Sabtu, 30 Juni 2012 0 Messages

Lumpuh

    Lumpuh. Itulah kupikir kata yang tepat untuk menyebut kemampuan menulisku sekarang. Meraba-raba dalam kegelapan dan tertatih-tatih dalam melangkah. Seperti itu, tak lebih. 
   Dimulai dari ide yang datang, tak kunjung mampu ku buat dalam sebuah tulisan meskipun singkat. Menyesakkan dan menimbulkan rasa penasaran yang terwujud tuntas. 
     Ketika cek email masuk dari Jonru, ternyata beliau dan salah satu penulis hebat yang disebutkannya dalam newsletternya juga pernah mengalami hal yang sama. Kebuntuan dan seolah menjadi seorang yang sama sekali belum pernah menulis. Istilahnya penulis pemula. Sebabnya, katanya tak lain adalah karena lamanya kita alpa dalam menulis. Dalam waktu yang lama kita tidak berlatih untuk merangkai kata agar menjadi sebuah tulisan. Sehingga sistem menulis, katanya, tidak tertancap di dalam otak kita. 
      Dan setelah ku tahu itu penyebabnya, baru ku teringat bahwa ini bermula ketika aku disibukkan oleh pindah rumah. Memang, kala itu aku jarang, bahkan tidak pernah melatih kemampuan untuk menulis. Hasilnya, sampai sekarang ini, tidak ada tulisan yang bagus telah ku hasilkan. Terutama cerpen dan sejenisnya. 
      Berdasarkan newsletter yang kuterima, solusinya adalah terus menulis. Tentang apapun itu, tentang ketika kita mulai membuka mata dipagi hari sampai ketika mata kita mulai redup untuk berlayar ke alam mimpi. Tuliskan itu. Ya, teorinya mudah. Aplikasinya seharusnya lebih mudah lagi. Kenyataannya aku masih terseok-seok untuk melakukan itu. Walaupun, alhamdulillah mulai terkoneksi sedikit demi sedikit, namun justru kepalaku yang pusing sendiri. 
         
Jumat, 29 Juni 2012 0 Messages

Anak Magang

      Mengembalikan buku ke perpusda, ternyata kena denda juga. Biasanya mereka berbaik hati. Atau gara-gara adanya anak magang dari SMK itu ya..he.. Tapi bagus. Itu artinya peraturan yang mereka (jajaran Perpusda) buat dijalankan dengan baik.
      Eh, tau-taunya 3 orang anak magang yang duduk di kursi pelayanan peminjaman dan pengembalian buku terheran-heran melihat aku. Eitsss, bukannya GR. Mereka antara mengenaliku atau tidak. Baru aku sadar. 
     Ternyata mereka adalah mantan murid lesku dua tahun silam di kampung dulu. Ketika mereka duduk di kelas tiga SMP. Waktu itu, mereka join di program persiapan UAN yang ku buat. Jujur, ketika tengah bersapa ria dengan mereka, otakku berpikir keras mengingat nama-nama mereka. Untungnya, name-tag melakukan kerjanya. Huruf-huruf yang di cetak agak besar dan tebal merangkai nama mereka. Lisawati, Sheila dan satunya, lupa untukku membacanya. 
     Jurusan AP di SMKN 1 Teluk Keramat, Kab. Sambas. Sekolah dimana aku juga mengenyam pendidikan tingkat atas. Bedanya, jurusan yang aku ambil adalah Akuntansi. Bukan hanya mereka, setiap kali melihat siswa maupun mahasiswa magang, aku teringat ketika melakukan hal yang sama. 
    
Kamis, 28 Juni 2012 0 Messages

Ade - Ade Jak

       Mmmm..Ade agek. Kalau di Indonesia, produser perfilman tengah sibuk mengemas makhluk bernama hantu yang akhirnya memunculkan Nenek Gayung dan Kakek Cangkul, di bumi bagian barat sibuk dengan cincin antiperselingkuhan.
       Dibuat dari titanium yang masih tetap akan memberikan bekas ketika cincin itu dilepas, produsen benda tersebut berharap agar cara ini efektif mengurangi tingkat perselingkuhan. Harga yang ditawarkan untuk satu buah, tidak tanggung-tanggung. $550 yang jika di rupiahkan (Rp. 9.000/dollar) adalah Rp. 4.950.000,-.
       Apakah itu sebuah bentuk solusi. Aku tidak yakin.
Rabu, 27 Juni 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Part 14)

