Tak tanggung-tanggung. Dua puluh
balok kayu itu dirampung dalam hitungan kurangan dari satu jam. Pak Bondot
memang luar biasa tenaganya. Soal kegigihannya dalam mencari nafkah, jangan
pernah ditanya. Kebaikannya? Oh, apalagi. Siapa sih penduduk kampung yang tidak
kenal dengannya. Dari yang tua sampai yang muda. Dari yang baru naik
kepelaminan sampai janda tua. Kampung tidak punya banyak warna tanpa polahnya.
“Terima
kasih pak, atas bantuannya.”
Pak
RT mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu dari saku bajunya. Dengan
senyum khas yang tidak perlu dipaksakannya, ia menyodorkan benda kertas
tersebut.
Pak
Bondot termangu. Tubuh kecil berototnya sangat tidak sesuai dengan riak muka
culunnya. “Untuk apa, pak RT?”
Sekarang
giliran pak RT pula yang manyun. Mengerutkan keningnya sendiri. Menerima
pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan. Tentunya untuk usaha
keras orang yang diajaknya bicara saat itu. Karena telah memanggul semua balok
kayu dari tepi sungai ke rumahnya yang berjarak seratus meter lebih.
“Atas
bantuannya pak Bondot.”
“Lha,
tadi pak RT perlu bantuan, kan. Kita membantu harus ikhlas. TANPA PAMRIH?”
Tanpa
pamrih digaris bawahi dengan setebal mungkin oleh pak Bondot. Itulah prinsip
hidupnya yang banyak disukai oleh warga setempat.
Pak
RT mengeraskan rahang-rahangnya. Bisa saja ia hanya cukup mengucapkan terima
kasih kepada pak Bondot. Sebab itu sangat menguntungkan dan memungkinkan. Tapi
pak RT sosok yang punya pandangan jauh ke depan. Bisa saja ia mengibuli lelaki
dihadapannya, namun ia tidak siap dengan gosip yang akan tersebar dalam
beberapa hari selanjutnya. RT yang tidak berperikemanusiaan.
“Jadi
begini pak, anggap saja uang rokok.” Dengan sedikit memaksa pak RT meraih
tangan pak Bondot agar menerima saja uang itu. Dan lagi, pak Bondot tidak
menerima begitu saja.
“Saya
tidak merokok, pak” Ungkap pak Bondot seraya melepaskan tangan dari cengkraman
pak RT.
Pak
RT memalingkan muka. Ia menggerutu sendirian. Memberi upah saja sulitnya minta
ampun. Salahnya sendiri, terhadap orang seperti itu harus bicaranya yang
terang, jujur dan jelas. Tidak ada istilah kiasan-kiasan dan semacamnya.
Agak
mulai emosi, pak RT menegaskan, “Saya punya utang sama bu Maimun. Tolong
berikan ini padanya, ya pak.”
Tak
ada jalan lain, pak RT harus berbohong sedikit agar pak Bondot mau menerima
upah dari jerih payahnya siang itu.
Masih
berusaha untuk menyangkal, “Utang apa, pak.” Pak Bondot bertanya.
“Sudah-sudah.
Sampaikan saja. Istri bapak akan mengerti.”
Sebelum
berlalu, pak RT mengucapkan terima kasih atas bantuan pak Bondot. Lalu ia pun
beranjak dengan hati sedikit dongkol.
*******
Mencari
orang berkata apa adanya dan tidak sombong sulit di dunia ini. Demikian adanya,
istrinya, Maimun, seharusnya bersyukur mendapat suami sebagai orang yang langka
tersebut. Tapi jika sudah keterlaluan, emosinya sering tidak bisa dibendung. Jebol
seperti Situ Gintung di Ciputat.
“Uang
belanja masih cukup pak.”
Maimun
menanggapi sodoran uang dari suaminya. Seperti katanya, untuk keperluan dapur.
“Itu
dari pak RT. Memangnya utang apa pak RT sama kamu mun?”
Maimun
tidak jadi meniup bara di perapian mendengar pertanyaan itu. Sama seperti
suaminya, ia sendiri bertanya-tanya utang apa pak RT bernama Siswo itu padanya.
Upah mencuci sudah bu Siti bayar kemarin. Uang memasak di acara kenduri juga
sudah ia terima. Tidak ada utang yang tertangguh lagi dari keluarga itu.
Istrinya
itu berdiri mematung seketika. “Bapak mengambil upah apa dari pak RT?”
Pak
Bondot geleng kepala. Lalu mengatakan hari ini ia tidak mengambil upah apa-apa.
Dikarenakan ia membantu pak RT memindahkan balok kayu.
Maimun
menghela nafas panjang. Membungkuk dan memuncungkan mulutnya. Meniup perapian
berkali-kali hingga api mulai bergoyang-goyang dibawah panci. Meleburkan emosi
yang tengah mendidih bersama keladi didalam benda aluminium tersebut. Maimun
mendesah. Kemudian mengambil uang dari suaminya.
0 Messages:
Posting Komentar