Pertanyaannya lebih kepada sebuah kepasrahan atas penangkapan di hadapannya. Lelaki pensiunan itu baru saja menutup toples biru. Hati-hati disembunyikannya dibelakangnya. Dan setelah terpergoki, cepat-cepat ia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
Lelaki itu kembali bertanya padanya.
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia sekuat tenaga untuk tidak memulai pertengkaran di awal hari ini. Masih terlalu pagi, pikirnya. Meskipun sebenarnya ingin sekali melalui setiap hari tanpa pertengkaran, perdebatan dan sejenis itu.
"Sedikit." Badar mengacungkan telunjuk dan induk jari yang merapat sambil nyengir.
Betapa bencinya Pari melihat itu. Pikirnya, ayahnya tengah berusaha untuk meraih simpati dirinya.
Pari masih bungkam.
"Ini yang terakhir. Ayah janji."
Janji. Ah, itu sudah terdengar berkali-kali di telinga Pari. Mungkin ayahnya hanya punya kata "ini yang terakhir" untuk berdalih dari kesalahannya. Pernahkah ia berpikir, apa yang dilakukan oleh Pari adalah untuk kebaikan dirinya juga.
Yang Pari perlukan bukan ungkapan itu, tapi suatu komitmen untuk berubah. Walau bagaimanapun, Badar adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Meskipun pertengkaran sering menghiasi hari-hari mereka, namun ia tetap sayang kepada orang tertangkap basah dihadapannya.
Pari melangkah meninggalkan ayahnya sendirian di dapur. Daripada amarahnya meluap lebih jauh, lebih baik mempersiapkan diri untuk segera beranjak ke kampus.
Tak lama kemudian, Badar mendengar pintu depan di tutup, yang menandakan Pari telah pergi. Dan ia sendirian di rumah. Bebas melakukan apa saja yang ia inginkan. Tidak ada dokter, tidak ada Pari di dalam rumah ini. Satu sendok gula tidak akan apa-apa. Pikirnya, semua manusia juga akan mati. Tidak mungkin nyawanya akan melayang hanya gara-gara sesendok teh gula pasir.
"Pari, Pari. Maafkan ayah. Kamu sih yang terlalu pelit. Memangnya berapa sih satu kilo gula pasir? Gaji pensiun ayah bahkan cukup untuk beli sekarung. Lebih malah."
Badar berceloteh sendiri sambil memasukkan satu sendok teh gula pasir ke dalam segelas kopi buatan Pari pagi ini. Dicicipinya dan ia menelan-nelan ludah. "Kurang manis." Katanya kemudian.
"Dan ini untuk pak Dokter Herdi." Tambahnya lagi sembari kembali memasukkan gula ke dalam gelasnya. Tetapi takaran yang kedua ini lebih sedikit. "Kalau ada apa-apa tinggal panggil dokter. Selesai. Mudah kan Pari?"
Badar terkekeh sambil melangkah menuju ruang tamu. TV yang ditinggalkannya sambil mengendap-endap ke dapur tadi masih terus menyala. Masih acara yang sama, berita pagi.
"Tapi aku takut sesuatu yang buruk menimpanya. Jika aku lembek, ayah akan semakin menjadi. Mungkin dia lupa peristiwa hari itu. Dan berapa lama ia terbaring dirumah sakit."
"Atau ingatannya memang sudah mulai ada masalah?" Sandi bercanda.
Pari cemberut. Bukan saatnya untuk bergurau tentang itu. "Aku serius."
"Oke,oke."
"Bagaimana kalau mengganti gulanya dengan yang berkalori rendah? Itu lebih aman, kan?"
"Sudah ku coba. Bahkan ia sembunyi-sembunyi memasukkan dua, kadang tiga sachet sekaligus."
"Gila..."
Lalu lalang mahasiswa menjadi pemandangan mereka berdua yang sedang duduk di bangku taman. Dibawah pohon beringin tua yang berumur puluhan tahun. Di samping dan belakang mereka juga terdapat belasan bangku kosong. hanya dua yang tidak terisi. Bisik-bisik dan tawa lepas mahasiswa lainnya di dekat mereka tidak mampu mengalihkan pikiran Pari. Dan Sandi juga ikut nimbrung dalam pemikiran tersebut.
"Mahasiswa baru." Paru menutup kebisuan diantara mereka.
"Mana?" Pari mendongakkan kepala lebih tinggi. Padahal ia sendiri bingung atas pemberitahuan yang baru saja di dengarnya. Bukankah mahasiswa memang tengah berkeliaran banyak di depan mereka. Lalu kenapa Sandi memberitahunya ulang.
"Berblazer hitam itu." Sandi menunjukkan dengan memonyongkan mulutnya.
"Oh ya? Siapa namanya. Jurusan Biologi juga.?"
"Bukan. Katanya anaknya cerdas. Jurusan Bahasa Indonesia. Dengar-dengar asalnya dari Padang."
Sebenarnya Pari ingin mengucapkan terima kasih atas informasi berharga itu. Tapi niatnya urung ketika menyimpulkan bahwa Sandi hanya ingin mencoba mengalihkan perhatiannya. "Tapi aku lebih cerdas." Tegasnya dalam hati.
