Muka Woq kusut dan hidungnya turun naik. Xam pula tak sabar mau bertualang segera. Memang itu yang kusuka. Lebih baik tahu cepat daripada berlama-lama membiarkan kesempatan begitu saja.

"Tapi..." Woq masih ragu-ragu untuk ikut.
Tidak perlu bicara lagi untuk mendorongnya memilih, karena Xam telah melakukannya untukku, "Ikut atau pulang, terserah saja!"
Aku mendahului mengepakkan sayap dan menjauh. Xam mengekor di belakangku. Masih dengan perasaan penasaran dan jiwa menjelajahnya cukup tertantang sepertinya. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kini saatnya mencari sesuatu yang baru. Bukan mengeram di sarang seumur hidup.
Kami terbang lebih jauh lagi. Ketika ku lihat ke belakang, Woq mulai mengepak pelan, semakin cepat dan bergabung denganku dan Xam. Akhirnya.
..........
Woq ngeri melihat satu dua bangsa kami terkapar mati di pukul oleh raksasa yang tengah duduk. "Kita tidak akan seperti itukan, Blom?" Xam agak cemas menanyakannya. "Kenapa mereka seperti menjaga jarak dengan raksasa tersebut. Bukankah itu justru akan mengundang perhatian makhluk bertubuh besar itu?"
"Tenang saja, kita akan lebih beruntung dari mereka," kataku menenangkan. Woq di sampingku menelan ludah kering. Keringat dingin mulai timbul dari pori-pori super kecilnya.
"Makhluk itu menggunakan semacam cairan anti bangsa kita. Makanya nyamuk lainnya tidak berani mengambil jarak terlalu dekat. Mereka juga bodoh dengan kenekatannya. Itulah akibatnya jika kita bertindak tanpa berpikir lebih dahulu."
"Kalau berpikir terus-terusan, kapan mau beraksi?" Xam bertanya lagi.
"Bukti sudah di depan mata. Atau kau mau tamat seperti mereka, Xam?"
Xam menggeleng. Woq bungkam dan seolah ingin mengatakan dirinya akan pulang saja. Ia punya ibu untuk di pikirkan. Tidak apa di bilang pengecut oleh kedua sahabatnya tersebut.
"Kawan-kawan...." ucap Woq terbata.
"Sstttt....." perintahku. "Kalian sudah lihat sendiri kan. Saat ini kita tak bisa berbuat lebih. Cairan itu masih akan bereaksi paling tidak sampai lewat tengah malam. Dan sedikit kemungkinan akan hilang menjelang subuh nanti. Saat itulah kita baru mencari makanan. Siap?"
Itu artinya kami harus beranjak segera dari tempat pengintaian di dinding. Woq mendahulu melakukan itu. Aku menyusul setelahnya. Xam seolah berat meninggalkan makanan dihadapannya meskipun ia tahu resiko apa yang akan menghadang jika ia gegabah. "Blom, tunggu sebentar. Apakah kau mendengar sesuatu. Kedengarannya tidak bersumber dari raksasa itu."
Memastikan apa yang didengarnya itu benar-benar ada, aku hinggap kembali. "Dengar itu?" kata Xam. Aku mengangguk.
"Dari kamar sebelah," balasku.
"Apakah disana juga ada makhluk raksasa seperti itu?"
"Boleh jadi. Mau langsung ke TKP?"
Xam pergi tanpa sepatah katapun. Tidak ku kira ia begitu bersemangat. Tahu dari dulu, sejak lama aku sudah mengajaknya melakukan ini.
"Kawan-kawan..."
Woq tidak ada kosa kata lain apa selain mengatakan itu. Suara terdengar gelisah dan was-was. Begitulah kalau kita terlalu takut. Kami berbuat sesuai keinginan kami. Pergi ke kamar sebelah. Semoga keberuntungan tengah menunggu disana. Dan aku yakin Woq akan menyesal tidak ikut sama.
"Teman-teman, tolong...."