      Je lebih tangguh dari yang kukira. Bagaimana tidak, tadi pagi ia membuktikan bahwa dirinya adalah sesosok yang luar biasa. Mahasiswi kebanyakan pasti akan berinisiatif lebih memilih sentimen kepada seorang dosen yang dicap sebagai biang kerok retaknya rumah tangga orang tuanya. Dan Je tidak demikian. Profesionalisme sudah terpatri dalam dirinya. Mampu menempatkan diri pada situasi-situasi yang tidak menguntungkan diri sendiri. Ia berhasil menampik, meskipun untuk beberapa saat, bahwa yang dihadapannya tadi adalah orang yang sangat dibencinya.
     Itu sulit ku percaya, sesulit aku memikirkan bagaimana seorang lelaki hampir botak mengetuk dan berdiri di depan rumahku. Bagaimana mungkin ia bisa mengetahui alamat rumahku. Apa aku telah begitu terkenalnya sehingga siapapun akan dengan mudah untuk mencari dimana aku tinggal. Tidak. Status dosen bukanlah pilihan tepat untuk menjadi terkenal. Atau mungkin kini saatnya telah tiba, ketika sejarah puluhan tahun silam harus terulang kembali. Kehadiran Laras, Jayanti dan kini, Ronald tengah ada dihadapanku. Menjadi tamu dimalam yang ingin kuhabiskan bersama putri semata wayangku. 
     Hadirnya sungguh suatu kejutan. Gemuruh disaat ia "merampas" Laras perlahan-lahan bisa kurasakan kembali. Bedanya hanya satu. Saat itu, aku menyisakan ruang dihatiku untuk calon istrinya. Dan sekarang, gemuruh itu dipenuhi rasa benci. Jujur, aku tidak ingin dia ada disini.  
     Aku masih berdiri, ketika dengan santainya Ronald bertanya apakah ia akan dibiarkan berdiri diluar begitu saja. Tidak disuruh masuk atau semacamnya. "Aku membawa bendera putih." Kata Ronald meyakinkanku ketika mendapati mukaku memberi sinyal penolakan. Ia berucap sambil melemparkan senyum yang masih sama. Senyum yang membuat siswi dulunya, bermimpi menjadi bidadarinya.  
       "Masuk." 
    Aku penasaran dengan apa disebalik bendera putih yang Ronald bawa malam ini. Lucu. Bukankah seharusnya dia datang dengan marah. Bila perlu, sebuah pukulan sebagai salam pertemuan. Bersua dengan seseorang  yang menyebabkan istrinya berpaling darinya. Ini tidak masuk akal. 
       Ronald langsung duduk di kursi tamu. Matanya jeli menatap lekat seluruh sudut ruangan. Dihadapanku, mungkin lebih tepat di benakku, ia berlagak sebagai seorang dekorator saja. Seolah cat ruangan yang biru laut yang tidak cocok dengan lantai berwarna kuning pucat. Atau mungkin tengah menghubungkan antara warna gorden yang hijau muda dengan langit-langit yang warna putihnya hampir hilang. 
        "Apakah ini adat di rumah ini."
        Ronald membuyarkan lamunanku. Melihatku berdiri mematung sementara ia duduk dengan bangganya di kursiku. 
         Aku duduk. "Apa tujuanmu?" Tanyaku datar. 
        "Siapa namanya?"
       Ronald mengalihkan pertanyaannya. Ia menoleh ke arah Hani yang tengah bermain di lantai di depan TV. 
       "Langsung saja." Kataku ketus. 
       "Oh. Mungkin kamu sangat sibuk, ya. Jadi begini."
       Ronald mengubah posisi duduknya. Mencondongkan tubuh mungkin agar suaranya lebih terdengar jelas. 
     "Aku datang kesini untuk mengucapkan terima kasih. Semuanya berjalan begitu lancar atas munculnya kembali kamu ke kehidupan Laras."
     "Apa maksudmu?" Aku bukannya berlagak tidak mengerti. Tapi aku benar-benar tidak mengerti. Ku pikir, tadinya, Ronald datang kesini untuk memberikan peringatan agar menjauhi istrinya. Ternyata tidak. Justru ia berterima kasih kepadaku. Lelucon apa lagi ini?
      Jangan. Ku harap apa yang barusan ku pikirkan tidak benar. Walau kenyataannya, ku sangat tahu bahwa Ronald adalah seorang oportunis. Dan ia sekarang atau telah jauh-jauh hari memanfaatkan aku untuk suatu tujuan yang tidak ku ketahui. Ucapan terima atas tidak ada apa-apa yang kulakukan, memperkuat hal ini.
      "Aku menyesal karena pernah membiarkan hidupmu berantakan. Dan kini, aku ingin menebus semua dosa itu."
        Ronald diam sejenak.
        "Aku tahu kau masih mencintai Laras." Ronald menambahkan sambil menunjukkan muka serius.
     "Jika hanya ingin mengatakan ini, lebih baik kamu pergi sekarang. Seperti dugaan mu tadi. Ya, aku memang sibuk. Apalagi untuk membahas masalah ini. Laras hanyalah sejarah bagiku."
       Aku menelan ludah.
       "Kamu tidak berubah, Ron. Bahkan tidak pernah memikirkan sedikitpun, bagaimana perasaan Je."
       "Kamu juga mengenal Je?"
       "Lebih baik kamu pergi. Sebelum aku memaksamu untuk hengkang dari rumah ini."
       Ronald mengerutkan keningnya sebenar. Lalu, "Ok."
    Ronald pergi membawa banyak ketidakwajaran. Ronald rela melepaskan Laras tanpa ada beban sedikitpun. Apa itu artinya, ada hubungan dengan munculnya Laras setelah meninggalnya Maya. Atau secara tidak langsung Ronald yang memberitahukan alamat rumahku ini pada Laras. Terakhir, Ronald jelas pura-pura tidak mengetahui bahwa aku mengenali Je, anaknya sendiri. Ia pasti sudah tahu. 

