Jumat, 11 Mei 2012

Cinta ooh Sarjana


            Bangga? Tentu saja. Apalagi harus dalam waktu genap tujuh tahun. Coba bayangkan, setinggi apa ilmu yang diraup disana.  Ah, kalau yang terakhir itu terlalu berlebihan. Kenyataannya aku tidak merasa seperti itu. Cukuplah dengan melihat wajah mak mengembangkan senyum dengan mata berkaca-kaca di hari wisuda. Matanya berkaca-kaca ketika melihat aku memakai toga. Persembahan ku untuk mak.
            “Be….”
            Terlalu di dramatisir jika mengatakan pintu kamar hampir pecah oleh gedoran tangan mak. Tapi itulah adanya. Engsel karatan hampir saja lepas dari badan pintu. Lebih lama mak menggedor pintu, aku pasti itu akan memunculkan super hero baru.
            “Ya…” Jawabku parau.
            Aku didepan laptop sepanjang malam tadi. Pukul satu lewat dua belas menit ditambah mengambang beberapa saat, aku baru berlayar ke alam sebelah. Jadilah setelah susah payah menyadarkan diri untuk shalat subuh di mushalla belakang rumah, aku kembali terkapar. Hasilnya?
            “Mau jadi apa, Be? Jam segini masih belum bangun. Kuliah jauh-jauh hanya jadi tukang cetakin foto orang.?”
            Pilihan bijakku hanyalah bungkam. Bukannya apa, aku takut untuk menjadi anak durhaka. Itu menyedihkan, bukan? Sangat!
            Lalu, gedoran mak terhenti dengan sendirinya. Tentu saja setelah mendengar deritan tempat tidur besi tua. Di telinga mak, itu petanda bahwa aku sudah bangkit dari semedi. Dari balik pintu ku dengar langkah kakinya menjauh. Di ikuti dengan gerutu-gerutu kecil.
            Selalu, sejak sebulan yang lalu. Beberapa hari setelah aku diwisuda, mak terus mendesakku untuk melamar pekerjaan. “Dimana saja!” pintanya yang cenderung memerintah. “Ada lowongan, masuk!” Katanya lagi kala itu.
            Sempat sebenarnya aku membantah untuk menjadi wiraswasta saja di kampung ini, tetapi mak bersikeras. Entah apa yang ada dipikiran mak. Ia sangat ingin aku bekerja di sebuah kantor, Dinas atau yang sejenisnya. 
******
            “Kemana?”
            “Bank.”
            “Bank apa bu?”
            “Wah, kalau itu saya kurang tahu bu. Pokoknya Bank kata Bakti.”
            Mak dan bu Sana membicarakanku di teras. Jelas saja terdengar olehku yang tengah memasukkan sepatu di muka pintu. Namun sosokku tersekat oleh dinding papan.
            Aku muncul. Menghampiri mak lalu mencium tangannya. Dan mak mengembangkan senyum. Inilah yang selalu diharapkannya. Anaknya mencari kerja.
            “Di Bank mana, ti?” Tanya Bu Sana.
            Memangnya namaku Beti, Surti atau Siti, hingga harus dipanggil “ti”
            “Bakti tidak suka dengan panggilan itu, bu Sana.” Mak menangkap arti diamku.
            Bu Sana meminta maaf.
“Bank Syariah, bu.” Jawabku.
            Mendengar nama Bank yang ku sebutkan, kening bu Sana berkedut. “Oh…” Tukasnya kemudian.
            “Semuanya sudah dibawa?” Tanya mak menyelidiki.
            Agar mak tidak lagi was-was, aku memeriksa berkas-berkas dalam folder. “Sudah.” Balasku kemudian.
            “Mak, pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikumsalam.” Mak dan bu Sana menjawab bersama-sama.
            Rencananya sebelum ke kota, aku ingin singgah dulu di kantor pos kecamatan.. Ratusan lembar kertas yang telah kuselesaikan tadi malam harus ku pos kan ke suatu tempat. Harapanku tentunya, ini akan mengawali karir yang aku cita-citakan selama ini. Aku menarik nafas panjang, lalu melepasnya cepat. “Bismillahi Tawakkaltu”.
