Rabu, 29 Agustus 2012

S. Mara Gede VS Conan Doyle

        Membaca novel bergenre Misteri dan Thriller, sejauh ini baru mengenal dua tokoh fiktif utama dari dua penulis berbeda. Masing-masing memiliki karakter dalam gaya kepenulisannya. Yang pastinya kedua-duanya the best pokoknya.
        Diantara perbedaan itu, menurut saya terdapat beberapa poin yang mirip. Yaitu sang tokoh fiktif utama selalu bersama seorang teman dekatnya setiap kali menyelidi kasus yang tengah dihadapi. Walaupun sejatinya, rekannya tersebut kadang tidak banyak membantu menuntaskan kasus terkait.
       Conan Doyle menciptakan seorang tokoh fiktifnya berupa seorang detektif konsultan eksentrik. Yaitu detektif swasta yang lebih suka menyelesaikan kasus dengan caranya sendiri. Meskipun terkadang harus mencoba untuk menghargai detektif dari pihak kepolisian. Ialah Sherlock Holmes, memiliki kepribadian yang sulit untuk ditebak. Tak lah berlebihan jika di sebut dengan seseorang yang sering juga membuat temannya, Dr. Watson kesal. Hanya saja sang dokter sudah terlalu mengenal tabiat temannya tersebut.
     Keduanya selalu berada di tempat yang sama ketika harus menghadapi sebuah kasus. Prinsip penyelidikan yang diterapkan oleh sang detektif adalah kira-kira "jangan  menilai seseorang berlebihan, karena itu akan mempengaruhi penyelidikan kita". Jangan mencurigai seorangpun sebelum bukti tampak begitu jelas. Uniknya, Sherlock Holmes dapat secara pasti mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam suatu perkara. Sehingga tersangka biasanya tak lebih dari tiga orang.
        Cara pandang sang detektif yang ditulis oleh Conan Doyle juga tidak biasa. Deskripsi Sherlock Holmes seolah mengetahui berbagai hal. Terutama bahasa tubuh serta apa yang dikenakan seseorang.
      Inspirasi untuk membuat sebuah tokoh fiktif dalam novel bisa berasal dari siapa saja. Seperti halnya Conan Doyle, ide memunculkan tokoh Sherlock Holmes justru berasal dari salah satu seorang dosennya di Universitas Edinburgh (Inggris) yang bernama Dr. Joseph Bell.
       Tulisan pertamanya berjudul penelusuran benang merah ( a study in Scarlet ) dengan penerimaan baik oleh publik. Dan masa kejayaan sang tokoh mulai berkibar baru pada tahun 1891.
****
         Lain halnya dengan S. Mara Gd. Wanita ini mulai menulis novelnya setelah kerap kali menterjemahkan tulisan besutan Agatha Christie. Misteri Dian yang Padam (1984, diterbitkan 1985) adalah novel perdananya. Detektif Kosasih adalah tokoh fiktif utamanya. Detektif resmi dari kepolisian itu selalu bersama dengan rekannya yang memiliki masa silam yang kelam. Gozali namanya. 
         Setiap tokoh dalam novel yang ditulisnya layak untuk dijadikan tersangka. Biasanya berjumlah belasan bahkan lebih dengan deskripsi singkat tokoh tersebut di awal cerita. Pun dalam aliran ceritanya, ia berusaha untuk mengarah penulis menebak si A, B, C maupun D sebagai pelakunya. Tebak-tebakan itu pun terus saja beralih dari satu tokoh ke tokoh lainnya.
       Punya keasyikan tersendiri menurut saya. Dengan membaca deskripsi singkat, kita paling tidak menebak siapa sebenar pelaku dalam kasus itu. Dan membaca isi novelnya adalah untuk menghilangkan rasa penasaran kita. Apakah tebakan kita benar adanya. 
        Namun, jujur saja seingatku belum ada satu novelpun karya S. Mara GD yang telah saya baca tuntas. Separoh jalan lebih sedikit paling sering. Tebalnya bukan main. Kalau demikian adanya, saya sering menyudahinya dengan membaca lembar beberapa halaman terakhir. Secepat kilat, kita akan mengetahui siapa yang akan di tangkap oleh sang detektif. 
        Boleh jadi karena sering menerjemahkan maupun membaca novel asing, gaya penulisan S. Mara GD begitu western style.
        

0 Messages:

Posting Komentar

 
;