=Hanya fiksi belaka. Jika terdapat kesamaan nama dan tempat itu hanyalah kebetulan yang sengaja dijadikan kebetulan. Karena fiksi itu adalah cerita yang sejatinya terinspirasi dari kejadian disekeliling kita dan kemudian dimasukkan unsur fiktif di dalamnya=

Sejak pagi tadi HP memang sengaja ku
matikan. Setelah shalat subuh ku lanjutkan lagi tidur. Jika engkau melihat dari
luar, tempat tinggalku saat ini laiknya rumah kosong. Tak berpenghuni. Tertutup
rapat pintu maupun jendelanya. Liburan yang sangat menyenangkan. Agendanya;
sampai menjelang siang akan ku habiskan dengan baring-baring sambil menonton
televisi. Dan setelah menjalankan tugas sebagai seorang hamba, lalu makan, baru
akan memulai perjalanan ke bagian paling utara di kabupaten ini. Menyisiri
pesisir sendirian.
Uh...Aku bangkit dengan malas untuk
menanggapi sebuah ketukan pintu dari luar. Gerutuku menjadi namun pelan. Ku
intip siapa pengganggu kesenanganku tersebut dari lubang pintu. Tak ada. Apakah
setelah manusia berhasil ku sisihkan, makhluk halus juga iseng ikut menganggu
hari istimewa ini? Aku tak akan membiarkan itu kalau begitu. Ku memastikannya
dengan membuka pintu. Mataku menyipit diterpa cahaya mentari pagi menjelang
siang. Setelah beberapa saat baru retina ini mulai menyesuaikan diri. Dengan
kondisi semrawut, ternyata aku menyambut kedatangan Ning Amah, tetangga
sebelah. Ia menenteng sebuah rantang bertutup piring beling. Pantas saja ketika
diintip tadi aku tidak melihat seorang pun, karena memang tubuh wanita berumur
itu lebih rendah dari lubang pintu.
“Ning dengar kamu sakit.”
Terlalu berlebihan. Darimana dia tahu? Aku
hanya tidak mau seorangpun memasuki kehidupanku hari ini dan esok. Itu saja! Tapi
tak mungkin itu ku utarakan di depan Ning Amah. Sebaliknya aku menyusun muka
kusut agar sandiwara sakitku mendekati benar adanya.
“Hanya kurang enak badan, Ning.” Tukasku
tak jelas.
Ning Amah menyodorkan barang bawaannya.
Uapnya masih mengepul ketika ku buka tutupnya. Rupanya sayur lodeh itu seketika
membuat perutku berteriak histeris. Benar, sampai jam segini belum ada makanan
berat yang ku jejalkan ke dalam perut. Namun untuk menanak nasipun aku sangat
tak kuasa melakukannya hari ini. Seperti rencanaku, baru akan mendatangi sebuah
rumah makan siang nanti. Jadi tidak keluar dua tiga kali. Sekali jalan,
maksudku.
Walau bagaimanapun, tentu saja tidak
enak menolak pemberian seorang tetangga yang begitu perhatian dengan kita
sebagai tetangganya. Masa bodoh dengan guyonan orang. Yang ku lihat dari raut
muka Ning Amah hanyalah keikhlasan dalam memberi. Tak lebih. Beginilah susahnya
menjadi orang bujang yang bermuka diatas rata-rata. Tunggu-tunggu. Kalaupun
Ning Amah benar memiliki perasaan “aneh” terhadapku, itu wajar. Artinya dia
normal. Ha..ha…ha…Yang terpenting itu semua akan berakhir segera. Karena awal
tahun baru nanti, statusku tak lagi melajang.
Aku berucap terima kasih sebelum Ning
Amah beranjak dari muka rumahku. Si bocah Anung di jalan ingin bermanja
denganku. Tak berminat meladeninya, selekasnya ku rapatkan pintu lagi. Pergi ke
dapur dan bermaksud memasukkan gulai itu ke dalam lemari. Tapi mau bagaimana lagi,
aku tak sabar untuk mencicipinya. Menguras semua sayurannya kemudian. Setelah
ludes, ku tepikan rantang itu di sisi dinding. Ku lanjutkan pesta ku yang
sempat terhenti.
…………
Jelas pengelolaan di obyek wisata
ini tak becus dan apa adanya. Hanya mengandalkan daya tarik alam untuk
mengundang turis lokal agar berkunjung ke sini. Makanya, turis manca negara tak
tertarik untuk sekedar melihat-lihat. Fasilitas umumnya tak tersedia dengan
layak. Misalnya toilet umum yang kotornya minta ampun dan kondisi penginapan yang sungguh, ku
menyebutnya mengharukan.
Ketika check-in tadi, gadis resepsionis melayani dengan ramah dibuat-buat.
Jika bisa, ku ingin menyebutnya terpesona. Dibalik sikapnya itu, jelas ia tak
lagi berselera bekerja disini. Mungkin bosan, gaji kecil, musiman, dan kurang
menantang. Ku ajukan dua jempol jika yang terakhir benar-benar masuk poin.