 Informasi tentang lowongan di Bank Syariah itu sendiri kudapat dari Juli. Dia juniorku empat tahun. Namun kami diwisuda pada hari yang sama. Kami dipertemukan oleh dosen pembimbing skripsi yang sama. Ketika itu ia tengah menunggu didepan ruang jurusan. Lalu aku datang. Juga bergabung dengannya menunggu seorang dosen.
Merasa ada batu es diantara kami, aku berusaha untuk mencairkannya. Kumulai dengan menyapa, “menunggu siapa?”.
“Pak Harlan. Dosen pembimbing.” Katanya
“Sama,” Sambungku cepat.
“Sudah dihubungi?” Tanyaku lagi
“Sedang dijalan, katanya.”
Aku mengangguk pelan. Aku yakin waktu itu ia pasti junior ku. Karena apa? Karena hanya aku mahasiswa yang sudah berjanggut di kampus hijau ini. Lalu tanya-tanya pendek pun terjadi diantara kami. Akhirnya kami mengatakan nama masing-masing. Dan yang sedikit membuatku kaget adalah ternyata Juli berasal dari kabupaten yang sama denganku. Namun dari kecamatan berbeda. Tahu demikian adanya, bicara kami langsung menggunakan bahasa daerah. Hingga akhirnya, harus di cut oleh kehadiran sosok dosen yang ditunggu-tunggu. Kelegaan pun menghampiri. Bisa ku tebak begitu juga dengan Juli.
Dikesempatan lainnya, Juli meminta no HP ku. Tanpa panjang lebar, aku menyebutkan ke dua belas digit angka tersebut. Dan juga nomor cadangan yang sesekali ku pakai seandainya nomor tadi tidak aktif.
Juli yang saat ini sudah diterima di sebuah lembaga Asuransi, dewasa ini sering menghubungiku. Mulai dari menanyakan “apa kabar” hingga sesuatu yang tidak perlu. Dan yang terakhir adalah mengenai lowongan di Bank yang sedang ku tuju.
Sebagai lelaki tentu saja aku bisa mendefinisikan apa itu. Ya, Juli menyisakan ruang dihatinya untuk diriku. Meskipun tidak pernah ku tanya langsung. Itu lampu hijau darinya. Namun, aku bahkan tidak berniat untuk menanyakan kepadanya. Apakah itu penghianatan? Justru bagiku menerima Juli adalah penghiatan. Terhadap diri dan persahabatan kami.
Aku, aku sejatinya masih mengharapkan untuk bertemu dengan seseorang yang selama hampir sepuluh tahun muncul dalam mimpi-mimpiku. Itu menyiksa karena tidak pernah terungkap. Sewaktu SMA dulu aku hanyalah pecundang. Meskipun sekarang kusadari itu ada hikmah besar bagiku. Doaku hanya satu, agar bertemu dengannya walau sekali saja. Kepada gadis Tionghoa itu aku ingin mengatakan bahwa aku pernah mencintainya. Diterima atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting keinginanku sudah tercapai.
******
Dari kantor pos, aku terus berdoa agar apa yang baru saja aku kirimkan itu mendapat yang terbaik. Seandainya yang terbaik adalah diterima, aku meminta untuk dimudahkan. Dan jika ditolak, pasti ada iktibar disebaliknya.
Kembali ku menghidupkan mesin sepeda motor yang bakal membawaku ke Bank Syariah. Keringat sudah mulai keluar dari pori-poriku. Untuk pertama kalinya aku menyelipkan tisu di saku baju. Daripada dibilang ceroboh, mau tidak mau aku harus sedikit mengalah.
Setelah melalui jarak tempuh sekitar satu jam, akhirnya aku tiba didepan gedung yang didominasi oleh warna hijau tua. Di bagian atas terpampang besar tulisan Bank Syariah. Aku menghela nafas. “Ini demi mak.” Aku menguatkan. Walaupun batinku menolak untuk melakukan ini. Sayangnya aku belum punya alasan kuat untuk membantah mak. Seandainya saja….
