Selasa, 07 Januari 2014

In Memory, Salesman Dadakan

Aku pulang ke rumah dengan kardus besar berisi accessories, obat-obat herbal, kerudung, dan pernah-pernik lainnya. Ia kelelahan bukan main. Kuletakkan benda itu di pojok kamar, lalu beranjak ke luar. Menuangkan air putih ke gelas plastik diatas meja dan glek...glek...glek... "Alhamdulillah, nikmatnya," pikirku. Aku pun menyeka keringat, masuk kamar lagi. Sementara di luar, sinar matahari tengah panas-panasnya.
..........

Jum'at entah tanggal berapa, kira-kira di tahun 2009.

"Jam lapan lah ye, Dan."

Setengah tujuh ke rumah Dani, temanku itu belum mandi. Padahal semalam sudah sepakat sebelumnya, jam delapan kami harus sudah hengkang. Mulai aktivitas yang sama sekali asing. Kalau orang-orang perlu pelatihan khusus sebelumnya, justru pelatihan sekaligus praktek yang kami lakoni. Aku tidak berani dan malu melakukannya sendirian, dan Dani menjadi mangsa. Sales door to door, emmm kedengaran menakutkan. Tapi apa boleh buat, duit tersisa cuma lima puluh ribu rupiah. Menyedihkan!

Tinggal di ibu kota provinsi dengan duit sebanyak itu??? Akan kuingat sepanjang hidupku. Itulah kisah yang sampai saat ini bak motivator luar biasa yang pernah ada. Pilihan sulit kuambil sebelum memutuskan untuk menjadi Salesman dadakan. Pertama, langsung pulang kampung membawa kardus tadi dan berjualan disana. Kedua, menjualnya di kampung-kampung pinggir kota Pontianak. Bingung.

Keputusan bulat pada yang kedua. Resiko tak laku dan uang habis buat ongkos bensin terbayang-bayang jelas. Kutepis dan yakinkan diri. Bismillahi tawakkaltu 'alalllah. Aku dan Dani mulai merayap menuju Pal tepat setengah sembilan.

..................
"Sekarang kerja dimana, di?"
Tanya kak Ema tanpa menoleh. Tangannya lihai membetulkan letak kerudung rabbani yang miring pada gantungan. Kak Ema membuka butik dengan berbagai accessories. Disana juga ada sendal-sendal unik. Minyak wangi, stiker dan macam-macam.

"Mmmm belum ade ni, kak."
Setelah mengundurkan diri sebagai admin di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, nasibku mengawang tak jelas. Berniat menyelesaikan skripsi yang tertinggal di komputer, namun perlu biaya hidup yang tidak murah. Untuk ukuran seperti diriku khususnya. Mengharap pasokan uang dari keluarga, aku malu minta ampun. Setelah setahun lebih pasokan itu ditutup.

"Bagaimana kalau bawa barang-barang kakak ni jak. Lumayan lo. Budak-budak pun banyak yang macam tu." Kak ema memotivasi. Melihat celah seseorang bersedia menjualkan barangnya, gadis berjilbab itu menghadapku. Padahal "budak-budak" yang dimaksudnya adalah para akhwat. -_-!

"Mmmm bolehlah, kak."
................
Kata 'boleh' mengawali semengat juang Jum'at pagi. Fizer tanpa mengeluh meski ngos-ngosan, harus menampung dua mahasiswa diatasnya. Membelah kota Pontianak dari arah barat, kami menuju Pal 1, lewat! Pal 2, lewat! Lo...ini ceritanya mau jualan atau jalan-jalan.

"Singgah ke, Dan?"
"Singgah jak, Di?" Dani tak bisa dimintai pertimbangan. Ia mengikut saja.
"Nanti jak lah ye!"

Kerumunan orang seperti monster saja. Seharusnya disanalah kami menggelar jualan. Memperlihatkan dan menawarkannya kemudian. Rasa malu ternyata lebih besar. Menjadi Salesman, sungguh perlu muka tebal luar biasa. Apa boleh buat. Sudah sejauh ini, bensin pun terkuras banyak. Kalau tidak berhasil menjual, esok mau makan apa??? Dani sih enak, dia memang anak Khatulistiwa asli kok.

