Selasa, 30 Oktober 2012

Juru Masak Dusun


            “Yakin, Od?”
            Kedua rahangku mengeras mendengar pertanyaan tak berbobot Jaidi. Ternyata ia masih juga sangsi perihal niatanku untuk ikut kompetisi itu. Kurang asam sekali, pikirku.
            “Sumpah pemuda!” tegasku singkat.
……………
             Aku senang tidak berada diantara mereka yang berkerumun di lapangan. Karena tempat kami berbeda yaitu diatas panggung. Dengan satu orang protokol, tiga juri yang menurutku bisanya cuma mengatakan enak atau tidak. Juga dua pesaing yang tak satupun dari mereka membuatku minder. Karena dengan seyakin-yakinnya, hari ini adalah sejarah hidupku terukir. He…He…!
            “Tes-tes-tes…” Pak ngah Judin memastikan kondisi mic-nya bisa berjalan sempurna. Sama seperti yang ia selalu lakukan setiap menjadi protokol di acara pernikahan warga. Karirnya dalam dunia protokoler memang cukup populer. Sayang saja hanya berkubang dilingkup dusun.
            Ia berucap salam. Lalu mengucap hormat pada jajaran pemerintah desa yang enak-enakan bernaung di tenda di sisi kiri panggung. Dilanjutkan dengan menyapa warga yang antusias dan meringis di bawah sinar mentari pukul delapan lewat.
            Di depan kami selaku peserta, ada tiga meja yang disusun agak berjauhan. Tak perlu ditebak apa diatasnya meskipun tertutup. Itu adalah inti dari kompetisi ini. Namun, saat ini aku lebih berselera untuk menekan sainganku. Bukankah itu biasanya yang harus dilakukan sebelum bertanding. Katakanlah sebagai pemanasan. Atau uji kesiapan mental.
            Tepat duduk disampingku seorang ibu muda yang sok cantik. Itu pendapatku. Dan ketika kutanyakan kepada Jaidi kemarin, ia juga berkata serupa. Jadi, kesimpulanku tidak salah. Namanya Jelita. Ah, nama dan orangnya seperti pinang di belah dua. Ketika membelahnya menggunakan parang tumpul. Buah pinang pun pecah bertaburan.
            Gayanya glamor ala kampung. Tahukan maksudku? Jika tidak, bayangkan saja sendiri. Kalau bicara keramahannya, aku mengakui. Dari pertama datang sampai setelah kurang lebih satu jam disini ia selalu tersenyum. Baik kepada kami sebagai saingannya maupun kepada warga yang kebanyakan mengharapkan kemenangannya. Itu wajar. Ku harap setelah acara ini, ia tidak sakit pipi. Terlebih ketika melihat aku memegang trofi kemenangan nanti.
            Jujur, aku merasa terganggu dengan ikutnya wanita itu dalam kompetisi ini. Tetapi justru karena itu juga kenapa aku ada disini. Cukup sudah Mak Ude selama 32 tahun memangku kepala juru masak dusun. Dan Jelita merupakan cucunya yang berusaha meneruskan “rezim” keluarganya. Tak sopan sekali.
            Lengsernya Mak Ude dari kursi juru masak kampung terjadi secara otomatis. Ia menutup usianya dengan angka 65 tahun. Seperti kebanyakan lansia, faktor penuaan dan komplikasi penyakit tersembunyi menyebabkan kematiannya. Beberapa hari sepeninggalnya, kepala dusun berembuk dengan warga untuk menentukan pengganti beliau. Maka kompetisi ini adalah cara penentuannya.
            Tatapku kepergok Jelita. Secepatnya kualihkan pandangan kepada warga yang masih saja antusias mendengarkan ocehan pak ngah Judin. Ku coba melakukan hal yang sama dari Jelita, tersenyum manis. Yang muncul kemudian hanyalah senyum masam. Karena aku sangat sadar, satu-satunya orang yang, itupun dengan terpaksa, mengandalkanku hanyalah Jaidi. Setelah ia mengatakan bahwa aku sedikit stres dengan cengiran gigi jongosnya. Sergahku pada pandangan Jaidi kemarin, “mungkin kau betul sob. Lantaran terlalu banyak menganggur, makanya pikiranku tidak lagi normal.” Aku diam sejenak sebelum melanjutkan, “asal tahu saja Je, tingkatan stres itu bertingkat-tingkat. Ku yakin berada pada tingkat yang produktif kok.” Jaidi menggeleng mendengar ucapanku.