Mataku membelalak tidak percaya ketika ku layangkan pandangan ke dalam ruangan. Dari luar, samar-samar aku bisa melihat sesosok wanita berjilbab hijau muda. Dengan baju dan rok panjang berwarna hijau tua. Di bawah lehernya hingga ke dada, tersampir semacam syal berwarna kuning bermotif bunga-bunga kecil.
“Ya, Allah. Benarkah apa yang kulihat?”
“Dia.”
Jantungku berdetak semakin kencang. Itu persis ketika saat-saat aku duduk atau berdiri disampingnya dulu. Meskipun terdiam tanpa kata-kata. Dan dulu, dia pun seolah sama. Merasa tidak luwes dengan kehadiranku.
Ku letakkan telapak tangan di jidatku sendiri. Tubuhku entah mengapa tiba-tiba mulai hangat. Grogi, penasaran, takut atau sejenisnya menyelimutiku. “Uh…..”
Ku beranikan diri juga untuk mendorong pintu kaca. Tepat di depan tulisan “push” tanganku ku keraskan otot-ototnya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa tadi, ku pasang tampang senormal mungkin. Keringat yang membajiri sudah ku lap dengan tisu putih. “Untung aku membawa tisu.” Pikirku.
Seorang satpam ada dibalik pintu kaca transparan itu. Kostum putih biru tua melambangkan statusnya di Bank tersebut. Tetapi, saat ini keberadaan seorang satpam secara keseluruhan bukan hanya bertugas untuk menjaga keamaan, juga agar dapat memberikan layanan terbaik kepada para nasabah Bank. Seperti saat itu.
“Assalamu’alaikum pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Satpam yang dari bordir dibajunya tertulis Shaleh itu menawarkan jasa serta senyum terbaiknya. Ku tahu tawaran itu bentuk pelayanan, tetapi sulit ku cerna apakah senyumnya itu ketulusan atau juga bagian dari pelayanan.
Gugup. Aku berusaha menyusun kata-kata. “Mau masukin lamaran, pak.” Jawabku perlahan. Tentu saja aku tidak ingin mendapat perhatian banyak orang terutama dia yang tengah melayani seorang costumer dan seorang costumer lainnya yang tengah mengacak-acak rambutnya. Menunggu antri layanan.
Aku mencuri pandang. Benar dia.
Habis sudah. Pak Saleh mengarahkanku untuk langsung saja menemui costumer service. Aku mengiyakan dengan cengiran. Ingin rasanya menggaruk sesuatu, tetapi aku harus menjaga image. Dan aku pun menunggu di sebuah kursi kosong dekat nasabah lainnya.
Sementara gadis Tionghoa yang ku kenal bernama Tania itu belum menyadari kehadiranku disana. Ia sibuk dengan entah calon nasabah atau calon pengaju kredit. Identitasnya semakin diperkuat dengan name tag yang tersemat di kerudungnya. Aku terpesona.
Hingga tiba saatnya aku harus berhadapan dengannya. Pertama, ia masih tidak sadar. Namun ketika benar-benar mengenaliku, ia terdiam. Aku ikut bungkam. Rona mukanya berubah, persis seperti dulu, ketika aku mengajaknya berbicara sebagai seorang teman. Tak lebih. Jika bukan khayalanku, disana masih ada sesuatu.
“Kamu….” Ucapnya kemudian.
******
Tiba dirumah aku disambut oleh mak dengan segelas air putih ditangannya.
“Bagaimana?” Mak tidak sabar untuk mengetahui hasilnya.
Indah. Aku bertemu lagi dengannya. Dengan dia yang selama ini mengusik tidurku. Tetapi waktunya kurang tepat. Nyaliku ciut seketika. Seandainya…
Tidak mungkin kan aku bertanya kepadanya langsung tadi. Apakah kamu telah menikah? Jika ya, aku tidak akan mengajukan pertanyaan selanjutnya. Jika belum, lalu apa yang harus aku lakukan. Menanyakan padanya, apakah ia mencintaiku? Oh, Itu tindakan bodoh dan memalukan. Apalagi ia tengah sibuk dengan pekerjaanya.