Lolongan Woq beralih pada tingkat memelas. Untuk apa memedulikannya, toh ia bisa pulang sendiri. "Pergi saja, sana!" bentak Xam. Kami menghilang di kegelapan kamar sebelah.
...........
"Apa ku bilang," Xam membanggakan hasil petualangan perdananya. Pantas memang ku acungi jempol. Insting berburunya luar biasa peka. Kalau begini, ia bakal mendapat santapan hebat tiap malam. Ku katakan itu padanya. Dan kawanku itu nyengir puas.
Rumah itu senyap. Sesekali terdengar gerakan raksasa yang terlelap. Kami pulang dengan perut terisi penuh. Aku yakin, Woq akan mengatakan sangat menyesal pulang terlalu awal tadi. Mudah-mudah ia bisa mengambil pelajaran akibat perbuatan tergesa-gesanya.
Kow, ibunya Woq menangis histeris ketika kami datang di Kota Nyamuk. Heran saja, apa yang membuatnya menangis seperti itu. Aku dan Xam langsung di serang dengan pertanyaan, "Apa yang kalian lakukan pada Woq?"
Kami berdua hanya saling pandang. Tidak ada gunanya berdalih akan kepergian kami bertiga tadi. Pasti semuanya telah mengetahui. Yang membuat kami bingung adalah seharusnya Woq sudah ada disini. Ia telah memisahkan diri sejak beberapa jam yang lalu.
"Woq sudah mati di mangsa oleh seekor cicak. Kami menemukan itu saat mencari kalian."
Ibuku menunjuk pada setungkai kaki nyamuk tanpa tubuh di atas daun. Jelas itu milik kawan kami. Sebuah gelang kecil terikat pada benda tersebut.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Semua terjadi atas usulku dan Xam hanya mengikuti. Kejadiannya pasti ketika Woq meminta tolong tadi. Ah, ya ampun. Kalau saja aku mendengarnya meminta bantuan. Nyatanya kuanggap itu hanya bentuk kelemahan. Woq, maaf kan aku.
Sama halnya dengan Xam. Kawanku satunya itu terus-terusan menyalah diri sendiri. Seandainya saja ia tidak berkeras untuk berlama-lama disana. Tentu Woq tidak mengalami ini.
Tangisan Kow bukanlah menyalahkan kami sepenuhnya. Kami tahu hal itu. Bagi bangsa nyamuk, kematian ketika mencari makanan adalah takdir yang tidak boleh di ratapi. Lantaran untuk itulah kami hidup. Mengembara kemana saja demi menyedot darah raksasa. Cuma, penyesalan Kow terletak pada rasa kasihan pada keturunannya, Woq. Ya, Woq terlalu muda untuk bertualang mencari makanannya sendiri ke luar Kota Nyamuk. Sedikit banyak, kami tetap berada pada pihak terdakwa meskipun tiada seorang pun yang menyalahkan. Beberapa mengatakan kami cukup berani.
Kami sebangsa nyamuk memiliki waktu tinggal di dunia ini sangat singkat. Sebentar juga akan mati setelah sebelumnya menelurkan banyak zuriat kelak. Seperti Kow, ia akan bertelur sebentar lagi. Woq-Woq lainnya akan lahir. Dan melanjutkan petualangan bangsa nyamuk. Demikianlah terus menerus selagi bangsa raksasa itu tidak mau membersihkan diri dan lingkungannya. Itu yang kami sukai.
Aku dan Xam berpisah untuk menuju rumah masing-masing. Setelah ini kami akan berpikir ulang sebelum bertindak. Sebelum saling menjauh, Xam mengingatkan hal itu. Namun aku begitu juga Xam tengah berpikir kira-kira kapan waktu yang tepat untuk pergi kesana lagi. Resiko tetap ada. Dan pukulan raksasa itu secara mutlak merupakan ancaman terbesar kelangsungan hidup kami. Kami tertakdir seperti itu, maka tiada pilihan selain menjalaninya.
0 Messages:
Posting Komentar