Selasa, 04 September 2012

Pedagang Pagi Part 1


       Pemuda itu membuka mulut sejadi-jadinya. Melepaskannya dan bersuara. Dan kemudian ia baru sadar untuk menutup mulutnya. Sudah terlambat. Lupa, suatu hal yang pantas untuk dimaafkan. Matanya memerah. Kurang tidur merupakan satu hal yang pantas disalahkan di pagi ini. Dia juga tidak tahu secara pasti apakah harus menyalah waktu atau dirinya sendiri. Yang pasti kata “kurang tidur” sangat tepat menjadi biang kerok.
       Bila dipikir lebih jauh lagi, tak seharusnya dia mengkambing hitamkan dua kata tadi. Bukankah salahnya sendiri jika harus menumpuk materi tiga bulanan untuk diropol habis dalam satu malam. Itu penyiksaan. Penyiksaan terhadap diri sendiri. Tetapi ya. Sepertinya sudah menjadi lumrah bagi kebanyakan mahasiswa di sini. Sardi mentertawakan dirinya sendiri.
      Ujian semester genap hari ini akan berakhir dan ditutup dengan mata kuliah perpajakan. Mata kuliah yang sangat tidak disukainya. Kedua-duanya, antara dosen pengampu maupun materi-materinya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan maraknya desas-desus penyimpangan pajak belakangan ini. Dia hanya tidak suka. Tidak perlu alasan rinci mengapa itu bisa.
   Sardi masih mengucek-ngucek matanya hingga makin memerah. Berharap akan merangsang kesadarannya. Melihat jam di layar HP. Pukul tujuh lewat satu. Masih ada dua puluh sembilan menit untuknya bersantai ria. Mempertimbangkan untuk tidur kembali dan bangun pukul tujuh lima belas. Tak butuh waktu lama untuknya mandi dan berangkat kemudian. Toh dia tinggal di RUSUNAWA. Bermotor dua menit, sampai.
       Ketika tangan kanannya mulai meraba-raba bantal yang masih tergeletak diatas kasur, tangan kirinya meraih HP kembali. Menyetel alarm agar terbangun tepat waktu.
         “Lumayan, lima belas menit.” Pikirnya
         Baru saja akan kehilangan kesadaran. Sardi terlonjak. Cepat-cepat dia bangkit dan mencopot handuk dari gantungan. Berlari-lari kecil menuju kamar mandi. Dan kali ini ia cukup beruntung, karena kamar mandi tengah kosong.
       Buru-buru dia berpakaian. Mengambil tas, memasukkan laptop kedalamnya. Menyisir rambut yang telah diminyaki seadanya. Tanpa bercermin. Begitu keluar dari kamar, langsung menguncinya. Meraih sepatu dan menuju parkir gedung yang ia tempati.
        “Uhh…” Ternyata dia meninggalkan kunci motornya dikamar. Dan bergegas menaiki tangga menuju lantai tiga. Terengah-engah ketika sampai didepan pintu kamarnya. Membukanya kemudian dan secepat kilat meraih kunci motor. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Tapi dia tidak tahu apa itu.
         Sardi mengabaikan perasaannya. Menuruni tangga lagi. Namun belum sampai dilantai dua, dia teringat bahwa kartu ujiannya tertinggal. Itu dia. Kemarin kartu itu ia simpan di saku baju. Dan sepulang ujian, dia langsung mencuci baju tersebut. Untungnya sempat dikeluarkan sebelum ikut tercuci.
         Sardi kelabakan, ternyata dia lupa dimana meletakkan kartu penting itu. Sambil mengelap keringat yang mulai berkeluaran dan diikuti oleh detakan jantung yang semakin mengencang, Sardi mengingat-ingat.
     “Dekat kamar mandi” Hatinya memberi tahu dirinya sendiri. Berlari-lari menuju kamar mandi. Didapatinya pintu kamar mandi tertutup.
         “Siapapun didalam. Tolong ambilkan kartu ujianku di dekat tempat sabun. Tolong cepat!”
         Sosok Danu yang keluar. Menyodorkan kartu kecil persegi tersebut. Sardi berterima kasih.
         “Ya.” Jawab Danu singkat dan berjalan menuju kamarnya sendiri.
     Sardi kembali berlari menuruni tangga yang berjumlah enam. Meraih sepeda motor dan langsung menghidupkannya. Dia menyesali dirinya. Seharusnya membetulkan settingan jam di HP nya.
