Jumat, 15 Juni 2012

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 13)

    Perjalanan menuju kampus, aku disuguhi oleh orasi mahasiswa yang merasa generasi paling bija di bundaran UNTAN. Ah, itulah masa-masa idealisme seseorang. Seperti teman-teman ku kala itu. Koar-koar mereka menuntut para anggota dewan agar turun saja dari statusnya sebagai wakil rakyat. Itu karena "mereka" yang dituding telah lumpuh untuk mengemban amanah tersebut.
    Namun aku hampir saja tertawa terpingkal ketika akhir-akhir ini sering kulihat wajahnya terpampang besar di baleho di hampir setiap sudut di kota ini. Jabatannya persis sama, anggota dewan. Dan hari ini, mahasiswa yang punya idealisme tinggi tengah menuntutnya akan umbaran janji-janjinya ketika kampanye dulu. Bahkan yang lebih ironis, dalam perjalananku tadi, ku lihat beberapa foto dirinya di bakar di atas aspal. Dan foto lainnya menggambarkan wajahnya yang bermetamorfosis menjadi seekor hewan pengerat. Tikus.
    Belum cukup sampai disitu rupanya. Perpolitikan di negeri ini sudah sangat "demokrasi"nya. Mahasiswa-mahasiswa punggawapun merasa pantas untuk menduduki jabatan BEM. Ketua di seantoro mahasisiwa se kampus hijau. Foto-foto tiga pasang kandidat menyambut kedatangan siapa saja yang ingin memasuki areal kampus. Semuanya beralmamater kebesaran, biru tua. Nomor urut 1 sampai 3 tertulis besar diantara masing-masing calon ketua dan wakil ketua BEM.
    Sabtu ini, ku pikir. Ya, pesta demokrasi kampus tersebut akan di helat pada hari Sabtu minggu ini. Itu artinya sekarang adalah masa-masa kampanye para kandidat. Dulu, seingatku ketika aku masih berstatus mahasiswa, saat-saat seperti ini adalah masa dimana kandidat maupun tim suksesnya tengah merumuskan rencana terbaik hingga yang ke yang sedikit agak liar. Mereka menyebutnya sebagai strategi pemenangan. Apa pun itu namanya, ujung-ujungnya bujuk rayu dan jalan belakang juga nantinya yang mereka tempuh. Memang tidak seperti para politikus sekarang yang menggelontorkan "sedikit" dari uangnya untuk kemenangan. Generasi emas bernama mahasiswa tersebut  menggunakan tameng jurusan sebagai hitung-hitungan potensi kemenangan. Biasanya, otomatis pemilih akan memilih kandidat yang berasal dari jurusan yang sama dengannya. Namun bisa saja, ada beberapa pemilih yang membelot. Itu sangat kecil persentasenya. Intinya, kemenangan akan berada di tangan kandidat yang memiliki pemilih terbanyak. Kolaborasi antara jurusan dan juga penokohan sosok calon pemimpin di kampung juga yang akan menjadi patokan utama.
    Aku menghela nafas dalam. Tidak mau memikirkan perkara itu lebih jauh. Tugas ku sini adalah untuk mengajar. Melaksanakan tugas negara yang telah mengangkatku sebagai pegawainya. Ya, mengajar, membimbing mahasiswa.....
    Oh, hari ini?. Rabu, pukul 10 pagi. Setelah memarkirkan sepeda motor, bergegas aku menuju ruang jurusan. Bukan jam mengajar yang lima belas menit akan datang yang ku kejar. Aku ingin memastikan, apakah Je tengah menunggu di sana. Ku berpikir skeptis. Gadis itu tidak mungkin akan menepati janjinya hari ini pasca bencana minggu sore lalu. Ku percepat langkah kakiku.
    Supaya lebih cepat, ku pilih jalur pintu utama di samping bagian akademik. Disana, kutemukan mahasiswa berkerumun tengah mencatat jadwal ujian semester. Saling berjejal-jejalan antara laki-laki dan perempuan. Seolah mereka takut untuk kehilangan tempelan kertas di dinding kaca itu. Ku berhenti sejenak.
    Lalu melangkah lagi sambil mengucapkan, "permisi."
    Beruntung mereka merespon dan membuat lorong untukku lewat diantaranya. Tak lupa, sebagai apresiasiku, ku ucapkan terima kasih. Kakiku pun kembali melangkah dengan gesit.
    Dan.....
    Aku salah. Memang tidak ada sms maupun panggilan masuk di HP ku yang bersumber dari Je. Namun ia tengah membiarkan pikirannya mengawang-awang. Sesuatu yang tampak sangat berat sedang dipikirkannya. Mungkin saja Je sedang berlatih untuk menguasai diri ketika berhadapan denganku. Memilah dan memilih antara akademik dan masalah pribadi. Jika itu benar, aku acungkan jempol buatnya. Atau mungkin Je juga menghafal kata-kata agar dalam prosesi konsultasi nanti tidak menyinggung sama sekali tentang sore itu.
    "Hai Je. Sudah lama?"
    Je sedikit terkejut. Rohnya kembali ke dalam tubuhnya, sepertinya. Setelah mengembara entah kemana.
    "Baru saja." Je menjawab singkat. Dan jelas itu bohong. Seperti diriku dulu yang tengah menunggu sang dosen ketika ingin berkonsultasi hingga "kusut". Baru sajanya itu relatif bagi mahasiswa.
    "Ayo."
Next, Insya Allah

0 Messages:

Posting Komentar

 
;