            Alamak. Jelita mendapat poin satu dariku. Aku merasa menjadi pecundang dengan tidak membalas tatapannya tadi. Ia berhasil mengintimidasiku hingga ke pojok panggung. Aku terkucilkan. Rilek, tenang, dan tidak apa-apa. Kali ini mungkin ia bisa bertingkah seperti itu. Setelahnya, ku pastikan matanya akan keluar dari rongganya saking terperangah melihat kemampuanku dalam mengolah rempah-rempah. Menciptakan masakan terbaik untuk dusun ini. Lihat saja nanti.
            Rasanya tidak adil dan terlalu lengah jika mengabaikan saingan tertua kami. Jehan itulah namanya. Aku menyesal jika harus mengatakan ia sebaiknya tidak ikut saja kompetisi seperti ini. Lebih baik ia merias diri dikamar, lalu menunggu seseorang datang melamarnya. Belum sempat mengadakan penelitian memang, tapi dugaanku sepanjang hidupnya terlalu diberatkan dengan menjadi asisten Mak Ude. Terlalu antusias menjadi juru masak dusun suatu hari nanti. Itu menjadikannya lupa untuk mencari pendamping. Padahal masa kedewasaannya telah melampaui tiga puluh tahun.
            Berbicara pengalaman, ia nomor wahid tentunya. Namun sebuah perubahan tidak cukup hanya dengan itu. Perlu pemikiran yang segar dan kreatifitas. Pengalaman sebagai landasan agar berbuat lebih baik. Bila dipikir-pikir posisiku berada dimana ya?. Pengalaman atau kreatifitas. Ternyata Jaidi benar, bekalku hanyalah dekat dan ambisi tak jelas.
Bagaimanapun sungguh tak tega melihat Jehan meratap diakhir pertandingan kelak. Sembari mendengar bahwa dirinya menjadi runner up atau juara terakhir. Menyedihkan sekali. Pucuk dicinta ulam tak tiba. Tapi itulah kompetisi dan ia bersikap untuk mengambil resiko.
……..
Dan peluit pun berbunyi. Tepuk tangan dan dukungan dari bawah bergema. Menyebut-nyebut nama Jelita dan Jehan. Lalu dimana Jaidi yang kutugaskan untuk mengumpulkan anak-anak muda agar menjadi supporter-ku. Sampai saat ini aku bahkan belum melihat batang hidung tetanggaku tersebut.
Tantangan pertama adalah ayam masak merah. Merupakan seperti menu wajib di acara syukuran atau pernikahan di dusun. Gampang, pikirku. Antisipasiku tepat. Bagaimana memasaknya telah kupelajari dari bunda tercinta dua hari yang lalu. Bawang merah, bawang putih, ketumbar, dan santan kelapa. Dengan tambahan cabe bubuk sebagai pewarna. Ada yang kurang. Tapi apa? Tak penting. Biasanya kalau masak-masak itu diberi kunyit, cengkeh, dan kapulaga juga boleh mungkin.
Waktu berlari begitu lajunya. Rasanya aku baru saja menghidupkan kompor gas dan memasukkan rempah-rempah. Menyatukannya dengan bahan utama yaitu daging ayam. Tiba-tiba tinggal lima menit tersisa. Sedikit lega ketika melihat dua pesaingpun sepertinya cukup kelabakan mengetahui hal itu. Pak ngah Judin tak henti-hentinya memberitahukan bahwa waktunya sebentar lagi berakhir. Jadi kepada peserta diharapkan untuk segera melakukan pekerjaan terakhir.
Aba-aba dari suara peluit nyaring terdengar. Secara spontan pula menghentikan tindak-tanduk kami diatas meja. Sayangnya aku tidak bisa melihat riak mukaku sendiri. Yang pasti, masakanku cukup sempurna.
Tak tahan untuk tidak memandang hasil lawan. Masakan Jelita menjadi sasaran pertama. Sakit rasanya untuk berkata jujur bahwa wanita itu memang pandai dan gemar memasak. Lauk pauk hingga beribu variasi kue. Informasi yang beredar, Jelita tak pernah alpa untuk membeli majalah seputar masak-memasak. Atau jangan-jangan?
Ku menyelidiki barangkali ada sesuatu di dalam saku celemeknya. Seperti catatan resep atau semacamnya. Di telapak tangannya boleh jadi juga ada. Kosong. Diatas meja? Semuanya bersih. Ternyata ia menyontek lewat memori otaknya.
Aku menggunakan istilah plating yang kuyakin Jehan tidak pernah tau apa itu artinya. Itu ku dapatkan dari seringnya menonton reality show Masterchef. Dan plating yang Jelita suguhnya sangat, sangat elegan. Ayam masak merah dengan wahana mangkuk kaca transparan. Bawang goreng bertabur diatasnya, potongan cabe merah, dan beberapa batang sawi di pinggirnya.
