
.........
Vanisha histeris mendapati Sarrin tiba-tiba muncul dari tempat tidur. Orang yang mendengar suaranya akan mengatakan wanita itu sangat menderita. Salah, padahal ia sangat, sangat bahagia. Menemukan kembali putri semata wayangnya, lega dan lepas dari rasa kehilangan.
Sarrin melompat dari tempat tidur, sementara Vanisha berlari menghampiri bocah itu. Mereka berpelukan seolah tidak bersua dalam waktu yang lama. Demikianlah, pemergian Sarrin yang dikira tidak mungkin kembali lagi sangat menghawatirkan. Vanisha mendekap Sarrin hingga bocah itu sulit bernafas. Deraian air mata, tawa dan kecupan sayang mewarnai pertemuan itu.
"Kamu tidak apa-apa kan, sayang?" Kembali Vanisha memeluk anaknya, takut kehilangan. Terasa olehnya anggukan kepala Sarrin di pundaknya.
"Ibu khawatir tidak akan bertemu denganmu lagi, nak. Kenapa kamu meninggalkan ibu?"
Sarrin menggeleng menyanggahan pernyataan dan pertanyaan ibunya. Andai mulutnya bisa digunakan untuk berbicara, maka akan lebih mudah menjelaskannya.
Pelukan itu lepas juga. Sarrin menarik tangan ibunya mendekati tempat tidur. Jemarinya mencari-cari sebuah tombol dan ketemu. Ia mendahului ibunya naik. Dengan was-was wanita itu ikut melakukan hal yang sama. Sarrin memberi aba-aba untuk bersiap. Dalam hitungan detik, tempat tidur itu membelah diri dan memakan tubuh ibu dan anaknya. Vanisha panik bukan main dan kembali bersuara nyaring, namun teredam oleh lorong yang mengular panjang.
...........
"Sarrin?" Vanisha mengharapkan sebuah jawaban ini semua. Kenapa bisa ada sebuah....ia tidak tahu menyebutnya sebuah apa. Sarrin melangkah dengan santai seolah akrab dengan dunia 'baru' tersebut.
...........
"Sarrin?" Vanisha mengharapkan sebuah jawaban ini semua. Kenapa bisa ada sebuah....ia tidak tahu menyebutnya sebuah apa. Sarrin melangkah dengan santai seolah akrab dengan dunia 'baru' tersebut.
0 Messages:
Posting Komentar