Memasang muka tembok, menepikan Fizer pada sebuah kios dimana ramai ibu-ibu berkumpul.
"Permisi bu...."
Aduh, apa seharusnya begitu ucapannya?

Untungnya, "ye..." senyuman terlontar dari wajah-wajah itu. Sikap menerima mereka, meredam gejolak dihati kami.

"Ini.....ada bawa barang. Accessories, obat herbal, dan ....... bise di gelar disini ke?"
"Oh, bise lah."

Alhamdulillah....

"Wah, cantik. Mak, beli ni." Seorang bocah perempuan berumur enam tahun mengangkat bando berwarna pink. Bagian atasnya tersemat kupu-kupu plastik berwarna kuning.

"Kalau yang ini berape, bang?"

Pembeli pertama, aku gugup. "Oh, oh itu..... lima belas ribu." Getir kedengarannya.
"Bise kurang agek lah ye?"

"mmm...."

Beberapa saat kemudian, kerumunan semakin banyak. Beberapa kerudung, bros laku terjual. Obat herbal cuma sampai di tanya harga.

"Adek bedua ni dari mane?"

"Pontianak," kate Dani. "Kalau kawan ni dari Sambas."

Sambas, apakah aku bisa pulang kesana???? entahlah.
..........

"Lanjut agek, Dan."

Pengalaman pertama menyesakkan dada. Lega rasanya berhasil melewati masa-masa mendebarkan. Kami melaju lagi bersama Fizer. Beberapa kerumunan kami lewati. Rupanya rasa malu masih mendominasi. Ah, disana saja. Nanti saja, tunggu tak banyak orang....

"Ah, disini saja, Dan."
"Serahlah," kata Dani santai. Dari awal dia memang tak kelihatan malu sama sekali. Pun kalau kau ingin tahu, sebenarnya yang pantas disebut penjual saat itu adalah temanku itu. Aku, anggap saja tukang ojeng.

"Bu..."
Ibu penjual gorengan tak terlalu menanggapi. Deg!

"Ye."

"Ini ada bawa ...." bla-bla-bla. Kata pembukanya kurang lebih dengan sebelumnya.
"Oh," tanggapnya singkat.

Pilah-pilih, ibu itu gak mau lama-lama. Ia mengambil satu buah bros ukuran lumayan besar. Harganya tak lebih dari dua belas ribu. Alhamdullah, lagi.
............

Itulah tempat kedua sekaligus terakhir kami berjualan. Mood menawarkan barang sudah menguap sejak tadi. Kami berdua sepakat pulang saja. Kurang dari lima puluh ribu, bila dihitung habis tuk ongkos jalan saja. Kami berbelok menuju jalan pulang. Membelah perkampungan entah dimana, terdampar disebuah masjid saat shalat Jum'at hendak digelar.

Perjalanan pulang pun berlanjut. Sembarang memilih jalan pintas, sesat pun menjadi lakonan. Bertanya sana-sini, akhirnya sampai juga di ujung Pontianak bagian selatan. Menyeka lelah sejenak, kami berhenti di warung pecal pinggir jalan. Kebetulan perut juga belum terisi. Saat melihat HP, angka dua tertera disana.

Dani luar biasa, sebagai teman. Jadilah disela-sela santap siang dengan uang hasil jualan, kami saling tertawa. Antara seru dan nestapa, menjadi salesman dadakan sehari punya banyak cerita. Enam jam, hanya dua kali menjual. Mau lagi? Mungkin. Tanpa Dani dan area yang berbeda.
............

Tekor. Uang tersisa pas-pasan tuk ongkos bis pulang ke Sambas. Sebelum itu, "nanti aja, Di. sekalian kalau dari Sambas," pesan singkat kak Ema yang melegakan.

Serasa gimana gitu. Alhamdullah tak perlu menyetor dulu, dan adalah uang lebih tuk kembali ke kampung halaman. Meski dengan catatan hutang dikemudian hari.
............

0 Messages:

Posting Komentar

 
;