya perlu ditekankan penjelasan itu di blog kita,” kata temanku itu  menunjuk-nunjuk ke layar komputer.
            “Yang bergabung semakin banyak,” aku mengabarkan perihal traffic site kami. Paling tidak sudah ada lebih dari lima puluh orang yang bergabung dalam waktu dua bulan. Peningkatannya di page facebook lebih drastis lagi. Ternyata banyak yang senasib dengan kami. Abun tepatnya.
            Itu akan terus bertambah setiap harinya. Aku yakin. “Siap-siap jadi terkenal, bro,” kataku kemudian.
            “Jelas,” tanggapnya singkat.
            “Sebentar-sebentar.” Abun menyerobot key board dari tanganku. Jelas aku tahu apa yang ingin dibukanya. 
“O..ow, aku harus balas ini segera,” katanya sembari mengetik beberapa kata.
            Masa remaja kurang bahagia!
Tugasku tak lebih sebagai operator. Itu memang pilihan yang kuambil untuk mengembangkan komunitas ini. Mempromosikan De’ Bujangers lewat dunia maya. Sedangkan Abun sendiri, selaku pencetus berhak untuk menjadi ketua. Dan bertatap langsung dengan calon anggota baru. Kalau kebetulan berdomisili di daerah ini juga. Seperti yang tadi itu. Sayang saja, pengalaman pertama tidak terlalu bagus. Tapi itu akan menjadi permulaan yang baik.
…………..
            Ku dapati Abun melongo di kamarnya. Tubuhnya meringkuk dibalik selimut tipis. Agak jorok sih sebenarnya, tapi mau apa lagi. Calon orang terkenal harus di beri dukungan disaat-saat kritis dalam hidupnya. Itulah gunanya kawan. Seperti saat ini. Ku yakin, pertemuan kemarin adalah penyebabnya.
            “Ia kecewa, Ban,” tukas Abun lesu.
            Ah, siapasih sebenarnya yang kecewa. Cewek itu atau Abun sendiri sampai demam seperti ini. Sudah berkali ku katakan agar menjadi apa adanya saja. Tidak perlu lah menggunakan gambar orang lain di profile facebook segala. Ini jadinya.         Tentunya membahas itu lagi sekarang kurang tepat waktunya.
            “Siapa namanya?” ku coba mengurai pertemuannya dengan si cewek kenalannya via facebook itu.
            “Usianya tiga puluh. Sebenarnya tampangnya tak bagus-bagus amat. Namanya Liya.” Abun menarik selimutnya lebih tinggi.
            Aku mengangkat hidung sedikit. Semoga filter didalam benar-benar menyaring debu yang masuk. Dan mengurangi bau apek juga pastinya. Selain itu, jujur aku jengkel dengan sifatnya kekanak-kanakan seperti ini. Meskipun perihal mencari pasangan hidup ini sangat berat buat Abun. Namun, jangan sampai segininya kali.
            Sering ia bercerita tentang rasa irinya ketika melihat teman-teman seusinya jalan-jalan bareng istri dan anak-anaknya. Hatinya kecut setiap kali bertatap muka. Satu pertanyaan yang paling dibencinya adalah, “kapan menikah?”. Aku mengerti perasaan kawanku itu. Karena kami kurang lebih sama. Namun, aku lebih muda tentunya, lima belas  tahun. Dan juga ada beda lainnya, meskipun sama-sama belum menikah. Aku hanya tinggal menunggu si dia menyelesaikan studinya. Jadi, tak perlu mencari yang lain lagi.
            Tak kuasa membujuknya, kedatanganku hanya ingin menyampaikan bahwa seseorang hendak bertemu dengan pendiri De’ Bujangers. Tak jelas tujuannya, mungkin hendak menjadi anggota baru. Soalnya lewat sms saja. Tugas Abun lah itu menerimanya. Semoga kali ini berjalan lancar.
            “Pukul berapa?” tanya Abun lemas.
            “Setengah dua.”
……………
            Kami telah saling kenal, bahkan sejak masih sama-sama ingusan. Ia sering membelaku ketika berkelahi. Ia juga tak jarang membantu mengerjakan tugas sekolah. Seandainya waktu itu aku sudah mengenal kata malu, tentu aku menolak mentah-mentah segala bentuk pertolongannya. Merendahkan martabat sebagai bocah laki-laki yang bisanya berlindung dibalik punggung seorang anak perempuan.