Atau sebaiknya tadi aku menunggu sampai ia pulang saja. Jam lima atau setelah maghrib. Itu bakal lebih gila lagi. Dan apa urusanku?. Anggap saja reuni kecil-kecilan. Atas dasar apa? Bahkan terakhir bertemu dengannya disekolah dulu aku tidak mengatakan apa-apa. Seolah aku tidak menyimpan apa-apa.
“Eh, malah melamun.” Mak membawaku ke alam sadar.
“Jadi bagaimana?” Serbu mak lagi.
“Anu…katanya akan dihubungi lagi nanti.”
Mak bertingkah seolah mengerti. Dan itu melegakan. Rentetan pertanyaannya langsung berhenti mendengar kata “akan dihubungi”.
 “Be, tadi siang pak Darwi nelpon. Menanyakan apakah kamu sudah selesai kuliah. Beliau menawarkan apakah kamu bersedia untuk jadi tenaga honor di kantor Camat. Di bagian keuangan. Katanya itu cocok dengan jurusanmu.”
Aku layu. Tidak berselera untuk menanggapi lebih jauh.
Mak melanjutkan dengan antusias, “tapi kalau dipikir-pikir boleh juga itu Be. Sementara menunggu panggilan dari Bank, jadi kamu tidak menganggur.”
Pak Darwi adalah seorang Camat dimana desa kami bernaung dibawah pemerintahannya. Bisa dibilang masih punya kekerabatan dekat dengan mak. Bila dirunut dari silsilah, neneknya mak dengan neneknya pak Darwi adalah dua bersaudari. Pembawaan hubungan di desa lebih akrab, maka silsilah itu seolah menjadikan mak dan pak Darwi bagai saudara kandung.
“Ada lagi Be.”
“Ada lagi?,” pikirku
“Tak lama setelah kamu berangkat tadi, pak Budi menanyakan apakah kamu sudah ada pekerjaan tetap. Mak mengatakan belum.” Jeda sejenak.
“Sebaiknya tidak usah Be. Ia menawarimu untuk horor juga di SMA. Mengajar Ekonomi dan Bahasa Inggris. Paling gajinya berapa.” Mak memonyongkan bibirnya.
“Dan satu lagi.” Mak menambahkan.
“Stop…stop…stop…,mak. Bakti kebelakang dulu.” Sergahku sebagai antisipasi daripada aku harus muntah diruang tamu.
Secepatnya aku menuju kamar mandi. Rasa mual memenuhi mulutku. Makanan yang mengganjal perutku tadi siang sepertinya berlomba-lomba untuk dikeluarkan. Untungnya tidak jadi. Setelah beberapa saat rasa mual itu menguap. Lalu aku mencuci muka.
******
Tak ada satu pun tawaran yang disajikan mak kemarin ku tanggapi. Kali ini aku bersikeras untuk melakoni apa yang telah ada. Meskipun hanya cetak photo untuk orang desa yang ingin membuat KTP. Ada juga sebagian lainnya yang ingin mengabadikan momen-momen sekeluarga. Serta yang ingin agar photo masa silam bisa diperbarui.
Jika dihitung-hitung, usaha ini lumayan untuk kantong orang bujang. Apalagi diriku tidak mengisap benda lintingan. Hanya saja jika ingin pendapatan lebih, butuh proses lebih lama. Yang itu tidak disukai oleh mak. Jujur, aku  yakin jika usaha ini ku kelola dengan serius, maka tak mustahil akan besar juga skalanya. Namun, lagi-lagi mak tidak mau kompromi untuk ini.
******
Sebuah pesan masuk menggetarkan HP yang kusimpan dipinggir meja. Beruntung tidak sampai jatuh ke lantai. Meskipun itu nokia tipe 3550, tetapi benda itu telah menemaniku selama aku bergelar mahasiswa hingga sekarang.
“Nomor tak dikenal.” Pikirku.
“Ah, Tania. Itu pasti Tania.”