Senin, 25 Juni 2012 0 Messages

Dedai Kanan, Kab. Sintang, Juni 2012


Mancing Mania, Mantap. Hanya kebetulan ketika setibanya kami di lokasi pemancingan tepatnya di kolam buatan pasca penambangan emas, seekor Ikan Gabus terkena mata pancing. Bukan punya kami, melain punya buruh penambang emas yang pondoknya tidak jauh dari lokasi sumur itu sendiri. Lumayan besar untuk ukuran seekor gabus di zaman sekarang ini. Luar biasa. Sebelum di berikan kepada pemiliknya, ber-pose dulu dengan itu ikan. Sebagai kenang-kenangan setibanya pulang kembali. 

 Ini keesokan harinya. Di minta oleh kakak untuk memetik buah nenas di kebun. Tak jauh memang dari rumah, tetapi cukup menyenangkan untuk di lewatkan bersama beberapa orang keponakan yang kebetulan tengah menikmati masa liburan sekolah.....

Jumat, 15 Juni 2012 0 Messages

Kopi Terakhir (Part 1)

     "Ada apa?"
     Pertanyaannya lebih kepada sebuah kepasrahan atas penangkapan di hadapannya. Lelaki pensiunan itu baru saja menutup toples biru. Hati-hati disembunyikannya dibelakangnya. Dan setelah terpergoki, cepat-cepat ia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
     "Apa?"
     Lelaki itu kembali bertanya padanya.
     Gadis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia sekuat tenaga untuk tidak memulai pertengkaran di awal hari ini. Masih terlalu pagi, pikirnya. Meskipun sebenarnya ingin sekali melalui setiap hari tanpa pertengkaran, perdebatan dan sejenis itu.
     "Sedikit." Badar mengacungkan telunjuk dan induk jari yang merapat sambil nyengir.
     Betapa bencinya Pari melihat itu. Pikirnya, ayahnya tengah berusaha untuk meraih simpati dirinya.
     Pari masih bungkam.
     "Ini yang terakhir. Ayah janji."
     Janji. Ah, itu sudah terdengar berkali-kali di telinga Pari. Mungkin ayahnya hanya punya kata "ini yang terakhir" untuk berdalih dari kesalahannya. Pernahkah ia berpikir, apa yang dilakukan oleh Pari adalah untuk kebaikan dirinya juga.
     Yang Pari perlukan bukan ungkapan itu, tapi suatu komitmen untuk berubah. Walau bagaimanapun, Badar adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Meskipun pertengkaran sering menghiasi hari-hari mereka, namun ia tetap sayang kepada orang tertangkap basah dihadapannya.
     Pari melangkah meninggalkan ayahnya sendirian di dapur. Daripada amarahnya meluap lebih jauh, lebih baik mempersiapkan diri untuk segera beranjak ke kampus.
     Tak lama kemudian, Badar mendengar pintu depan di tutup, yang menandakan Pari telah pergi. Dan ia sendirian di rumah. Bebas melakukan apa saja yang ia inginkan. Tidak ada dokter, tidak ada Pari di dalam rumah ini. Satu sendok gula tidak akan apa-apa. Pikirnya, semua manusia juga akan mati. Tidak mungkin nyawanya akan melayang hanya gara-gara sesendok teh gula pasir.
     "Pari, Pari. Maafkan ayah. Kamu sih yang terlalu pelit. Memangnya berapa sih satu kilo gula pasir? Gaji pensiun ayah bahkan cukup untuk beli sekarung. Lebih malah."
     Badar berceloteh sendiri sambil memasukkan satu sendok teh gula pasir ke dalam segelas kopi buatan Pari pagi ini. Dicicipinya dan ia menelan-nelan ludah. "Kurang manis." Katanya kemudian.
    "Dan ini untuk pak Dokter Herdi." Tambahnya lagi sembari kembali memasukkan gula ke dalam gelasnya. Tetapi takaran yang kedua ini lebih sedikit. "Kalau ada apa-apa tinggal panggil dokter. Selesai. Mudah kan Pari?"