            Kini, Khodijah sudah sangat, sangat berbeda. Kepalanya sudahpun berbalut jilbab. Otomatis, pakaiannya menyesuaikan. Panjang dan menutupi tubuhnya yang sempurna. Menjadikan muka tirus dan hidung bangirnya semakin sepadan dengan wajah ayunya. Metamorfosis tidak hanya bentuk fisiknya saja, perilakunya juga. Ia selalu menjaga jarak antara kami. Bukan mukhrim, alasannya. Meskipun begitu, tak sedikitpun kehangatan persahabatan berkurang, ku rasa. Aku mencoba memahami sebagai teman dan sebagai satu sisi lain lagi.
            Sempat ku tanya, apakah ia masih single sekarang? Ku tahu itu tidak pas ditelinganya. Raut mukanya menunjukkan ketidaksetujuan tentang istilah tersebut. Sebab persisnya, aku bingung. Ternyata Khadijah telah mengetahui banyak hal dari kota. Tentang Islam serta bagaimana menjalankan Islam itu sendiri. Aku kagum dibuatnya. Satu-satunya kata yang menggambarkan setiap kali bersua dengannya adalah minder.
            “Kita tidak boleh seperti itu, Iban,” katanya menjelaskan.
            “Apa yang kita lakukan adalah bagian dari proses perbaikan. Minder hanya layak ditujukan kepada Allah sang pencipta. Makhluknya tak ada yang lebih,” tambahnya lagi.
            Ia menghubungi kemarin, mengatakan bahwa bulan depan prosesi studinya di kota selesai. Pada bulan yang sama juga akan diwisuda. Tiba saatnya. Siapa yang tidak senang. Orang tua pun telah merestui. Aku, tentu saja pewaris tunggal pabrik padi ayah. Tidak perlu tunggang langgang kesana kemari mencari kerja. Ayah pun tidak keberatan, kelak aku mengoperasikan usaha perkebunannya juga. Ditambah, aku sering membantunya. Sekedar belajar dan mencari pengalaman. Sementara, Ibu bahkan sangat senang bermenantukan Khadijah.
            Di sela-sela kesibukan itulah aku membantu teman berumurku, Abun. Abun pasti senang mendengar kabar ini. Tangan kanannya sendiri telah sukses menemukan cintanya. Bangga pastinya dia. Mungkin sedikit terkejut mengenai Khadijah, tapi itu tidak masalah sama sekali. 
            …………….
            Hidup terkadang benar-benar menyiksa. Karena kita tidak bisa memilih sesuka hati. Tapi harus dengan usaha yang mapan, baru apa yang diinginkan akan termakbul. Semakin kasihan aku pada Abun. Apa mungkin sosok yang ditemuinya tadi lelaki yang ingin beristri lagi? Semoga tidak.
            “Bengong, bun!”
            Dia marah jika dipanggil abang hanya lantaran pautan usia. Sebut nama saja, tegasnya suatu waktu dulu. Aku menarik kursi, lalu bergabung dengannya. Jarang alias ini untuk pertama kalinya, secara resmi ia memintaku datang. Katanya, ada sesuatu ingin disampaikannya. Kebetulan sekali, aku juga ingin berbicara dengannya.
            Tatapannya sekilas ke arahku. Abun tak tertarik menjawab lekas. Matanya menyapu lalu lalang pengendara. Pikirannya seolah terbawa merayap juga. Untung mukanya tidak ikut-ikutan. Ya, sore ini kami mangkal di kantin di tepi jalan. Coffee street istilahnya.
            “Orang itu tidak datang. Tapi, bukan itu yang ingin ku katakan,” perhatiannya kini mengarah kepadaku. Ia menghela nafas berat. Seberat perihal yang ingin disampaikannya sepertinya. Aku bungkam.
            “Menurutmu Khadijah bagaimana? Maksudku, apakah aku tidak terlalu tua untuknya. Kemarin, ibunya mengatakan gadis itu akan wisuda bulan depan. Artinya kan, tidak salah kalau aku mencoba keberuntungan. Kau tahu, sebenarnya selama ini aku menyisakan ruang di hatiku untuk gadis itu.”
            Gelas berisi kopi panas, batal ku seruput. Aku mengembalikan pada tatakannnya. Ia disana sebisu diriku sekarang. Kepulan asapnya ku harap mampu memberi saran terbaik. Kata apa yang harus ku ucapkan setelah ini. Kata-kata seolah sirna dari kepalaku. Apalagi harus merangkainya menjadi sebuah kalimat. Ternyata Abun…?
            Sulit membayangkan jika aku berterus terang sekarang. Abun tidak pura-pura. Seingatku baru kali inilah Abun benar-benar serius. Tak pernah ia seperti ini. Apalagi menyangkut seorang wanita. Aku masih belum memberikan tanggapan. Abun menunggu dengan jengah.
            “Begini,” aku memulai dengan gugup.
