Pemuda itu membuka mulut
sejadi-jadinya. Melepaskannya dan bersuara. Dan kemudian ia baru sadar untuk
menutup mulutnya. Sudah terlambat. Lupa, suatu hal yang pantas untuk dimaafkan.
Matanya memerah. Kurang tidur merupakan satu hal yang pantas disalahkan di pagi
ini. Dia juga tidak tahu secara pasti apakah harus menyalah waktu atau dirinya
sendiri. Yang pasti kata “kurang tidur” sangat tepat menjadi biang kerok.
Bila
dipikir lebih jauh lagi, tak seharusnya dia mengkambing hitamkan dua kata tadi.
Bukankah salahnya sendiri jika harus menumpuk materi tiga bulanan untuk diropol
habis dalam satu malam. Itu penyiksaan. Penyiksaan terhadap diri sendiri.
Tetapi ya. Sepertinya sudah menjadi lumrah bagi kebanyakan mahasiswa di sini.
Sardi mentertawakan dirinya sendiri.
Ujian
semester genap hari ini akan berakhir dan ditutup dengan mata kuliah
perpajakan. Mata kuliah yang sangat tidak disukainya. Kedua-duanya, antara
dosen pengampu maupun materi-materinya. Sama sekali tidak ada hubungannya
dengan maraknya desas-desus penyimpangan pajak belakangan ini. Dia hanya tidak
suka. Tidak perlu alasan rinci mengapa itu bisa.
Sardi
masih mengucek-ngucek matanya hingga makin memerah. Berharap akan merangsang
kesadarannya. Melihat jam di layar HP. Pukul tujuh lewat satu. Masih ada dua
puluh sembilan menit untuknya bersantai ria. Mempertimbangkan untuk tidur
kembali dan bangun pukul tujuh lima
belas. Tak butuh waktu lama untuknya mandi dan berangkat kemudian. Toh dia
tinggal di RUSUNAWA. Bermotor dua menit, sampai.
Ketika
tangan kanannya mulai meraba-raba bantal yang masih tergeletak diatas kasur,
tangan kirinya meraih HP kembali. Menyetel alarm agar terbangun tepat waktu.
“Lumayan,
lima belas
menit.” Pikirnya
Baru
saja akan kehilangan kesadaran. Sardi terlonjak. Cepat-cepat dia bangkit dan
mencopot handuk dari gantungan. Berlari-lari kecil menuju kamar mandi. Dan kali
ini ia cukup beruntung, karena kamar mandi tengah kosong.
Buru-buru
dia berpakaian. Mengambil tas, memasukkan laptop kedalamnya. Menyisir rambut yang
telah diminyaki seadanya. Tanpa bercermin. Begitu keluar dari kamar, langsung
menguncinya. Meraih sepatu dan menuju parkir gedung yang ia tempati.
“Uhh…”
Ternyata dia meninggalkan kunci motornya dikamar. Dan bergegas menaiki tangga
menuju lantai tiga. Terengah-engah ketika sampai didepan pintu kamarnya.
Membukanya kemudian dan secepat kilat meraih kunci motor. Sepertinya ada
sesuatu yang tertinggal. Tapi dia tidak tahu apa itu.
Sardi
mengabaikan perasaannya. Menuruni tangga lagi. Namun belum sampai dilantai dua,
dia teringat bahwa kartu ujiannya tertinggal. Itu dia. Kemarin kartu itu ia
simpan di saku baju. Dan sepulang ujian, dia langsung mencuci baju tersebut.
Untungnya sempat dikeluarkan sebelum ikut tercuci.
Sardi
kelabakan, ternyata dia lupa dimana meletakkan kartu penting itu. Sambil
mengelap keringat yang mulai berkeluaran dan diikuti oleh detakan jantung yang
semakin mengencang, Sardi mengingat-ingat.
“Dekat
kamar mandi” Hatinya memberi tahu dirinya sendiri. Berlari-lari menuju kamar
mandi. Didapatinya pintu kamar mandi tertutup.
“Siapapun
didalam. Tolong ambilkan kartu ujianku di dekat tempat sabun. Tolong cepat!”
Sosok
Danu yang keluar. Menyodorkan kartu kecil persegi tersebut. Sardi berterima
kasih.
“Ya.”
Jawab Danu singkat dan berjalan menuju kamarnya sendiri.
Sardi
kembali berlari menuruni tangga yang berjumlah enam. Meraih sepeda motor dan
langsung menghidupkannya. Dia menyesali dirinya. Seharusnya membetulkan
settingan jam di HP nya.