    Badar terkekeh sambil melangkah menuju ruang tamu. TV yang ditinggalkannya sambil mengendap-endap ke dapur tadi masih terus menyala. Masih acara yang sama, berita pagi.
*******
    "Orang tua memang begitu." Sandi menenangkan. 
    "Tapi aku takut sesuatu yang buruk menimpanya. Jika aku lembek, ayah akan semakin menjadi. Mungkin dia lupa peristiwa hari itu. Dan berapa lama ia terbaring dirumah sakit."
    "Atau ingatannya memang sudah mulai ada masalah?" Sandi bercanda.
    Pari cemberut. Bukan saatnya untuk bergurau tentang itu. "Aku serius."
    "Oke,oke."
    "Bagaimana kalau mengganti gulanya dengan yang berkalori rendah? Itu lebih aman, kan?"
    "Sudah ku coba. Bahkan ia sembunyi-sembunyi memasukkan dua, kadang tiga sachet sekaligus."
    "Gila..."
  Lalu lalang mahasiswa menjadi pemandangan mereka berdua yang sedang duduk di bangku taman. Dibawah pohon beringin tua yang berumur puluhan tahun. Di samping dan belakang mereka juga terdapat belasan bangku kosong. hanya dua yang tidak terisi. Bisik-bisik dan tawa lepas mahasiswa lainnya di dekat mereka tidak mampu mengalihkan pikiran Pari. Dan Sandi juga ikut nimbrung dalam pemikiran tersebut.
    "Mahasiswa baru." Paru menutup kebisuan diantara mereka.
    "Mana?" Pari mendongakkan kepala lebih tinggi. Padahal ia sendiri bingung atas pemberitahuan yang baru saja di dengarnya. Bukankah mahasiswa memang tengah berkeliaran banyak di depan mereka. Lalu kenapa Sandi memberitahunya ulang.
    "Berblazer hitam itu." Sandi menunjukkan dengan memonyongkan mulutnya.
    "Oh ya? Siapa namanya. Jurusan Biologi juga.?"
    "Bukan. Katanya anaknya cerdas. Jurusan Bahasa Indonesia. Dengar-dengar asalnya dari Padang."
    Sebenarnya Pari ingin mengucapkan terima kasih atas informasi berharga itu. Tapi niatnya urung ketika menyimpulkan bahwa Sandi hanya ingin mencoba mengalihkan perhatiannya. "Tapi aku lebih cerdas." Tegasnya dalam hati.
     "Lihat"
    Pari menoleh ke belakang kalau-kalau ada seseorang melambai tengah memanggil gadis yang baru saja mereka bicakan. Tidak ada satu pun. Para mahasiswa itu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Pandangan Pari kembali ke pada gadis berblazer hitam tersebut. Langkah mahasiswa asal pulau Sumatera itu jelas semakin mendekati mereka. Perlahan segurat senyum terulas di mulutnya dengan malu-malu ketika jarak mereka semakin dekat. Dan semakin melebar ketika jarak mereka benar-benar tinggal satu meter.
     Ia menyodorkan tangan kanannya, "saya Mayang, kak. Kak Parina Winda, kan?"
    Tangan itu masih menggantung menunggu dijabati oleh Pari. Pandangan Pari antara tangan itu dan raut muka Mayang. Kenalan barunya. Bukan. Gadis yang baru saja memperkenalkan diri.
     "Ya. Saya Pari." Akhirnya Pari menjabat tangan Mayang. Sementara Sandi merasa kurang lengkah jika Mayang hanya memperkenalkan diri pada Pari. Bagaimana dengan dirinya. "Aku Sandi." Sambil mengangkat tangannya untuk dijabat oleh Mayang.
     "Maaf." Mayang merapatkan kedua telapak tangannya di dada.
    "Oh ya." Sandi mengumpati dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berpikir lebih jauh. Seharusnya ia berpikir lebih waras dengan melihat penampilan Mayang. Berjilbab lebar putih dengan blazer hitam yang sama sekali tidak ketat. Dan juga rok yang mengembang. Tidak membentuk tubuhnya sekalipun. Itu ciri-ciri mereka....