            Apa yang terjadi terjadilah setelah ini. Di satu sisi, tidak bisa aku membohongi diri yang juga berharap pada Khadijah. Di sisi lainnya, aku enggan ku kehilangan teman seperti Abun. Jalan tengahnya adalah lelaki itu mengurungkan niatnya pada Khadijah setelah penuturanku. Tapi itu kecil kemungkinannya.
Meski nanti akan menghadapi kondisi terburuk lalu pulih kembali, namun itu akan berlainan sama sekali. Ketika tunggul sudah ada, payah untuk menjadikannya seperti semula.
            Aku mulai menata kata-kata lagi, “Khadijah orangnya baik. Ku pikir jodoh tidak pernah mempermasalahkan tentang seberapa jauh jarak usia. Hanya saja….”
            “Hanya saja apa?” pangkasnya.
            “Sudah dipikir masak-masak?”
            Sadar dengan sesadar-sadarnya, aku tidak seharusnya mengatakan tadi. Tapi entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja. Dengan demikian aku telah menabuh genderang perang dari belakang temanku. Aku, aku mungkin juga telah menikam jantungnya dengan tidak berkata jujur.
            “Aku mengerti maksudmu, ban. Terima kasih.”
            Muka suram itu berseri seketika. Bumbung harapan menjadikannya seolah hidup kembali. Abun menjabat tanganku erat. Justru kengerian merayap di seluruh tubuhku. Membayangkannya hancur berkecai-kecai nanti. Sempatku berpikir meralat semuanya sekarang. Namun, hati kecilku terus menyayangkan. “biar waktu yang menyelesaikannya, dia pasti mengerti nantinya,” begitu tukasnya.
            Kopi terasa dingin dan rasanya menjadi hambar. Sore mulai mengubur diri di ufuk barat. Jagadnya pelan-pelan berubah mega oranye kemerahan sekarang. Abun telah lama meninggalkanku sendirian disini. Kumandang azan menghentak lamunanku. Mengingatkan saatnya harus beranjak.
…………..
            Dua hari aku disibukkan membantu ayah di perkebunan yang kebetulan letaknya jauh dari kampung. Mau tidak mau, kami harus menginap. Ini pengalaman penting, ban. Begitu kata ayah menekankan pentingnya aku ikut dengannya waktu itu. Buruh di perkebunan menuntut kenaikan gaji. Hal-hal seperti ini mungkin akan terulang dimasa depan. Demikian tambah ayah lagi. Maka, dalam dua hari yang lalu aku telah belajar bagaimana bernegosiasi dengan para pekerja yang ikut mengembangkan perkebunan orang tuaku.
            Abun tidak mengangkat teleponnya dan sms ku pun nihil balasan. Ku pergi ke rumahnya. “Ia pergi kemarin. Tak tahu kemana,” kata ibunya yang telah renta.  
Hanya itulah satu-satunya informasi tentang menghilangnya Abun. Tapi dibalik itu semua, jelas aku tahu sebab pemergiannya yang tanpa kabar. Pergi adalah pelampiasan amarahnya. Pengkhianatan dari kawan sendiri lebih sakit, bukan?  Abun telah mendengarnya.
            Khitbah, istilah yang sering disebutkan oleh Khadijah saja belum. Berita di kampung menyebarnya bahkan lebih cepat dari aliran listrik. Kabar burung mengatakan, sepulang Khadijah nantinya akan langsung menuju ke pelaminan. Banyak warga yang menyayangkan. Terlalu dini, katanya. Yang semakin mereka herankan adalah kenapa harus aku. Bukankah pemuda kota lebih banyak yang lebih. Lebih keren, misalnya. Namun, aku yakin gadis itu enggan membuat telinganya pekak dengan isu murahan tersebut kelak.
            Yang terpenting sekarang adalah Abun. Minta maaf adalah hal pertama yang ingin ku utarakan padanya. Meskipun memaafkan jauh berbeda dengan melupakan. Seperti kata hatiku beberapa hari yang lalu, semoga ia maklum.
            Menepikan Abun sejenak, aku mengkonfirmasi permintaan pertemanan dari banyak orang. Juga membalas pesan-pesan di blog. Ada diantara mereka yang meminta penjelasan bagaimana detilnya komunitas ini. Apakah semacam agen, begitu. Ku jelaskan sekenanya rencana De’ Bujangers kedepannya. Seperti akan melakukan pelatihan pengembangan kepribadian, menginformasikan lowongan  pekerjaan, dan yang serupa dengan itu pokoknya. Intinya, komunitas ini adalah bentuk penanggulangan dari hambatan-hambatan yang memperlancar menjemput jodoh.