Sementara wanita paruh baya diujung sana mengukuhkan statusnya sebagai generasi tahun enam puluhan. Seperti kataku tadi, pengalaman mengekangnya untuk berkreatifitas lebih. Mangkuk yang dipilihnya adalah kaca yang berwarna susu. Hanya taburan bawang goreng diatas sebagai hiasannya.
Entah aku yang mengikuti Jehan atau ia yang justru meniru plating-ku. Sama persis soalnya. Apapun, aku sangat yakin diantara kami bertiga, Jelita justru melakukan kesalahan besar. Ia pikir ini kompetisi untuk menjadi juru masak di restoran atau rumah makan. Dusun nona. Ingat! di Dusun Karya!
Para juri telahpun melakukan tugasnya. Mencicipi, mengangguk-ngangguk sebentar lalu menuliskan poin di kertas. Bila dilihat dari latar belakang juri sih, besar kemungkinan nilaiku bakal tinggi. Juri pertama adalah sepupu dua kali dengan bapak. Tak mungkinlah ia tega melihat keponakan jauhnya ini ternista menanggung malu. Di runut dari silsilah keluarga pula, kakeknya ibu dengan kakeknya juri kedua masih saudara kandung. Itu juga nilai tambah buatku. Dan yang terakhir, tidak ada hubungan darah sama sekali. Dengar-dengar ia pendatang dulunya di dusun kami.
Tantangan kedua dan ketiga dilakukan dalam satu waktu. Yaitu Semur Sapi dan Sup Jamur. Durasinya dua kali lipat dari sebelumnya. Begitu aba-aba berbunyi kami pun mulai memasak. Lagi-lagi dalam hatiku berucap terima kasih kepada bunda tercinta yang susah payah mengajariku memasak semur sapi. Juga dua hari yang lalu. Tapi aku terus saja menggerutu sendiri. Siapa yang harus disalahkan? Jelas bunda tercinta juga karena tidak mengingatkanku bahwa acara dusun biasanya tak lepas dari Sup Jamur. Dan aku belum belajar apa saja rempah-rempahnya.
Lebih dari separuh waktu yang diberikan, aku telah menyelesaikan hidangan pertama. Kali ini memang agak susah buatku. Ketika aku hendak beranjak ke masakan ke dua, dua pesaingku sepertinya sudah sedikit santai. Tinggal menunggu air supnya mendidih lalu memasukkan bahan-bahannya. Tanpa sadar aku menyeka keringat. Bisa gawat jika keringatku masuk ke dalam rebusan air.
Teng! Semua beres. Aku menghela nafas panjang ketika telah menyiapkan dua hidangan diatas meja. Jelita lewat senyumnya mencoba menyemangatiku yang ketinggalan. Jangan sok baik deh, pikirku. Jehan tadinya juga serius memerhatikanku. Asal jangan perhatian lebih saja, tidak apa-apa. Tapi mungkin ia berdoa agar memasakku berjalan lancar.
………..
Jeda sejenak melepas lelah. Tenggorokan kami dimanjakan dengan es kopyor dan kue melimpah. Sementara pendengaran dan penglihatan di hibur oleh suara sumbang sukarelawan yang tak kaca diri. Itu lebih baik, lebih baik tidak usah menyanyi. Dikiranya tengah mengikuti audisi mencari bakat barangkali. Anehnya, warga seolah terpana dan terpesona mendengarkan alunan lagunya. Tepat! Bukan suaranya yang mendayu merdu. Namun musik dangdut selalu ada tempat di hati warga. Tak level.
Dari satu menjadi dua yang siap menyumbangkan suara sumbangnya. Yang kedua lebih baik dari yang pertama. Sama juga sih, lebih baik tidak usah saja. Bedanya ia membawakan lagunya ST12 dengan penuh penghayatan. Baru aku sadari rambutnya juga benar-benar Charli dan ada anting-anting kecil di kuping kanannya. Huh.
Sementara kumbang bernyanyi, dewan juri sibuk mendiskusikan torehan poin yang tertera di kertas masing-masing. Tentunya selain mengkalkulasikan hasil keseluruhan, mereka juga mempertimbangkan untuk kebaikan Dusun Karya kedepannya. Bagaimana kalau si anu menang? Dan bagaimana jika si dia? Sesekali satu atau dua dari mereka melihat ke arahku. Aku tahu artinya itu? Itu artinya aku!
