Senin, 08 Juli 2013

Be El Es Em

"Tiga waktu tepat gunting rambut adalah menjelang ramadhan, menjelang idul fitri, atau waktu yang tidak ditentukan. Alias kalau sudah gerah sendiri."

Mendengar pernyatan itu, saudara-saudara perempuanku cuma bisanya nyengir. Sementara ibu memilih diam. Aku melanjutkan membuat kopi instan panas. Hari itu adalah hari besar dalam keluarga kami. Kakak tertua datang liburan bersama anak-anaknya tahun ini. Meski hanya dalam hitungan kurang dari satu minggu, nilai kebersamaan dan kehangatan tiada berkurang sedikitpun.    

Itu beberapa hari di pekan lalu. Aku tengah mengendarai sepeda motor menuju pasar Sambas untuk memangkas rambut. Dan wow. Ada apa gerangan. Orang-orang pada berkumpul tepat di depan Kantor Pos Kabupaten Sambas. Kecelakaankah? Rupanya bukan. Scene itu adalah sebuah parade yang sangat ku benci. Bukan orangnya, tetapi entah apanya. Kemiskinan barangkali, yang semakin enak dan empuk saja dijadikan komoditas. Terutama komoditas politik. 

Ya. Seperti yang kuduga, masyarakat tengah antri mengambil uang gratis dari pemerintah. Katanya sih sebagai kompensasi pasca kenaikan Bahan Bakar Minyak. Emm...Aku terus berlalu dengan kecepatan di pangkas. Disana pak polisi sibuk mengatur lalu lintas lantaran banyaknya orang. Bahkan jalur di depan telah dialihkan lewat jalan belakang. 

Seorang kakek tertatih memaksakan diri menyeberang tanpa pendamping. Atau mungkin ia memang tidak membawa pendamping. Sepeda motor di depanku menginjak rem secara mendadak, otomatis demikian pula dengan ku. Di saat itulah, pandanganku menangkap sosok anak lelaki di pinggir jalan dengan pakaian, bisa dibilang baru, cuma agak kurang pas. "Wah, bajunya kebesaran." Nampaknya anak itu cukup percaya diri kok. 
.............
"Ini pas wa buat anak kau."
Setuju. Sangat setuju dengan amoy itu. Tetapi ayah berkilah dan meminta ukuran yang lebih besar. Si penjual mengalah demi meraih hati pelanggan. Kau tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan raja.
Sementara gadis keturunan tionghoa itu memilih ukuran sesuai permintaan, ayah berbicara lewat tatapannya. Paling tidak itulah yang kutangkap. Aku tidak tahu pasti apa kata-katanya. Yang jelas terngiang ditelingaku adalah, "kalau besar, lama makainya."

Ayah tidak pernah tahu bagaimana rasanya di ejek teman-teman saat lebaran tahun lalu. Kata mereka, bajuku pantasnya buat anak SMP. Dan tadi siang, sewaktu mengantri di pinggir jalan, seorang abang memandangku dengan aneh. Ya, apalagi kalau bukan heran dengan 'kostum' yang kukenakan.



0 Messages:

Posting Komentar

 
;