Aku memang tengah menunggu sebuah keajaiban. Tania akan menghubungiku lewat nomor HP yang tertulis didalam kurikulum vitae. Dan nomor tak dikenal itu sepertinya jawaban dari penantianku tersebut.
Penasaran, segera aku membuka isi pesan singkat tersebut. Aku salah. Ternyata itu pesan dari Juli. Dia hanya ingin memberitahu bahwa ia baru saja mengganti kartu perdananya. Dan itu adalah nomor barunya. Selebihnya ia bertanya kabar tentang diriku.
Untuk menghilangkan rasa tidak enak, aku membalas pesan dari Juli dengan diawali kata “oh, iya”. Disitu juga aku tuliskan untuk menyimpan nomor tersebut.
Ku kira cukup sampai disitu. Tak lama berselang, Juli membalas ulang. Kali ini ia menanyakan apa yang tengah aku lakukan. Bagaimana dengan lamarannya kemarin dan ini itu.
Jawabanku sekenanya daripada hanya akan membuatnya sakit hati. Khayalanku, seandainya itu dari Tania. Pasti lebih bagus.
Dan klimaksnya tiba. Juli balik mengirim pesan. Lebih panjang dari sebelumnya. Dimulai dengan kata-kata puitis dan berujung pada satu kesimpulan. “Aku mencintaimu”.
Aku sama sekali tidak surprise. Telah terbaca olehku arahnya kemana. Hanya saja aku salut Juli cukup berani untuk mengatakan itu. Mengukur pada diriku yang cukup lambat merespon, maka Juli mengambil keputusan tersebut.
Sekarang, giliranku yang kelimpangan. Jawaban apa yang harus aku berikan kepadanya. Meskipun ku tahu harus menolaknya. Tapi dengan cara terbijak dan terhalus. Katanya  wanita itu makhluk peka.
Beberapa saat, tidak ku apa-apakan alat komunikasi itu. Bahkan untuk sekedar menyentuhnya. Ku terdiam. Berpikir keras mencari kata yang tepat sebagai sebuah penolakan. “Aku tidak pantas untuk…” Ah, itu terlalu di dratisir. “Lebih baik cari yang lain…”. Apakah aku sekejam itu padanya?
Lalu batinku menegaskan, “jika takut melukai hatinya, terima saja!”
Oho, tidak bisa. Aku masih berharap pada Tania. “Bagaimana jika Tania benar-benar telah menikah?” Aku membatin kembali.
“Be…” Suara mak kecil terdengar ditelingaku. Itu membuyarkan kekalutan yang tengah kuhadapi.
“Iya, mak.” Engganku beranjak.
“Ada yang cari.” Teriak mak lagi.
Sejak kapan aku mulai menerima tamu dirumah kecuali teman-teman disini. Kalau mak berkata demikian, pasti orang itu asing dimata mak. “Siapa? Apakah?”
Aku berlari-lari kecil menuju ruang tamu. Dalam perjalanan singkat itu anganku menduga naskahku diterima.  Tetapi apa mungkin secepat itu. Yang kutahu, biasanya baru akan mendapat respon paling tidak tiga bulan. Tercepat satu bulan. 
Langkahku tertahan. Jantungku terasa lepas dari tempatnya. Dan waktupun seolah ikut terhenti ketika melihat sosok Tania duduk di kursi tamu. Ia melemparkan senyum ke arahku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ku pikir, aku akan pingsan. “Hai…” Sapanya.
Aku masih tidak percaya bahwa ini nyata. Keajaiban terjadi lebih dari yang kubayangkan. Tania datang dengan sendirinya tanpa diundang. Tadinya kuharapkan ia akan menghubungiku, malah mengunjungi berdasarkan alamat di kertas itu. Aku memastikan dengan mencubit tanganku sendiri. Benar, aku tidak tengah bermimpi.
“Eh,” Sikapku otomatis menjadi kaku.
“Darimana tahu alamat rumahku?” Tanyaku pura-pura.
“Disitu tertulis banyak tentang mu.” Jawab Tania singkat.
Lalu mak muncul dari belakang. Sudah tradisi dirumah ini agar tamu dilayan dengan sebaik mungkin. Makanya mak datang dengan segelas teh panas.
