Selesai.
Burhan alot-alot melihat surat cintanya. Nanti, ia akan memberikannya pada Linda. Di taman penuh bunga warna-warni, tempat mereka selalu bertemu. Semoga saja.
Lalu, lipatan kertas tersebut telah pun tersimpan apik di saku bajunya.
........
Taman penuh bunga warna-warnai, seperti biasa, sepi. Cuma Linda yang ada disana dengan penantian sepenuh hati. Selalu, dia mengenakan pakaian serba putih, kerudung sampai baju terusan yang melekat di tubuhnya. Burhan, entahlah, ia sendiri tidak terlalu memedulikan. Apakah baju yang ia pakai sesuai untuk pertemuan tersebut. Sering kali juga begitu. Siapa yang ambil pusing, toh Linda tak pernah menyinggungnya.
Linda berpaling saat merasa seseorang ada dibelakangnya. Tepat, Burhan diam-diam mengeluarkan amplop biasa dari sakunya. Ia memang tidak pandai untuk urusan beginian. Linda paham, mudah-mudahan.
"Apa ini?"
Burhan menyerahkan kejutannya, kemudian duduk disamping Linda.
"Boleh dibuka?"
Burhan menggeleng. "Nanti saja, dirumah."
Tanpa membantah, Linda menaruhnya hati-hati ke dalam tas tangannya yang juga berwarna putih. Kumbang dan kupu-kupu lalu lalang diantara mereka. Menghisap manisnya madu dan bunga pun merasa ditemani.
Hamparan taman bunga warna-warna seolah tak pernah berujung, keindahannya sejauh mata memandang.
"Bagaimana kabar Bima?'
Linda memecah kesunyian sesaat antara mereka. Burhan hampir muak sebenarnya, kenapa selalu saja pertanyaan itu yang terlontar diawal perjumpaan mereka. Dan tak bermaksud menyakiti hati wanita dihadapannya, ia berucap, "baik-baik saja. Seperti kemarin juga." Seperti kewajiban, kalau pertanyaannya serupa, jawabannya tetap sama.
..........
Malam berikutnya, Burhan kembali duduk di meja kerjanya di kamar. Sejenak saja, karena tubuhnya tak lagi muda. Ia menggurat kata demi kata, berisi ungkapan hati, kalimat penuh cinta. Tak luput, kalimat terakhir yang lelaki itu tulis, "salam rindu."
Lagi, alot-alot Burhan melipat surat cintanya, memasukkannya lagi ke saku bajunya.
.........
Taman bunga warna-warni tetap sepi. Hanya Linda dengan para kumbang dan kupu-kupu, entah bagaimana mereka seolah menyatu. Linda menjadi bidadari disitu.
Linda melepas seekor kupu-kupu ketika Burhan tiba.
"Maaf membuatmu lama menunggu."
Linda rupanya memberikan surat balasan yang kemarin. Amplopnya putih bersih polos. Burhan cepat-cepat, tak sabar hati ingin membacanya, ia pun duduk disamping Linda.
Linda menggeleng. "Nanti di rumah saja."
Merasa kecewa, Burhan setuju.
"Kupu-kupu tadi menanyakan siapa dirimu." Linda bangkit, merapat ke serumpun bunga, menghidu baunya. Tersenyum halus.
"Oh ya, " Burhan pura-pura kaget. Itu pasti bohong, bagaimana mungkin kupu-kupu bisa berbicara.
Linda terdiam.
"Bagaimana kabar Bima?" Ia duduk lagi dengan bunga yang terpetik di tangannya. Berwarna merah, kontras dengan pakaian putih yang ia kenakan.
Itu-itu lagi! Tidak ada pertanyaan lain kah?
"Bima, baik-baik saja. Seperti kemarin juga."
..........
"Bima......."
Burhan memanggil anaknya dari kamar. Bima cepat-cepat datang meski ia sebenarnya harus 'ngantor' segera.
"Ya, bapak. Ada apa?"
"Kamu lihat surat dari ibumu di saku baju bapak."
"Surat? Surat dari ibu?" Bima mengernyit.
Bima menyadari keadaan bapaknya semakin memburuk. Berbagai upaya telah dilakukannya untuk menghibur, jalan-jalan keluar kota, menghabiskan banyak waktu di rumah, sampai menyuruh anak-anaknya bercanda dengan sang kakek. Tetapi semua itu belumlah menutup luka ditinggalkan wafat. Bapaknya, benar-benar terpukul.
Bima tentu saja merasa teramat kehilangan sang bunda. Walau demikian, hidup tetap berlanjut. Orang yang datang akan pergi, yang kita cintai meninggalkan jua.
"Semalam bapak simpan di sini," Burhan meraba saku bajunya. Ada dua lipatan kertas disana. Ia keluarkan, lalu buka pelan-pelan.
CUMA LIPATAN KERTAS KOSONG.
"Benar, kemarin ibumu memberikannya pada bapak. Bapak simpan disini. Tapi ke..na..pa...hi...lang..."
Bima merangkul bapaknya.
