
"Kakek, apakah di rumah ini juga ada lorong seperti itu?" Ahmad mulai bertanya. Ia adalah cucu yang paling kecil saat ini. Tidak pada bulan depan.
Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Saatnya untuk beraktivitas di kebun belakang. Mengerjakan apalah, menanam sayur mayur lagi atau sekedar mengumpulkan keong perusak tanaman. Asalkan tubuh ringkih ini digunakan dengan penuh manfaat. Mengkonversi sinar matahari pagi menjadi sebuah energi. Masa dan waktu tidak akan pernah kubiarkan untuk membelenggu untuk berkarya.
Ku jawab pertanyaan itu dengan menyeruput kopi terakhir. Bersamaan dengan itu, lenyap pula kepulan asapnya. Anna yang kebetulan lewat bertanya kepadaku, "mau tambah lagi kopinya, pak?" Aku menggeleng. Dan ia pun berlalu mengejar si tukang sayur berkendara sepeda motor. Selain takut ketinggalan, ia juga tidak mau lepas melihat calon suaminya. Ada-ada saja.
"Menurut Ahmad, apa yang akan terjadi selanjutnya?" Tanyaku ulang mengalihkan inti pertanyaan Ahmad.
"emm, mungkin....."
..........
"Mungkin," wanita itu meninggalkan lawan bicaranya lalu menyapa Sarrin dengan muka ceria. "Halo anak ganteng." Ia mendekapnya ringan dan beralih pada Vanisha kemudian. "Ini..." ucapnya tertahan.
Vanisha memotong, "saya Vanisha, ibunya Sarrin."
"Saya Loubo. Wah, senang sekali bisa bertemu dengan anda." Wanita itu merapatkan tangannya pada tangan Vanisha. "Anda tampak lebih hebat dari yang diceritakan anak ini."
Diceritakan? Seharusnya, pikir Vanisha, menggunakan istilah 'menggambarkan' lebih tepat. Bercerita hanya bagi orang-orang yang bisa bersuara. Atau mereka tidak memiliki kosa kata tersebut disini.
"Demikian juga saya Nona Loubo, tapi tempat apa ini sebenarnya? Kami tadinya hanya duduk-duduk di tempat tidur, namun tiba-tiba sebuah lorong menggiring ke sini. Jujur, aku takut."
Sebuah suara lain terdengar kurang bersahabat. "Dilarang bertanya tempat apa ini. Itu syaratnya. Saya Anien." Seorang lelaki renta bergabung dan juga menghulurkan tangannya. "Asal anda tahu saja nyonya Vanisha, bahkan Sarrin juga sama denganmu. Maksudku, sama tidak tahunya." Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak terbatuk. Nyatanya lepas juga.
Vanisha menyambut Anien dengan menukaskan, "syarat yang aneh, tuan Anien."
"Begitulah."
..............
Sementara, tak lebih dari lima belas orang bergerilya dirumah bu Vanisha. Termasuk didalamnya detektif Dann, Prita dan si petugas forensik, Bayu. Kecuali mereka, anggota polisi lainnya memerika setiap sudut ruangan. Garasi, taman depan maupun belakang, dan lemari-lemari digeser dengan harapan suatu keajaiban muncul. Dinding pula diketuk-ketuk, namun tidak satupun yang mengindikasikan rongga disebaliknya.
Mereka berkumpul di ruang tengah dengan muka kecewa. Prita yang tadinya sangat yakin akan memecahkan teka teki ini juga tampak kusut oleh perasaannya sendiri. Detektif Dann tidak begitu. Rasa optimis masih lekat pada dirinya meski saat ini hasilnya nihil. Sementara Bayu tetap kurang percaya dengan penuturan Prita bahwa dirumah itu ada ruang rahasia. Berpikirlah rasional. Untuk apa?
"Kami sudah mencari di setiap sudut ruangan, nona Prita. Seperti yang anda lihat, tak satupun dari kami berhasil."
Gadis itu mengangguk pelan. "Begitu pula dengan kami di kamarnya Sarrin. Tadinya ku kira akan menemukan pintu masuk ke bawah tanah di bawah tempat tidur bocah itu." Prita mengambil jeda sebentar. "Maaf telah mengganggu pekerjaan kalian."
...............
Anna datang dengan muka cemas. Awalnya ku pikir sesuatu terjadi pada Ahmad. Rupanya ini lebih mengerikan. Air tuban, Andira, putriku sekaligus ibunya Ahmad telah pecah. Kok bisa? Kata dokter pribadinya, ia akan melahirkan paling tidak menjelang akhir bulan depan. Ah, manusia biasa saja salah walaupun dirinya seorang ahli.
"Cepat Anna, panggil Barito. Siapkan mobil."
"Baik pak."
Aku mencuci tangan setelah bergelut dengan tanah basah.
Ku dapati cucuku itu menangis merespon gelagat buru-buru kami. "Tidak apa-apa sayang," bujukku. "Kamu akan segera melihat adikmu. Ayo."
..............
Vanisha menyambut Anien dengan menukaskan, "syarat yang aneh, tuan Anien."
"Begitulah."
..............
Sementara, tak lebih dari lima belas orang bergerilya dirumah bu Vanisha. Termasuk didalamnya detektif Dann, Prita dan si petugas forensik, Bayu. Kecuali mereka, anggota polisi lainnya memerika setiap sudut ruangan. Garasi, taman depan maupun belakang, dan lemari-lemari digeser dengan harapan suatu keajaiban muncul. Dinding pula diketuk-ketuk, namun tidak satupun yang mengindikasikan rongga disebaliknya.
Mereka berkumpul di ruang tengah dengan muka kecewa. Prita yang tadinya sangat yakin akan memecahkan teka teki ini juga tampak kusut oleh perasaannya sendiri. Detektif Dann tidak begitu. Rasa optimis masih lekat pada dirinya meski saat ini hasilnya nihil. Sementara Bayu tetap kurang percaya dengan penuturan Prita bahwa dirumah itu ada ruang rahasia. Berpikirlah rasional. Untuk apa?
"Kami sudah mencari di setiap sudut ruangan, nona Prita. Seperti yang anda lihat, tak satupun dari kami berhasil."
Gadis itu mengangguk pelan. "Begitu pula dengan kami di kamarnya Sarrin. Tadinya ku kira akan menemukan pintu masuk ke bawah tanah di bawah tempat tidur bocah itu." Prita mengambil jeda sebentar. "Maaf telah mengganggu pekerjaan kalian."
...............
Anna datang dengan muka cemas. Awalnya ku pikir sesuatu terjadi pada Ahmad. Rupanya ini lebih mengerikan. Air tuban, Andira, putriku sekaligus ibunya Ahmad telah pecah. Kok bisa? Kata dokter pribadinya, ia akan melahirkan paling tidak menjelang akhir bulan depan. Ah, manusia biasa saja salah walaupun dirinya seorang ahli.
"Cepat Anna, panggil Barito. Siapkan mobil."
"Baik pak."
Aku mencuci tangan setelah bergelut dengan tanah basah.
Ku dapati cucuku itu menangis merespon gelagat buru-buru kami. "Tidak apa-apa sayang," bujukku. "Kamu akan segera melihat adikmu. Ayo."
..............
0 Messages:
Posting Komentar