            Ada pula yang bertanya tentang muka. Kurang ganteng dan sebagaimana. Aku tersenyum sendiri sebelum menjawabnya. Untuk urusan yang satu itu, kami bahkan tidak memikirkan untuk membuka jasa operasi plastik. Selain melanggar aturan Tuhan, tentu biayanya tidak sedikit. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan pada si penanya. Di balasnya dengan, “komunitas macam apa ini! Katanya, katanya, katanya dan bla-bla-bla.” Sebagian lagi mengatakan bahwa komunitas dan blog ini adalah yang paling tersinting yang pernah di temuinya. Itu urusannya.
 Urusanku sekarang adalah Abun. Sebenarnya tadi berhasil sejenak tidak menghiraukan tentang dia, kini kepalaku berdenyut dan rasa bersalah kembali menghinggapi.
Pintu  base kamp sekaligus kamarku diketuk dari luar. Aku penasaran. Satu-satunya orang yang melakukan itu adalah Abun. Benar, sosoknya muncul dari balik pintu seketika. Aku siap menghadapi ini.
“Kau tahu, ban. Berita itu hampir membuatku bunuh diri. Lebih baik terjun saja dari jembatan, pikirku kemarin,” tukasnya terdengar lirih. Mukanya berubah sedih.
Sementara aku mulai menjadi tegang. Kami memang sering saling umpat, tapi tidak pernah bersitegang seperti ini. Kalau hampir, termasuk sering.
“Kejam. Kau benar-benar kejam, ban. Seandainya berkata jujur sore itu, mungkin tidak akan terlalu menyakitkan seperti ini,” tambahnya lagi. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. Persis waktu sore itu. Kepalaku menunduk. Baru hendak berucap, tiba-tiba tawa Abun pecah. Terpingkal dan lama seperti itu hingga air matanya jadi keluar. Ia menepuk pundakku. Heran jadinya.
“Sebaiknya aku ikut audisi pencarian aktor,” ucapnya masih menyisakan tawa.
Aku masih terdiam bingung.
“Ban, kau kira tadi itu benar-benar. Tentu saja tidak oh Iban si anak kacamata tebal.”
Otakku berjalan tidak terlalu cepat. Sulit menyesuaikan keadaan. Dari tegang menjadi sesantai seperti ini.
“Mana mungkin aku melarikan diri dari kampung hanya gara-gara temanku ini akan menikahi gadis yang ku taksir,” Abun menunjukkan jemarinya ke dadaku. “Kau ingat, sudah berapa kali aku ditolak para ladies? Tak satupun yang membuatku kecut. Termasuk yang kemarin itu. Ku tahu kau mengira aku demam lantaran cintaku terbuang, kan?”
Aku mengangguk
“Salah,” Abun menyeka air matanya untuk terakhir kalinya.
Aku tetap tanpa suara.
“Ternyata orang yang tidak datang hari itu adalah seorang perempuan. Heran, kan? Aku juga heran. Aku tahu karena dia datang di hari kau pergi ke perkebunan. Kau tahu maksudnya? Ya itu, ingin bergabung dengan de’ bujangers.”
“Tunggu-tunggu,” aku memotong penjelasan Abun. “Dan kau menolak keikutsertaannya. Karena kau akan datang melamarnya keesokan harinya.”
Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah ini. Karena hidup memang misteri. Hak kita adalah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Hasil, Allah juga yang menentukan. Semuanya terjadi begitu aneh dan cepat.   
…………..
“Jadi?”
Aku meminta keputusan terakhir sang deklarator. Mati atau maju terus? Meskipun kepastian jawaban itu sudah ada di kepalaku. Aku yakin, pendapat Abun juga sama. Apa lagi yang kami harapkan. Status kami tidak lagi lajang. Menikah dalam satu atap. Aku dan Khadijah di sebelah kanan. Abun dan istrinya, Atiqah tiga puluh dua tahun, di sebelah kiri. Itu sebuah pencapaian baru dalam tradisi di kampung kami. Itu sebulan yang lalu.
Abun meng-klik tanda ‘x’ pada sudut kanan. Aku tahu jawabannya. Setelah ini, de’ bujangers hanyalah kenangan paling lucu dan gila dalam hidup kami masing-masing. Sebagai penutup sejarah, aku mengabarkan bahwa mulai saat ini de’ bujangers tinggal sebuah nama. Permohonan maaf juga ku tuliskan dengan sekhidmat mungkin. Ku harap mereka akan menyesal mendengarnya.
Tak lama berselang, sebuah email masuk. “Aduh, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Padahal aku baru bergabung.”
Aku dan Abun serentak mengangkat bahu. 

0 Messages:

Posting Komentar

 
;