Patut
ku catat dengan tinta emas. Jika pak Hendro meminta kami menitipkan sesuatu
untuk disimpan di museum daerah, aku akan menyerahkan ini. Andai saja. Nyatanya
guru kami yang belum juga menikah itu tidak pernah hirau. Apakah kami mengerjakan
tugas rumah atau tidak. Jadi, catatan ini sementara ku simpan di tempat yang
aman saja.
“Pai,
duduk yang benar. Jangan tengkurap seperti itu!” komentar ibu cantikku. Aku
menurut saja, kecuali jika ingin mendengar saran-saran terbaiknya lainnya.
Bagaimana mungkin aku bisa menulis dalam posisi duduk seperti ini. Namun ku
paksakan terus mencatat.
Untuk yang ke…ah, anggap saja pertama, ayah,
ibu, aku, dan kedua saudara kandungku menonton tv bersama.
Itu kalimat terakhir
yang ku tuliskan. Jam menunjukkan sembilan kurang dua puluh lima menit.
Sebenarnya aku sudah ingin pergi ke kamar saja. Tetapi saat ini, yang memegang
kendali adalah ibu. Tidak ada yang boleh pergi tidur sebelum pukul sembilan.
“Lebih baik ketiduran disini,” tegasnya.
Di luar hujan deras
mengguyur disertai desauan angin kencang. Malam minggu yang benar-benar kelabu.
Terutama buat Siska yang terus menerus memelototi jam dinding. Gerutu kecilnya
demikian pula. Izinnya untuk ke kamar segera, tertolak ibu mentah-mentah.
Padahal jemarinya sudah gatal untuk memainkan smartphone kesayangannya. Aku
tahu itu.
Aldo, Kakak tertuaku sama
sekali tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Alasan kenapa ia bergabung di
ruang keluarga adalah karena tidak bisa keluar rumah. Sama sekali tidak ada hubungannya
dengan peraturan yang ibu buat khusus untuk malam ini. Tingkahnya yang paling
banyak mengundang celoteh ibu. Remote
control tidak lepas dari tangannya. Ia memindahkan channel TVsesuka hati. Itu yang membuat ibu geram dan naik pitam.
Sedangkan lelaki berkumis
dan kepalanya hampir kehilangan rambut duduk di sebelah ibu. Itu ayahku. Memang
pantas ia mendapatkan ibuku yang cantik. Muka tirus, hidung bangir meskipun
bibirnya agak lebar. Menjadikan wajahnya tampak selalu segar. Berbeda dengan
ayah yang hidungnya sedikit besar. Rahangnya keras dan tulang pipinya menonjol.
Pembawaannya berwibawa jadinya. Dibandingkan dengan kak Aldo dan Siska, aku memiliki
kombinasi hidung besar dan mulut lebar.
Ayah terangguk-angguk.
Sesekali kepalanya tersandar di bahu ibu. Ibu menggeser kepala ayah dengan
tangannya. Lalu ayah terjaga. Begitu seterusnya. Posisinya sebagai kepala
keluarga sepertinya tidak terlalu berfungsi malam ini. Dan jujur, seperti
hari-hari sebelumnya juga sih. Mungkin karena mulut ayah lebih kecil dari ibu,
makanya selalu kalah kalau berdebat.
Sembilan kurang satu menit.
Siska bangkit dari dudukannya. Cekungan sofa tampak dalam lantaran ia membuat
dirinya terperuk disana. Wajahnya ku lihat girang seketika. Dari sebelumnya
yang penuh dongkol.
“Siska!” bentak ibu
tiba-tiba. “Satu menit lagi!” tegasnya kemudian.
Siska bergeming. Terus
berlari-lari kecil menuju kamarnya sendiri. Ku dengar dentuman pintu dibanting
perlahan. “Terima kasih, nak,” giliran ibu yang agak berteriak. Menandakan
peraturannya telah pun usai. Ibu membangunkan ayah dan menyuruhnya tidur di
kamar saja. Ayah membuka mata dengan malas. Tanpa banyak omong, orang tuaku itu
menuju kamar mereka.
“Dan kau Pai, lekas tidur.
Tidak baik anak kecil menonton hingga larut.”
Ayah dan ibu hilang di balik
pintu kamarnya. Aku kembali menambahkan di catatanku, berhasil. Ku bergegas pergi meninggalkan kak Aldo sendirian.
Sepertinya ia sama sekali tidak berniat untuk tidur awal malam ini. Matanya terus
saja mengawasi hujan diluar yang mulai reda. Ketika aku membaringkan diri di
atas kasur, terdengar garasi di buka.
Sepeda motor meraung nyaring
setelahnya. Garasi di tutup dan kakak tertuaku itu langsung tancap gas. Langkah
kaki berlari terdengar pula dari dalam rumah. Pintu depan dibuka, “Aldo…” suara
ibu mengecil di ujungnya. Marah ibu tidak kesampaian.
Aku menarik selimut hingga
menutupi seluruh tubuh. Terasa lebih hangat dari sebelumnya. Paling tidak
sesuatu yang ‘lebih baik’ terjadi malam ini.
0 Messages:
Posting Komentar