“Hanya air.” Tukas mak kemudian.
Tania mengucapkan terima kasih dan mak mempersilakan. Wanita Tionghoa itu pun menyeruput sedikit minumannya.
Sementara mak beranjak dari situ, Tania membuka tas jinjingnya. Menarik resleting kuning keemasan, lalu mengeluarkan sebuah benda tipis persegi. “Ini.” Sodornya ke arahku.
“Insya Allah tanggal 01 bulan depan. Datang ya.”
Apakah bumi telah runtuh atau tsunami kembali terjadi. Kurasakan rumah bergoyang. Ku lihat air didalam gelas pun ikut bergerak. Desauan angin diluar rumah menguat. Siap untuk membuat pusaran puting beliung. Menghancurkan rumah beserta isinya, termasuk diriku sendiri. Pandanganku semakin gelap, tak terasa tubuhku telah rebah dilantai. Sebelum kesadaranku benar-benar hilang, sempat kudengar suatu benda jatuh. Suara itu bersumber dari kamarku sendiri.
******
            Semuanya menggantung. Pesan Juli sama sekali belum sempat aku balas dikarenakan HP kesayanganku hancur berderai. Seolah paham dengan pemiliknya, ia berempati. Nahasnya lagi, nomornya ku simpan dalam memori HP. Kesimpulannya, aku tidak bisa menghubunginya.
Ada baiknya juga sebenarnya, itu bisa menjadi kilahku untuk menunda memberi keputusan. Bukan keputusan, tetapi jawaban. Perkiraanku, saat ini Juli sudah menarik konklusi sendiri. Tidak ada balasan artinya cintanya tertolak. Mungkin katanya, “bukan begini caranya!”
Mau bagaimana lagi. Aku sama sekali tidak hafal nomor tersebut kecuali enam angka pertama dan dua angka terakhir. Hilang ditengah-tengahnya.
Aku juga belum memutuskan untuk pergi atau tidak pada hari yang disebutkan oleh Tania tadi. Semuanya terlalu begitu cepat. Aku belum punya amunisi apapun, tetapi aku sudah hancur duluan. “Seandainya…” Kata ku pelan.
“Seandainya, apa?” mak mengejutkanku yang tiba-tiba menerobos masuk.
“Kau pingsan hampir tiga jam.” Kata mak lagi.  
Ku layangkan ke jendela. Dari celah ventilasi ku lihat hari sudah gelap. Perkiraanku sekarang masih maghrib. Seingatku, berkunjungnya Tania kerumah tadi ba’da Ashar.
Mak melepaskan kompres di jidatku. “Baguslah kau tidak demam, Be.” Anggukanku sebagai jawaban. Untuk beberapa saat, pikiranku kembali terpaut pada peristiwa tadi sore. Awal yang menyenangkan harus berakhir dengan penderitaan. Aku mendesah.
Teringat belum shalat maghrib, aku menguatkan diri untuk berdiri. Tidak ada apa-apa yang terjadi denganku. Ku anggap pingsanku hanyalah sebuah akibat dari transisi drastis dari rasa suka menjadi duka. Tak lebih ku kira.
 “Tadi itu orang cina kah, Be?”
“Kawan sekolah.”
Tak mau membahas tentang Tania lebih jauh, aku langsung melangkah menuju dapur.
“Be, kata temanmu tadi besok kamu harus ikut tes wawancara.”
******
Keputusanku sudah bulat. Aku akan menghadiri undangan tersebut sebagai seorang teman sekolah. Memang berat, tetapi itulah resiko yang kuambil. Semoga dengan melihatnya bersanding dipelaminan membuat aku benar-benar mengerti bahwa Tania bukan tercipta untuk diriku.
Aku mengenakan batik lengan pendek. Warnanya biru tua dengan ornamen burung enggang putih. Ku padukan dengan celana panjang berwarna hitam.  Ku menimbang apakah harus memakai sepatu atau sendal. “sesekali,” pikirku. Aku mengambil sepatu yang sama yang kugunakan ketika pergi ke Bank Syariah beberapa waktu yang lalu.