Kesimpulannya, tidak ada pilihan selain bekerja disini. Dan selain bekerja di
negara tetangga tentunya.
Aku masih duduk di ruang tunggu.
Menunggu seseorang selesai membersihkan kamar yang kupesan. Ditemani gadis yang
duduk di meja resepsionisnya sejauh lima langkah. Sesekali ia melirik ke
arahku. Tapi kini mukanya merengut-rengut. Dan satu-satunya alasan mengapa
sampai itu terjadi adalah aku telah membuatnya dongkol. Sebenarnya aku sudah
memasuki kamar nomor tiga sebaik saja ia memberikan kunci. Hanya saja tak
mungkin tiduran di atas kasur yang berdebu. Makanya aku meminta pindah kamar
saja. Dengan berat dan muka masam ia setuju. Di kamar empat keadaannya tak jauh
beda. Bahkan kamar tiga lebih baik. Lalu, aku meminta pindah kamar lagi. Ia
mendesis. Memencet beberapa tombol di HP nya.
Tak berselang lama kemudian datang
seorang pemuda dengan senyum mengembang. Layu kemudian setelah melihat muka
sang gadis. Berpakaian sekenanya, menandakan pemuda itu penduduk setempat.
Tanpa panjang lebar, ia langsung masuk ke kamar nomor tiga. “Tunggu sebentar
pak, kamarnya sedang dibersihkan.” katanya. Aku masih ternganga bila mengetahui
dirinya adalah seorang cleaning service.
Sebagai pegawai tetap, serapan atau cadangan. Apalah bedanya. Menurutku paling
tidak atribut apakah yang mencirikannya jabatannya. Ini tidak.
Dalam sebentar itu, kami sibuk kembali dengan
urusan masing-masing. Seperti pertama aku melihatnya tadi, gadis itu tenggelam
lagi mengisi Teka-Teki Silang. Sementara aku konsentrasi dengan siaran televisi
yang menyala.
Luar biasa, pikirku. Seharusnya negeri
ini menjadi negeri yang bahagia. Seperti orang-orang itu. Ketawa-ketiwi lepas
begitu saja. Tadi pagi juga ada acara seperti ini. Seingatku tayangan serupa
juga bejibun disiang hari. Sore lalu sampai malam pun tak kurang. Lalu apa masalahnya?
Kontras sekali saat kita memutar channel
sebelah. Pemberitaan tak jauh dari kriminalitas. Kasih sayang orang tua yang kering
kerontang pada keturunannya hingga pada tingkat penyiksaan. Masyarakat kecil menjerit
masalah perut mereka yang sering tak kunjung terkenyangkan. Kemiskinan,
kesehatan, pendidikan yang tak berujung sekaligus menjadi lahan empuk para elit
untuk menuju kursi kekuasaan. Aku jadi berpikir, apa mungkin permasalahan itu sengaja
dipelihara sebagai komoditas yang menggiurkan.
Cepat-cepat aku menguasai diri agar tak
terbuai terlalu dalam. “Ingat!” tegasku membatin. “Waktunya liburan, bukan
memikirkan yang bukan-bukan.” Ditambah lagi pemuda si cleaning service sudahpun selesai dengan pekerjaannya. Menyilakan
aku masuk ke kamar segera. Ku senyum sebisa mungkin dan berterima kasih. Kamar
nomor tiga. Bila dituliskan angka nol dibelakangnya, tepat dengan usiaku saat
ini. Aku mengangkat bahu.
Belum sempurna aku menutup pintu kamar,
terdengar adu mulut terjadi. Perlahan tapi cukup jelas untuk dikuping.
“Sori yang, mengaku deh. Seminggu ini
memang abang tak ada bersihkan kamar-kamar itu.”
Tak ada respon dari orang yang diajak
bicara.
Suara pemuda menambahkan, “lagian kan
memang sudah lama tidak ada yang mau menginap di tempat seperti ini di luar
musim liburan. Jadi, ku pikir tidak apa-apa membiarkannya seminggu dua minggu.”
Resepsionis muda itu pun terlanjur
merajuk. Cleaning service yang
ternyata pacarnya itupun bertubi-tubi melancarkan permintaan maaf sambil
membujuk akan membawanya jalan-jalan akhir pekan nanti. Pastinya tidak sampai
disitu saja perbincangan mereka. Aku bukan orang tua mereka untuk melarang dan berceramah.
Lagi pula, apakah orang tuanya akan marah melihat anaknya seperti itu.
Agenda malam gagal total. Padahal aku
ingin memancing, bakar ikan atau apalah. Begitu menjelang isya langit tak lagi
berbintang. Dibungkus oleh kawanan awan yang siap tumpah. Gerimis mulai menjatuhkan
diri. Tak lama berselang diikuti pula oleh hujan berangin.
Terperangkap di penginapan bernama Wisma
Bahagia bersama satu-satunya manusia yang bisa diajak berbincang, si cleaning service itu tadi. Dengan begitu
tahulah aku bahwa namanya Rendy. “Pakai y bang, bukan i.” katanya menegaskan. Panjang
lebar ia bercerita tentang bangunan tempat kami bernaung sekarang, tentang asal
muasalnya, sampai pada pertama kali mengenal Laila hingga kenapa gadis itu
masih enggan berbaikan dengan dirinya.