Ya, aktivis dakwah. Ingin saja ia beranjak dari situ.
    "Ku dengar kak Pari baru saja memenangkan sayembara novel. Benarkah? Aku ingin belajar banyak tentang menulis, kak."
      "Biasa saja. Tidak perlu berlebihan seperti itu. Setiap kita memang punya bakat untuk menulis. Hanya saja, apakah kita benar-benar telah mengasahnya hingga menjadi sebuah karya. Saya juga tidak menyangka jika menyabet juara itu. Alhamdulillah. Lumayan sebagai motivasi untuk berkarya lebih jauh."
       Kesungguhan dan kekaguman tampak dimuka Mayang. Setiap kata yang terucap dari mulut Pari seolah sebuah mantra. Baik-baik ia cerna dalam hati kemudian untuk dijadikan sebuah paradigma. Dan paradigma itulah nantinya yang akan dijadikannya sebagai sebuah motivator yang senantiasa hidup didalam hatinya.
      Merasa di nafikan, Sandi bergeser ke kursi lain. "Silakan." Tawarnya kemudian setelah melihat Mayang yang sedari tadi berdiri.
      "Terima kasih, kak" Mayang duduk disamping Pari. Kembali seolah menjadi tameng yang mengaburkan keberadaan Sandi di sana.
      "Tidak sabar rasanya ingin membaca karya kakak itu. Kapan naik cetaknya?"
      "Insya Allah bulan depan sudah bisa di konsumsi." Balas Pari.
      "Wah..."
      Sebuah panggilan masuk di HP Mayang. Cepat-cepat ia merogoh saki di roknya. "Assalamu'alaikum..." Mayang berdiri lalu berjalan agak menjauh setelah sebelumnya meminta izin.
      "Mayang, Padang." Benak Pari berkata. Di tatapnya lekat-lekat Mayang yang tengah berbicara dengan perlahan. Sesekali gadis berjilbab itu memanggung. Dan berulang-ulang mengatakan "ya". Tak lama, hubungan terputus.
      "Maaf kak, saya harus pergi sekarang."
      "Silakan."
      Mayang menjauh.
      "Aku mencintainya." Kata Pari tiba-tiba.
      "Apa? Kamu mencintai Mayang. Ku kira..." Mata Sandi terbelalak.
      "Yang kumaksud ayahku."
      "Jadi, pembicaraan kita masih tentang ayahmu?"
      "Aku takut jika aku tidak lagi bersamanya. Didekatnya."
      Sandi mendekat. Duduk dimana Mayang duduk tadi. "Kamu tidak akan pergi kemana-mana."
     "Ya, aku ingin siapapun yang menjadi pendampingku nanti bisa menerima kehadirannya. Menerima ku berarti juga harus menerima ayah."
       Ini kesempatan, pikir Sandi. "Aku" Ia menegaskan hanya dirinya yang pantas untuk Pari. Selain sudah kenal gadis di sampingnya sudah cukup lama, ia juga sering berinteraksi dengan pak Badar. Dimatanya ayah Pari bukanlah sosok yang harus di hindari.
       "Kamu?" Pari meledek sambil mengerutkan kening.
       "Shalat subuh aja pukul enam. Bagaimana mau memberi makan anak istri."
       Sandi keok. "E...setiap orang bisa berubah. Begitu juga aku."
       "Paham." Tanggap Pari Singkat.
    Kembali Pari memasang wajah muram. Tinggal Sandi yang limpung sendiri mencari kata-kata untuk mengusir rasa di hati Pari.
     Pari berdiri dengan tiba-tiba. Berniat ingin meninggalkan taman itu segera. Namun tubuhnya terduduk kembali. Kepalanya menunduk ke tanah. Sementara Sandi cemas melihat adegan di hadapannya. Apa gerangan yang terjadi baru saja. Berdiri, lalu duduk. Dan sekarang Pari tertunduk sambil memegangi kepalanya.
       "Pari, kamu tidak apa-apa." Tanya Sandi
       Sambil terisak, Pari menjawab. "Aku mencintai dan menyayanginya, meskipun mungkin dia tidak tahu."
******
       Insya Allah next (Part 2-End)
     