       “Pantas saja ketika terbangun pukul lima untuk shalat subuh tadi, hari sudah mulai terang.” Batinnya berucap.
        Pengaturan jam di HP nya sengaja perlambatnya selama dua puluh lima menit tadi malam. Karena bahan perpajakan cukup banyak, maka dia mensimulasi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa malam belum lewat. Masih banyak waktu untuk belajar. Padahal biasanya dia malah mensetting jamnya lebih cepat hampir tiga puluh menit yang menyebabkan teman-temannya terkadang berang jika bertanya waktu dengannya.
         Setibanya dikampus hijau, Sardi melihat hanya beberapa mahasiswa yang keluyuran dan nongkrong di parkiran. Ia yakin mahasiswa-mahasiswa tersebut baru akan ujian pada jam kedua. Tidak seperti dirinya yang pasti sudah sangat terlambat. Paling tidak sepuluh sampai dua puluh menit.
……………..
       “Jadi bu. Inysa Allah besok. Ada yang mau dipesan?” Lama dia mendengarkan jawaban seseorang yang tengah diajaknya bicara.
       “Ya, Insya Allah. Assalamu’alaikum.” Tak banyak yang dia bicarakan dengan ibunya. Kurang lebih hanya memberitahukan bahwa ujian telah selesai dan libur panjang pun sudah dimulai. Kurang lebih dua bulan. Cukup lama untuknya melepas rindu dan membantu ibu dan ayahnya nanti disana. Di kota yang dulu pernah terkenal dengan nama serambi mekah setelah Aceh.
         Tak banyak waktu untuknya tiduran di sore ini. Otaknya mulai menyusun rencana perjalanan mencari barang-barang yang dipesan oleh orang tuanya sebelum pulang kampung. Habbatusauda, minyak urut, dan beberapa CD bajakan yang dipesan adiknya. Dan tempat itu berbeda-beda lokasi. Makanya dia harus memilih kemana dulu harus pergi agar tidak bolak-balik.
      Beberapa saat kemudian Sardi telah mantap. Ia memastikan kartu SIM, STNK dan ATM tidak tertinggal. Semuanya lengkap. Dan dia pun keluar.
        Jalanan Ayani memang ramai di sore akhir pekan seperti saat ini. Ini adalah jam pulang kantor dan jalan-jalan bagi mereka yang dinasnya berakhir hari jum’at kemarin. Jalanan juga ikut diramaikan oleh muda-mudi yang tengah mencari tempat nongkrong. Didukung pula dengan matahari yang mulai menggelinding kearah barat.
       Sardi hanya berharap toko-toko yang menjadi tujuannya belum tutup. Makanya ia pandai-pandai mencari celah untuk menerobos di antara kerumunan di jalanan. Beberapa kali ia hampir menyenggol belakang motor dari pengendara lainnya. Sumpah serapah dan tatapan tajam pun terlontar. Tapi Sardi tidak ambil peduli.
          “Enam”
          “Dua-duanya?”
          “Habbatusauda enam dan minyak urut dua saja.”
          Penjaga toko herbal itupun membungkus dan kemudian menghitung total belanja.
          “Dua ratus tiga puluh ribu rupiah” ucapnya gadis berjilbab lebar tersebut.
        “ini ukhti.” Sardi menyodorkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah yang masih baru. Memang baru saja ditariknya dari ATM di depan toko ini.
         Sardi mengambil bungkusan dari sang penjaga toko.
         “Kapan pulkam?”
         “Insya Allah besok.”
         “Anti?”
         “Ana sih mungkin gak pulkam. Kerja. Susah juga.”
         Sardi mengangguk pelan mencoba mengerti.
         “Oke. Syukron”
       Belum sempat gadis berjilbab itu menjawab, Sardi langsung keluar toko. Masih ada satu barang yang belum dibelinya. CD bajakan. Mengingat benda itu, hatinya antara mau dan tidak untuk membelinya. Namun ketika mengingat wajah adiknya yang berusia enam tahun, ia tidak tega. Pilihan terberat harus ia lakukan juga. 

Insya Allah jika kapabilitas menulis mulai pulih, akan secepatnya di lanjutkan...

2 Messages:

zfakhiroh mengatakan...

wah berubah... ad twitter y? ap nma?

Gho Soe mengatakan...

saya gak ada akun tweeter....karena hidup terus bergulir, jadi harus berubah. he..he..

Posting Komentar

 
;