"Ah, serius!"
 |
ilustrasi |
Arul merangsek ke belakang. Padahal kami sama sekali belum melihat rumah yang dimaksud.
"Kenapa sih!" Bentakku pada Arul.
Yadi memastikan ucapannya. "Sudah ditinggal oleh sepasang penghuninya sejak hampir dua tahun lalu. Suaminya meninggal mendadak dan istrinya menyusul pula tak lama kemudian tanpa sebab."
Arul mulai pucat di belakang. "Kejam kau, di. Masa carikan kami rumah kayak gitu."
"Hey..hey...hey...yang mengajukan anggaran miris siapa. Ada uang ada barang. Masih untung dicarikan!"
Kami terus menyusuri gang Seram. Kata Yadi, calon rumah kontrakan kami tepat berada di ujung. Apa boleh buat. Pasokan dana minim untuk menyewa satu rumah, ya dapatnya cuma sebuah rumah kosong. Terdengar menyeramkan. Mengiyakan sikap Arul, aku mulai berkhayal yang bukan-bukan. Ah.....kuusir perasaan takut seketika.
Yadi menambahkan, "anak perempuan mereka satu-satunya pula sering menghilang tak berkabar. Namun ada beberapa warga mengatakan, pernah melihatnya sesekali. Perempuan itu berkeliaran dengan pakaian kumal."
Aku mulai merinding.
"Cari yang lain saja ya, Soe?" Arul berharap keajaiban.
"Banyak bawa duit??" tanyaku menyindir.
Arul diam.
"Dan sampai sekarang belum ada yang pernah menyewanya. Biasalah, namanya juga rumah kosong."
Langkah kami terus berlanjut. Antar rumah kini jaraknya semakin jarang. Dan Yadi memecah keheningan, "ha, sampai."
Tak seangker yang diceritakan. Kalau boleh dibilang, "lumayan lah." Rumah itu sederhana, tipe empat lima. Dengan cat luar hijau muda, tapi sudah sangat tampak kusam. Halamannya penuh rumput yang berbaur dengan bunga tak terawat. Mmmm, wajar kok.
Yadi maju menghampiri pintu. Tok-tok-tok. "Assalamu'alaikum...."
Tak ada jawaban.
"Lho, katanya rumah kosong. Kenapa mesti ucap salam." Arul heran.
"Iya," tegasku ulang.
Kreeee....t. Gagang pintu berputar. Sejumput rambut panjang menyembul dari balik pintu. Yadi kaget. Sementara aku dan Arul serentak berteriak. "Hantu........"
"He....he...wa'alaikum salam."
Nenek itu mengibaskan rambutnya kebelakang dengan tangannya. Barangkali ia merasa dirinya ambassador sebuah produk sampoo.
Yadi membentak kami dengan suara tertahan, "kalian apa-apaan sih!"
Ia melanjutkan ketika menghadap si nenek misterius kembali, "ini nek teman yang saya katakan kemarin."
Mulutnya mengunyah sesuatu. Bibirnya agak kemerah-merahan. Memang generasi lima puluhan tulen. "Oh, jadi ini anaknya. Silakan masuk. Ukh...ukh... maaf, nenek agak demam."
Kami masih bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.
"Cepat!" Yadi menyadarkan kami pada kenyataan.
...........
Nenek itu adalah adik perempuan almarhum si pemilik rumah yang hendak kami sewa. Disamping itu, beliau juga yang mengurus keponakan perempuannya yang menjadi gila. Semakin berat beban hidupnya, ia belum menemukan jodohnya hingga usia senja seperti itu. Menemukan? ah, ia sudah pasrah tentang yang satu itu.
"Nenek tidak tahu bagaimana nasib Laila sekarang. Kadang ia pulang, kadang tidak. Lagipula nenek tidak mungkin menjemputnya, kan. Mengurus diri sendiri saja susah. Untung-untung kalau Laila betah tinggal dirumah saja. Bisalah kiranya nenek menjaganya sedikit bersih. Ukh...ukh....tidak mengganggu tetangga-tetangga."
Iba juga mendengar penuturan nenek di depan kami. Kesan misterius tetap ada saat kami memasuki rumahnya. Entah bagaimana mendeskripsikannya. Gelap, sedikit bau, dan perabot rumah berserakan dimana-mana.
"Jadi ini rumah yang mau disewakan, nek?" tanya Arul.
Tumben sekali Arul telah menjadi segar bugar. Tadinya takut bukan main.
"Bukan. Kalau ini disewakan, dimana nenek mau tinggal?" jawab si nenek.
"Bukan????" Lagi, aku dan Arul serentak heran.
Yadi pula menunjuk sudut dapur. "Di belakang," ucapnya lebih kepada berbisik.
...........
Wah-wah-wah. Sempurna nian. Ini benar-benar rumah kosong. Kalau seorang produser mau memproduksi film horor, inilah tempat pertama yang paling aku rekomendasikan.
Mataku melebar, demikian pula dengan Arul. Definisi rumah kosong kali ini benar-benar sederhana. Sebuah rumah yang tidak ada sekat sama sekali. Dari pintu depan, langsung menuju pintu dapur. Ada bangunan kecil terpisah dibagian belakang, itu hampir sulit disebut toilet. Oke, baiklah. Kita berdua kan hobi main badminton, sekalian saja kita buat GOR mini.
Dibelakang rumah, Arul menyenggol tubuhku sembari menunjuk ke satu arah, "Soe, lihat itu."
"Apaan?"
Syahdan, ketika aku menoleh, seratus meter dari tempat kami berdiri, tampak jelas jejeran pemakaman. Rimbun pepohonan menjadikan tempat itu agak redup dan sunyi.
"He..itu cuma kuburan lama," nenek merangsek berjalan menuju pintu depan.
"Ku...bu....ran lama?" kami saling pandang.
Yadi merasa tugasnya selesai sampai disini. Barangkali ia berharap kami menerima pilihannya bulat-bulat. Dan sayangnya, kami memang belum ada pilihan lain. Uh....nasib.
..........
"Soe..." Arul yang memilih tidur di tepi dinding menggoyangkan tubuhku. Suaranya ditahan-tahan serendah mungkin.
Saking ngantuknya, aku mengabaikannya.
"Soe....bangunlah. Kau dengar itu?"
Yang kulihat hanyalah sebuah ruangan terhampar dihadapan. Meski sore tadi sempat juga berkhayal disudut sana ada ini, di sudut sini ada itu, namun rasa kantuk mendera setelah shalat Isya dan makan malm. Kerja bersih-bersih debu tadi sore begitu melelahkan. "Apaan..." aku berucap sekenanya.
"Dengar......" Arul mendekat.
Kupasang telinga lebar-lebar. Sayup-sayup terdengar suara tangis seorang perempuan. Aku terjaga saat itu juga. Bulu kudukku mulai berdiri. Tiba-tiba seolah kami tengah terperangkap di rumah hantu.
"Arul....."
"Soe....."
"Cabut................!!!!!"
...........
Laila dengan rambut acak-acakan masih pulas ketika paginya kami pulang ke rumah kosong itu. Ia rupanya berbaring tepat di samping rumah. Kalau diperkirakan, sebenarnya tadi malam jarak kami dengannya hanyalah berbatas dinding.
Walau itu tadi malam suara rintihan Laila, kami memutuskan untuk hengkang dari sana. Berpamit baik-baik pada nenek setelah mengemas pakaian. Beruntung, nenek mau mengembalikan sebagian besar jumlah uang sewaan kami. "Nenek mengerti," katanya saat kami mengutarakan niat.
Syukurlah.