          

     
Jumat, 15 Juni 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 13)

    Perjalanan menuju kampus, aku disuguhi oleh orasi mahasiswa yang merasa generasi paling bija di bundaran UNTAN. Ah, itulah masa-masa idealisme seseorang. Seperti teman-teman ku kala itu. Koar-koar mereka menuntut para anggota dewan agar turun saja dari statusnya sebagai wakil rakyat. Itu karena "mereka" yang dituding telah lumpuh untuk mengemban amanah tersebut.
    Namun aku hampir saja tertawa terpingkal ketika akhir-akhir ini sering kulihat wajahnya terpampang besar di baleho di hampir setiap sudut di kota ini. Jabatannya persis sama, anggota dewan. Dan hari ini, mahasiswa yang punya idealisme tinggi tengah menuntutnya akan umbaran janji-janjinya ketika kampanye dulu. Bahkan yang lebih ironis, dalam perjalananku tadi, ku lihat beberapa foto dirinya di bakar di atas aspal. Dan foto lainnya menggambarkan wajahnya yang bermetamorfosis menjadi seekor hewan pengerat. Tikus.
    Belum cukup sampai disitu rupanya. Perpolitikan di negeri ini sudah sangat "demokrasi"nya. Mahasiswa-mahasiswa punggawapun merasa pantas untuk menduduki jabatan BEM. Ketua di seantoro mahasisiwa se kampus hijau. Foto-foto tiga pasang kandidat menyambut kedatangan siapa saja yang ingin memasuki areal kampus. Semuanya beralmamater kebesaran, biru tua. Nomor urut 1 sampai 3 tertulis besar diantara masing-masing calon ketua dan wakil ketua BEM.
    Sabtu ini, ku pikir. Ya, pesta demokrasi kampus tersebut akan di helat pada hari Sabtu minggu ini. Itu artinya sekarang adalah masa-masa kampanye para kandidat. Dulu, seingatku ketika aku masih berstatus mahasiswa, saat-saat seperti ini adalah masa dimana kandidat maupun tim suksesnya tengah merumuskan rencana terbaik hingga yang ke yang sedikit agak liar. Mereka menyebutnya sebagai strategi pemenangan. Apa pun itu namanya, ujung-ujungnya bujuk rayu dan jalan belakang juga nantinya yang mereka tempuh. Memang tidak seperti para politikus sekarang yang menggelontorkan "sedikit" dari uangnya untuk kemenangan. Generasi emas bernama mahasiswa tersebut  menggunakan tameng jurusan sebagai hitung-hitungan potensi kemenangan. Biasanya, otomatis pemilih akan memilih kandidat yang berasal dari jurusan yang sama dengannya. Namun bisa saja, ada beberapa pemilih yang membelot. Itu sangat kecil persentasenya. Intinya, kemenangan akan berada di tangan kandidat yang memiliki pemilih terbanyak. Kolaborasi antara jurusan dan juga penokohan sosok calon pemimpin di kampung juga yang akan menjadi patokan utama.
    Aku menghela nafas dalam. Tidak mau memikirkan perkara itu lebih jauh. Tugas ku sini adalah untuk mengajar. Melaksanakan tugas negara yang telah mengangkatku sebagai pegawainya. Ya, mengajar, membimbing mahasiswa.....
    Oh, hari ini?. Rabu, pukul 10 pagi. Setelah memarkirkan sepeda motor, bergegas aku menuju ruang jurusan. Bukan jam mengajar yang lima belas menit akan datang yang ku kejar. Aku ingin memastikan, apakah Je tengah menunggu di sana. Ku berpikir skeptis. Gadis itu tidak mungkin akan menepati janjinya hari ini pasca bencana minggu sore lalu. Ku percepat langkah kakiku.
    Supaya lebih cepat, ku pilih jalur pintu utama di samping bagian akademik. Disana, kutemukan mahasiswa berkerumun tengah mencatat jadwal ujian semester. Saling berjejal-jejalan antara laki-laki dan perempuan. Seolah mereka takut untuk kehilangan tempelan kertas di dinding kaca itu. Ku berhenti sejenak.
    Lalu melangkah lagi sambil mengucapkan, "permisi."
    Beruntung mereka merespon dan membuat lorong untukku lewat diantaranya. Tak lupa, sebagai apresiasiku, ku ucapkan terima kasih. Kakiku pun kembali melangkah dengan gesit.
    Dan.....
    Aku salah. Memang tidak ada sms maupun panggilan masuk di HP ku yang bersumber dari Je. Namun ia tengah membiarkan pikirannya mengawang-awang. Sesuatu yang tampak sangat berat sedang dipikirkannya. Mungkin saja Je sedang berlatih untuk menguasai diri ketika berhadapan denganku. Memilah dan memilih antara akademik dan masalah pribadi. Jika itu benar, aku acungkan jempol buatnya. Atau mungkin Je juga menghafal kata-kata agar dalam prosesi konsultasi nanti tidak menyinggung sama sekali tentang sore itu.
    "Hai Je. Sudah lama?"
    Je sedikit terkejut. Rohnya kembali ke dalam tubuhnya, sepertinya. Setelah mengembara entah kemana.
    "Baru saja." Je menjawab singkat. Dan jelas itu bohong. Seperti diriku dulu yang tengah menunggu sang dosen ketika ingin berkonsultasi hingga "kusut". Baru sajanya itu relatif bagi mahasiswa.
    "Ayo."
Next, Insya Allah
Selasa, 05 Juni 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 12)