Santai saja pembawaannya. Aku pergi ke gedung dimana resepsi di gelar. Berpandukan undangan yang diberikan oleh Tania, belok kiri-kanan. Akhirnya sepeda motor ku parkir juga. Dekorasi didominasi oleh warna merah. Tulisan mandarin disana-sini. Satu pun tidak aku mengerti. Hanya muncul keheranan di batinku, “bukankah Tania telah menjadi muslimah?”
Tak terjawab, aku melangkah memasuki ruangan. Berjalan sendirian meskipun didalam undangan tertera agar membawa partner. Khayalku nakal, “partner ku ada didalam.”
“Selamat datang.” Sapa gadis belia yang disulap menjadi bidadari dari Tiongkok berbaju etnik berwarna merah tua. Rambutnya di pintal dengan sebuah susuk konde sebagai pemanis. Bedaknya tebal minta ampun. Jumlah mereka tidak sampai sepuluh orang. Dan aku dipersilakan masuk.
Orang pertama yang ku temui didalam membuatku kelabakan. Belum sempat aku melihat Tania duduk bersama suaminya dipelaminan, sosok Juli termangu melihatku. Sorot matanya menggambarkan kekecewaan. Namun, aku tidak melihat aura kebencian disana.
“Mas, kenalkan ini bang Bakti.”
Pria yang tadinya ada disamping Juli berbalik. Bila dibandingkan dari segi tampang, aku hanya kalah sedikit. Sedikit saja.
“Jadi ini yang namanya Bakti. Juli bercerita banyak tentangmu.”
“Oh ya. Trims.”
“Aku Gunawan. Aku harap mas Bakti bisa hadir dalam pernikahan kami bulan depan.”
Perfect!. “Ini kejutan.” Kataku mengarah pada Juli.
Juli mengatur nafasnya. “Aku berkali-kali mencoba menghubungi bang Bakti. Tapi selalu saja tidak aktif.”
Jadi, setelah hari itu Juli terus menghubungiku. Seandainya Juli tahu dimana rumahku, aku jamin ia sudah muncul disana.
Aku merasa bersalah. Membuat orang yang banyak membantuku dalam proses penyelesaian skripsi harus menelan pahit. Jika dihitung pengorbanan Juli, itu terlalu banyak. Ia menjelaskan tahap demi tahap dari proses persiapan seminar hingga ujian komprehensif. Juli juga ikut menyiapkan konsumsi untuk dua hari tersebut. Dan yang mengesankan, ia setia menunggu di luar hingga ujianku usai.
Bukankah itu seimbang dengan aku seharusnya menerima cintanya? Namun aku tidak bisa. Karena ini tentang hati. Tentang perasaan. Bukan tentang sejauh mana kita berkorban untuk seseorang.
“Ma..”
Ucapanku terpotong oleh seseorang. Dia berkerudung merah, baju etnik lengan panjang dengan paduan rok menguncup juga berwarna merah. Tangannya membawa sebuah kipas berwarna putih.
“Sudah lama, Bakti?” Sapa Tania.
Rasa bingungku masih belum hilang, Juli malah memberi isyarat kepadaku untuk berbicara empat mata. Ia melangkah mendahului. Dan aku mengekorinya. Merasa di pojok kanan ini cukup relevan, langkahnya terhenti.
“Kamu keterlaluan bang Bakti. Apakah kamu tidak cukup membuatku harus lama menunggu jawaban darimu? Itu adalah saat-saat tersulit buatku. Abang tahu bagaimana rasanya?”
Aku menunduk. Tidak berani menatap wajahnya. “HP ku rusak.” Kilah ku.
Juli menambahkan dengan memasang lengan dilipat didadanya, “Apapun alasanmu itu bang. Aku hanya ingin sebuah jawaban. Ya atau tidak.”
Jeda sejenak. Tetapi riuh rendah para undangan  mengisi kesunyian diantara kami.
“Aku menyimpulkan, itu artinya tidak. Dan satu permintaan terakhirku. Bisakah?”
Ku mencoba mengangkat kepala lebih tinggi. Anggukan adalah jawaban andalanku.