(Selesai)
Burhan alot-alot melihat surat cintanya. Nanti, ia akan memberikannya pada Linda. Di taman penuh bunga warna-warni, tempat mereka selalu bertemu. Semoga saja.
Lalu, lipatan kertas tersebut telah pun tersimpan apik di saku bajunya.
........
Taman penuh bunga warna-warnai, seperti biasa, sepi. Cuma Linda yang ada disana dengan penantian sepenuh hati. Selalu, dia mengenakan pakaian serba putih, kerudung sampai baju terusan yang melekat di tubuhnya. Burhan, entahlah, ia sendiri tidak terlalu memedulikan. Apakah baju yang ia pakai sesuai untuk pertemuan tersebut. Sering kali juga begitu. Siapa yang ambil pusing, toh Linda tak pernah menyinggungnya.
Linda berpaling saat merasa seseorang ada dibelakangnya. Tepat, Burhan diam-diam mengeluarkan amplop biasa dari sakunya. Ia memang tidak pandai untuk urusan beginian. Linda paham, mudah-mudahan.
"Apa ini?"
Burhan menyerahkan kejutannya, kemudian duduk disamping Linda.
"Boleh dibuka?"
Burhan menggeleng. "Nanti saja, dirumah."
Tanpa membantah, Linda menaruhnya hati-hati ke dalam tas tangannya yang juga berwarna putih. Kumbang dan kupu-kupu lalu lalang diantara mereka. Menghisap manisnya madu dan bunga pun merasa ditemani.
Hamparan taman bunga warna-warna seolah tak pernah berujung, keindahannya sejauh mata memandang.
"Bagaimana kabar Bima?'
Linda memecah kesunyian sesaat antara mereka. Burhan hampir muak sebenarnya, kenapa selalu saja pertanyaan itu yang terlontar diawal perjumpaan mereka. Dan tak bermaksud menyakiti hati wanita dihadapannya, ia berucap, "baik-baik saja. Seperti kemarin juga." Seperti kewajiban, kalau pertanyaannya serupa, jawabannya tetap sama.
..........
Malam berikutnya, Burhan kembali duduk di meja kerjanya di kamar. Sejenak saja, karena tubuhnya tak lagi muda. Ia menggurat kata demi kata, berisi ungkapan hati, kalimat penuh cinta. Tak luput, kalimat terakhir yang lelaki itu tulis, "salam rindu."
Lagi, alot-alot Burhan melipat surat cintanya, memasukkannya lagi ke saku bajunya.
.........
Taman bunga warna-warni tetap sepi. Hanya Linda dengan para kumbang dan kupu-kupu, entah bagaimana mereka seolah menyatu. Linda menjadi bidadari disitu.
Linda melepas seekor kupu-kupu ketika Burhan tiba.
"Maaf membuatmu lama menunggu."
Linda rupanya memberikan surat balasan yang kemarin. Amplopnya putih bersih polos. Burhan cepat-cepat, tak sabar hati ingin membacanya, ia pun duduk disamping Linda.
Linda menggeleng. "Nanti di rumah saja."
Merasa kecewa, Burhan setuju.
"Kupu-kupu tadi menanyakan siapa dirimu." Linda bangkit, merapat ke serumpun bunga, menghidu baunya. Tersenyum halus.
"Oh ya, " Burhan pura-pura kaget. Itu pasti bohong, bagaimana mungkin kupu-kupu bisa berbicara.
Linda terdiam.
"Bagaimana kabar Bima?" Ia duduk lagi dengan bunga yang terpetik di tangannya. Berwarna merah, kontras dengan pakaian putih yang ia kenakan.
Itu-itu lagi! Tidak ada pertanyaan lain kah?
"Bima, baik-baik saja. Seperti kemarin juga."
..........
"Bima......."
Burhan memanggil anaknya dari kamar. Bima cepat-cepat datang meski ia sebenarnya harus 'ngantor' segera.
"Ya, bapak. Ada apa?"
"Kamu lihat surat dari ibumu di saku baju bapak."
"Surat? Surat dari ibu?" Bima mengernyit.
Bima menyadari keadaan bapaknya semakin memburuk. Berbagai upaya telah dilakukannya untuk menghibur, jalan-jalan keluar kota, menghabiskan banyak waktu di rumah, sampai menyuruh anak-anaknya bercanda dengan sang kakek. Tetapi semua itu belumlah menutup luka ditinggalkan wafat. Bapaknya, benar-benar terpukul.
Bima tentu saja merasa teramat kehilangan sang bunda. Walau demikian, hidup tetap berlanjut. Orang yang datang akan pergi, yang kita cintai meninggalkan jua.
"Semalam bapak simpan di sini," Burhan meraba saku bajunya. Ada dua lipatan kertas disana. Ia keluarkan, lalu buka pelan-pelan.
CUMA LIPATAN KERTAS KOSONG.
"Benar, kemarin ibumu memberikannya pada bapak. Bapak simpan disini. Tapi ke..na..pa...hi...lang..."
Bima merangkul bapaknya.
(Selesai)