   "Si bungsu."
Bang Bakar memilih kantin lesehan di jalan Perdana. Ia sedikit memaksa tadi. Aku mengikut saja.
   "Wah, jodohku telat malah, bang." Aku terdiam kemudian. Gelayut bayangan Maya dibenakku.
   "Kemarin wisudanya. Jadi kemungkinan besok sudah harus pulang. Sapi dan kambing-kambing dirumah pasti  berteriak histeris. Maklum. Jatah mereka harus berkurang selama kepergianku." Bang Bakar bercanda.
   "Mantap itu bang. Suatu saat, aku ingin mengajak Hani kesana. Ia pasti senang." Tukas ku
   "Anakmu itu namanya Hani. Oh ya, istrimu orang mana?"
   Kembali. Jeda sejenak. Ku mencoba menepis kegundahan yang tiba-tiba menghampiri. "orang sini, tetapi Allah lebih sayang kepadanya. Ia telah pergi."
   Tatapan bang Bakar mengarah ke mataku. Aku tahu apa itu artinya. Sebuah ungkapan belasungkawa. Turut merasakan apa yang aku rasa. Jodoh yang telat datang, harus berpagi-pagi dijemput pergi. Bagi siapapun akan terasa sulit.
   "Aku paham perasaanmu, Ko. Aku turut berduka."  
   Pelayan datang dengan Soto dan Bakso. Juga dalam baki yang sama, ada es teh dan es jeruk.
   Ku berusaha agar tidak merusak pertemuan kami tersebut dengan kisahku, aku langsung melalap Bakso tadi. Begitu juga dengan Bang Bakar.
******
Benar kate penulis lainnya, tulisan yang  lama  terbengkalai akan kehilangan  ruhnya ketika kita ingin melanjutkannya lagi...begitu juga dengan kisah ini. Aku harus menyelami episode sebelumnya terlebih dahulu. 
=Insya Allah bisa dilanjutkan lagi dalam waktu dekat=
   
 
;