Lelah menjadi pendengar yang baik, ku
pamit untuk segera pergi ke kamar saja. Tapi paling tidak aku sedikit membantu
Rendy melapangkan isi hatinya. Baru kusadari bahwa tempat ini begitu sangat
menyeramkannya diwaktu malam. Ditambah di ujung lorong, tidak ada penerangan
sama sekali.
Menjelajahi internet merupakan pilihan
terakhir sebelum tidur. Tekatku masih kuat agar tidak membuka facebook-ku.
Sudah bisa ku bayangkan berapa banyak pemberitahuan yang menunggu.
Paling-paling isinya mengucapkan selamat ulang tahun dan yang seperti itu.
Sementara HP masih bertahan di ransel dalam keadaan off.
………..
Menyesal menghidupkan HP pagi ini. Semuanya
sudah benar-benar berantakan. Masih adakah arti liburan jika masalah justru
datang menghantui. Dan masalah ini benar-benar gawat. “Jangan-jangan?” pikirku.
Secepatnya ku jejalkan pakaian, laptop dan chargernya ke dalam ransel. Tidak
ada acara mandi dan sarapan pagi. Di meja resepsionis sudah ada Laila dengan
wajah yang lebih manis dari kemarin sore.
“Kuncinya masih ada di kamar. Aku harus
segera pergi sekarang.”
Tak perlu menunggu jawaban dari Laila,
aku beranjak meninggalkannya dengan muka bingung.
…………
Bagaimana tidak emosi dibuatnya. Dituduh
mentah-mentah bepergian dengan Ning Amah dari rumahnya. Itu gila namanya.
“Tapi Anung melihat Ning Amah ke rumahmu
kemarin pagi, bar.” Kata pak RT bertindak seolah ia seorang jaksa penuntut.
Jadi warga telah menarik kesimpulannya
sendiri. Karena pertama, Ning Amah ke rumahku kemarin sekitar pukul setengah
sepuluh. Kedua, aku ke rumah Ning Amah sebelum jam sebelas lewat lagi. Itu
karena aku ingin mengembalikan rantangnya yang lalu batal lantaran sepertinya
dirumahnya tidak ada orang. Ke empat, kejadiannya “seolah” bersamaan dengan
pemergianku dari rumah tanpa siapapun yang tahu. Dan yang terakhir, HP ku tidak
bisa dihubungi sama sekali sejak kemarin.
Aku tak bisa berbicara banyak setelah
mengatakan yang sesungguhnya. Lagipula untuk apa seorang briptu “piknik”,
meskipun tidak ada yang salah, ku garis bawahi jika beramai-ramai, dengan
wanita hampir usia lanjut? Semoga saja pengakuanku tersebut bisa meredakan
situasi.
Sampai siang ini. Ning Amah belum juga
nampak batang hidungnya. Mendekati dua puluh empat jam atau mungkin lebih.
Siapa yang tahu. Salah dirinya pastinya. Bepergian tanpa memberitahukan dengan
tetangga kiri kanan. Apa mungkin diculik? pikirku. Itu sangat mustahil dan
tidak punya motif sama sekali. Kaya tidak. Cantik mungkin ketika usianya dua
puluhan dulu.
Tak lama kemudian, mata kami semua
tertuju pada sesosok manusia di ujung gang yang tengah berjalan. Tiap detiknya,
tubuh itu semakin besar dan menjelaskan siapa dirinya. Dengan santainya ia
menenteng sebuah plastik hitam yang membungkus semacam benda berkotak. Tepat di
hadapan kami semua, ia melongo. Ada berita apa gerangan sehingga semua warga
se-gang berkumpul didepan rumahnya.
Tawanya pecah setelah menyadari
semuanya. “Maafkan Ning telah membuat kalian semua cemas. Kemarin itu, Ning
buru-buru pergi. Seseorang bertandang kerumah. Jujur, awalnya saya tidak
mengenalinya. Tapi setelah menatapnya lekat, saya benar-benar mengenalinya. Dia
Romli, temanku dulu.” Nadanya ditekankan pada kata dulu yang menandakan
sesuatu.
Aku tahu maksud kata itu. Romli adalah….
“Dia memperkenalkanku pada anak-anaknya.
Dan kami akan menikah.”
Gubraaak....
Bagus, terima kasih, dan selamat!
Rasanya hari itu juga aku ingin mengenakan seragam dan berangkat kerja
selekasnya. Karena liburan ini sangat, sangat menyenangkan.
Alhamdulillah, genap lima hari akhinrya tulisan ini kelar juga. Semoga menyenangkan.
Terlebih buat teman-teman yang berbaik hati mengucapkan selamat ulang tahun...'_'
2 Messages:
mnjdi sarana perenungan sbnarnya berapa bnyak sisa wktu kt dbumi ini
true one, Sista
Posting Komentar