Di kerumunan di bawah, akhirnya aku menemukan Jaidi juga. Ia sepertinya baru datang entah dari mana. Mungkin hilir mudik mencari anak-anak muda yang rela menjadi supporter-ku. Semuanya itu tidak lah bermakna sekarang. Buktinya tanpa Jaidi menjadi pendukung tunggal maupun rekan-rekan kaum muda pun, aku bisa melakukan tugasku dengan sebaik mungkin.
…………
Tak sabar rasanya melihat Jelita kecewa, menangis lalu berlari tunggang langgang. Juga, sebenarnya tak sampai hati dengan Jehan, kalau harus mengusap pipi keriputnya. Seolah menjadi seorang penghianat bagi pengorbanan wanita tua tersebut. Tapi, pikirku. Aku kan tidak bisa menyenangkan setiap orang. Kecuali aku dengan suka rela menyerahkan trofi kemenangan kepada Jehan. Tidak tentunya kepada Jelita.
Pak ngah Judin berdehem. Memandangi kami bertiga sekilas. Dimatanya, bisa saja kami seperti patung liberty yang pucat tertimbun salju.
“Dengan pertimbangan seksama serta hasil masakan yang diperoleh, dewan juri memutuskan….”
Aduh pak ngah Judin berlagak seperti MC dalam tv saja. Menunda-nunda untuk mengumumkan siapa pemenangnya. Degub jantungku semakin kencang. Aku seolah kehilangan nafas. Jelita disampingku pias, tapi dengan senyum tetap menyungging di bibirnya. Jehan pula menunduk kebawah. Apa mungkin ia melihat keriput pula dibuku jemari kaki-kakinya.
“Selamat, kami ucapkan kepada Jehan.”
Padahal disini tidak ada gunung. Bagaimana mungkin bumi tiba-tiba bergetar. Panggung ikut bergoyang. Meja melompat-lompat. Warga berlari kelimpungan. Berteriak histeris memanggil anak-anak, istri, dan suami mereka. Pak ngah Judin sekuat mungkin menenangkan, “harap tenang, tidak apa-apa,” katanya. Akhirnya ia tidak sanggup juga. Menyelamatkan diri entah apa. Yang pasti bumi berguncang hebat.
Itu hanya terjadi padaku. Sulit di percaya wanita itu memangku jabatan juru masak kampung. Lalu apa arti pandangan dewan juri beberapa waktu lalu. Apakah itu artinya meremehkan kemampuanku. Padahal aku sudah mulai memasak sejak kelas enam SD. Ketika bunda tidak menyiapkan lauk yang ku sukai, aku membuat hidangan sendiri. Nasi goreng misalnya. Dan itu berjalan bertahun-tahun. Saat kuliahpun tak jarang aku memasak untuk diri sendiri. Biarpun paling sering mi instan.
Itulah masalahnya ternyata. Puluhan tahun itu, aku tidak pernah memasak menu seperti kompetisi kali ini. Ayam masak merah, semur sapi, dan sup jamur. Oho, lihat sisi baiknya saja lah. Tidak mungkinkanlah pemuda sepertiku harus menjadikan juru masak dusun sebagai karir. Tidak mungkin!. Bagaimana tulisanku nantinya jika setiap minggu harus memasak dalam acara syukuran atau pernikahan di dusun. Terlebih bulan haji seperti saat ini akan ada banyak rentetan acara.
Ku dapati Jehan berjalan ke muka. Mengambil trofi kemenangannya dari salah satu dewan juri yang menyerahkan secara langsung. Tak lama, tepuk tangan bergema di seantaro lapangan. Baru kali ini sejak tadi, senyum Jehan mengembang. Mungkin, “wah akhirnya…” itu yang diucapkannya dalam hati.
Wanita disampingku tidak lagi seperti sebelumnya. Seolah kata senyum telah hilang dari kamusnya. Menguap ke udara dan berbaur dengan angin. Matanya mulai berkaca. Rautnya menunjukkan kekalahan. Apakah seperti ini ketika ia terdepak dari audisi Masterchef beberapa bulan lalu? Satu hal yang kutarik dari kesepakatan dewan juri. Pengalaman nomor satu.
………….
“Kemana saja?” Jelas aku marah dengan Jaidi yang lalai akan tugasnya. Kemunculannya diakhir acara sangat mengecewakanku. Meskipun kumaafkan setelahnya.
“Bawa ayah ke rumah sakit. Cuma salah makan kata dokter.” Jaidi membela diri.
“Alhamdulillah, untuk ayahmu.” tukasku kemudian melembek.
Diam sejenak.
“Je, bagaimana menurutmu jika aku ikut saja audisi Masterchef season 3 nanti?”
Jaidi terjungkal di belakangku.

By the way, namaku Oddy (Odd=aneh/ganjil)


           
           
                       

0 Messages:

Posting Komentar

 
;