“Tania menunggumu. Ia telah memupuk cintanya bahkan sejak kelas satu SMA. Abang terlalu bodoh tidak bisa membaca itu. Aku merasa beruntung tidak menikah denganmu.”
Walaupun berujung dengan ledekan Juli, aku ingin melompat hingga ke langit. Ku alihkan padangan pada Tania, namun ia tengah sibuk dengan para undangan lainnya. Sesekali ia mencuri untuk melemparkan pandangan ke arah kami. Bukan, itu bukan ke arah kami. Itu padaku.
Baru ku lihat dengan jelas nama yang tertulis dalam undangan yang kubawa. Disitu tertera Tanya.
******
Kejutan demi kejutan datang silih berganti. Begitu sulitkah mencari sebuah nama hingga adiknya Tania harus bernama Tanya. Juga persahabatan antara Juli dan Tania ternyata sudah terjalin sejak tahun lalu. Juli bekerja di Bank Syariah selama satu bulan dalam program magang dimana merupakan syarat untuk mendapatkan nilai mata kuliah sebesar 3 SKS tersebut.
Terakhir yang membuat aku hampir syok adalah Tania pernah menikah. Dan telah dikaruniai seorang putra. Dari suaminya yang telah wafat itulah, dia mendapat hidayah. Itu persis dua tahun setelah lulus sekolah.
Meskipun merasa tidak enak sebelumnya, tetapi itu tidak lagi jadi masalah. Seperti tidak masalahnya ketika akhirnya aku gugur dalam tes wawancara kedua di Bank Syariah. Toh cintaku telah berbunga. Hampir sepuluh tahun terpendam, kini muncul juga ke permukaan. Rencana Tuhan untuk hambanya memang tidak bisa di duga.
Giatku hanya untuk mengumpulkan uang. Persiapan untuk menuju bahtera rumah tangga. Sesuai saran mak yang diralatnya sendiri, aku mulai honor di SMA. Sebagai Sarjana Ekonomi, sedikit banyak aku menguasai mata pelajaran ekonomi. Dan mengajar Bahasa Inggris ku anggap sebagai bonus. Tak ada rotan, akar pun jadi.
            Baru saja hendak masuk ke rumah, aku dikejutkan oleh suara klakson, “pos.”
            “Ibnu Bakti?” Tanya lelaki berbaju oranye tersebut.
            Aku mengangguk.
            Lelaki itu menyodorkan sebuah amplop cokelat muda berukuran sedang dengan sebuah tanda terima diatasnya. Aku menandatangani bukti tersebut.
            Pak pos berlalu, sementara aku masih berdiri di situ. Ku baca nama pengirimnya. Hatiku berdebar seketika. Itu balasan dari penerbit dimana aku mengirimkan naskah novelku. Tak terasa tiga bulan berjalan begitu cepat.
            Segera ku buka segelnya. Ku baca isinya secepat kilat. Dan aku melonjak. Cepat-cepat aku masuk kerumah mencari mak. Tetapi mak tidak ada. Dikamarnya nihil, di dapur juga kosong. Lalu dimana mak? Tak sabar aku ingin mengabarkan berita mengembirakan itu padanya.
            “Mak…” Teriakku memekakkan seisi rumah.
            Mak muncul dari balik pintu kamar kecil. Aku langsung memeluk mak yang tengah keheranan. Erat, erat sekali. “Syukur alhamdulillah, mak. Novel ku akan naik cetak. Dan itu artinya karirku sebagai penulis terbentang dihadapan.”
            Berlagak faham, mak turut bersyukur. Setelah pelukan kami lepas, mak berucap, “tadi pak Kades ingin mengajakmu untuk ikut dalam proyek i-KTP.”
            Tak terbendung lagi, rasa mual melanda perutku. Bukannya karena mendengar perubahan dari “e” menjadi “i”, tetapi mak tetap saja bersikukuh agar aku punya pekerjaan yang bisa dibanggakannya ketika berbicara dengan tetangga dan famili lainnya.     

0 Messages:

Posting Komentar

 
;