“Pantas
saja ketika terbangun pukul lima
untuk shalat subuh tadi, hari sudah mulai terang.” Batinnya berucap.
Pengaturan
jam di HP nya sengaja perlambatnya selama dua puluh lima menit tadi malam. Karena bahan
perpajakan cukup banyak, maka dia mensimulasi dirinya sendiri dengan mengatakan
bahwa malam belum lewat. Masih banyak waktu untuk belajar. Padahal biasanya dia
malah mensetting jamnya lebih cepat hampir tiga puluh menit yang menyebabkan
teman-temannya terkadang berang jika bertanya waktu dengannya.
Setibanya
dikampus hijau, Sardi melihat hanya beberapa mahasiswa yang keluyuran dan
nongkrong di parkiran. Ia yakin mahasiswa-mahasiswa tersebut baru akan ujian
pada jam kedua. Tidak seperti dirinya yang pasti sudah sangat terlambat. Paling
tidak sepuluh sampai dua puluh menit.
……………..
“Jadi
bu. Inysa Allah besok. Ada
yang mau dipesan?” Lama dia mendengarkan jawaban seseorang yang tengah
diajaknya bicara.
“Ya,
Insya Allah. Assalamu’alaikum.” Tak banyak yang dia bicarakan dengan ibunya.
Kurang lebih hanya memberitahukan bahwa ujian telah selesai dan libur panjang
pun sudah dimulai. Kurang lebih dua bulan. Cukup lama untuknya melepas rindu
dan membantu ibu dan ayahnya nanti disana. Di kota yang dulu pernah terkenal dengan nama
serambi mekah setelah Aceh.
Tak
banyak waktu untuknya tiduran di sore ini. Otaknya mulai menyusun rencana
perjalanan mencari barang-barang yang dipesan oleh orang tuanya sebelum pulang
kampung. Habbatusauda, minyak urut, dan beberapa CD bajakan yang dipesan
adiknya. Dan tempat itu berbeda-beda lokasi. Makanya dia harus memilih kemana
dulu harus pergi agar tidak bolak-balik.
Beberapa
saat kemudian Sardi telah mantap. Ia memastikan kartu SIM, STNK dan ATM tidak
tertinggal. Semuanya lengkap. Dan dia pun keluar.
Jalanan
Ayani memang ramai di sore akhir pekan seperti saat ini. Ini adalah jam pulang
kantor dan jalan-jalan bagi mereka yang dinasnya berakhir hari jum’at kemarin.
Jalanan juga ikut diramaikan oleh muda-mudi yang tengah mencari tempat
nongkrong. Didukung pula dengan matahari yang mulai menggelinding kearah barat.
Sardi
hanya berharap toko-toko yang menjadi tujuannya belum tutup. Makanya ia
pandai-pandai mencari celah untuk menerobos di antara kerumunan di jalanan.
Beberapa kali ia hampir menyenggol belakang motor dari pengendara lainnya.
Sumpah serapah dan tatapan tajam pun terlontar. Tapi Sardi tidak ambil peduli.
“Enam”
“Dua-duanya?”
“Habbatusauda
enam dan minyak urut dua saja.”
Penjaga
toko herbal itupun membungkus dan kemudian menghitung total belanja.
“Dua
ratus tiga puluh ribu rupiah” ucapnya gadis berjilbab lebar tersebut.
“ini
ukhti.” Sardi menyodorkan uang dua ratus lima
puluh ribu rupiah yang masih baru. Memang baru saja ditariknya dari ATM di
depan toko ini.
Sardi
mengambil bungkusan dari sang penjaga toko.
“Kapan
pulkam?”
“Insya
Allah besok.”
“Anti?”
“Ana
sih mungkin gak pulkam. Kerja. Susah juga.”
Sardi
mengangguk pelan mencoba mengerti.
“Oke.
Syukron”
Belum
sempat gadis berjilbab itu menjawab, Sardi langsung keluar toko. Masih ada satu
barang yang belum dibelinya. CD bajakan. Mengingat benda itu, hatinya antara
mau dan tidak untuk membelinya. Namun ketika mengingat wajah adiknya yang
berusia enam tahun, ia tidak tega. Pilihan terberat harus ia lakukan juga.
Insya Allah jika kapabilitas menulis mulai pulih, akan secepatnya di lanjutkan...
2 Messages:
wah berubah... ad twitter y? ap nma?
saya gak ada akun tweeter....karena hidup terus bergulir, jadi harus berubah. he..he..
Posting Komentar