"Lihat"
Pari menoleh ke belakang kalau-kalau ada seseorang melambai tengah memanggil gadis yang baru saja mereka bicakan. Tidak ada satu pun. Para mahasiswa itu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Pandangan Pari kembali ke pada gadis berblazer hitam tersebut. Langkah mahasiswa asal pulau Sumatera itu jelas semakin mendekati mereka. Perlahan segurat senyum terulas di mulutnya dengan malu-malu ketika jarak mereka semakin dekat. Dan semakin melebar ketika jarak mereka benar-benar tinggal satu meter.
Ia menyodorkan tangan kanannya, "saya Mayang, kak. Kak Parina Winda, kan?"
Tangan itu masih menggantung menunggu dijabati oleh Pari. Pandangan Pari antara tangan itu dan raut muka Mayang. Kenalan barunya. Bukan. Gadis yang baru saja memperkenalkan diri.
"Ya. Saya Pari." Akhirnya Pari menjabat tangan Mayang. Sementara Sandi merasa kurang lengkah jika Mayang hanya memperkenalkan diri pada Pari. Bagaimana dengan dirinya. "Aku Sandi." Sambil mengangkat tangannya untuk dijabat oleh Mayang.
"Maaf." Mayang merapatkan kedua telapak tangannya di dada.
"Oh ya." Sandi mengumpati dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berpikir lebih jauh. Seharusnya ia berpikir lebih waras dengan melihat penampilan Mayang. Berjilbab lebar putih dengan blazer hitam yang sama sekali tidak ketat. Dan juga rok yang mengembang. Tidak membentuk tubuhnya sekalipun. Itu ciri-ciri mereka....
Ya, aktivis dakwah. Ingin saja ia beranjak dari situ.
"Ku dengar kak Pari baru saja memenangkan sayembara novel. Benarkah? Aku ingin belajar banyak tentang menulis, kak."
"Biasa saja. Tidak perlu berlebihan seperti itu. Setiap kita memang punya bakat untuk menulis. Hanya saja, apakah kita benar-benar telah mengasahnya hingga menjadi sebuah karya. Saya juga tidak menyangka jika menyabet juara itu. Alhamdulillah. Lumayan sebagai motivasi untuk berkarya lebih jauh."
Kesungguhan dan kekaguman tampak dimuka Mayang. Setiap kata yang terucap dari mulut Pari seolah sebuah mantra. Baik-baik ia cerna dalam hati kemudian untuk dijadikan sebuah paradigma. Dan paradigma itulah nantinya yang akan dijadikannya sebagai sebuah motivator yang senantiasa hidup didalam hatinya.
Merasa di nafikan, Sandi bergeser ke kursi lain. "Silakan." Tawarnya kemudian setelah melihat Mayang yang sedari tadi berdiri.
"Terima kasih, kak" Mayang duduk disamping Pari. Kembali seolah menjadi tameng yang mengaburkan keberadaan Sandi di sana.
"Tidak sabar rasanya ingin membaca karya kakak itu. Kapan naik cetaknya?"
"Insya Allah bulan depan sudah bisa di konsumsi." Balas Pari.
"Wah..."
Sebuah panggilan masuk di HP Mayang. Cepat-cepat ia merogoh saki di roknya. "Assalamu'alaikum..." Mayang berdiri lalu berjalan agak menjauh setelah sebelumnya meminta izin.
"Mayang, Padang." Benak Pari berkata. Di tatapnya lekat-lekat Mayang yang tengah berbicara dengan perlahan. Sesekali gadis berjilbab itu memanggung. Dan berulang-ulang mengatakan "ya". Tak lama, hubungan terputus.
"Maaf kak, saya harus pergi sekarang."
"Silakan."
Mayang menjauh.
"Aku mencintainya." Kata Pari tiba-tiba.
"Apa? Kamu mencintai Mayang. Ku kira..." Mata Sandi terbelalak.
"Yang kumaksud ayahku."
"Jadi, pembicaraan kita masih tentang ayahmu?"
"Aku takut jika aku tidak lagi bersamanya. Didekatnya."
Sandi mendekat. Duduk dimana Mayang duduk tadi. "Kamu tidak akan pergi kemana-mana."
"Ya, aku ingin siapapun yang menjadi pendampingku nanti bisa menerima kehadirannya. Menerima ku berarti juga harus menerima ayah."
Ini kesempatan, pikir Sandi. "Aku" Ia menegaskan hanya dirinya yang pantas untuk Pari. Selain sudah kenal gadis di sampingnya sudah cukup lama, ia juga sering berinteraksi dengan pak Badar. Dimatanya ayah Pari bukanlah sosok yang harus di hindari.
"Kamu?" Pari meledek sambil mengerutkan kening.
"Shalat subuh aja pukul enam. Bagaimana mau memberi makan anak istri."
Sandi keok. "E...setiap orang bisa berubah. Begitu juga aku."
"Paham." Tanggap Pari Singkat.
Kembali Pari memasang wajah muram. Tinggal Sandi yang limpung sendiri mencari kata-kata untuk mengusir rasa di hati Pari.
Pari berdiri dengan tiba-tiba. Berniat ingin meninggalkan taman itu segera. Namun tubuhnya terduduk kembali. Kepalanya menunduk ke tanah. Sementara Sandi cemas melihat adegan di hadapannya. Apa gerangan yang terjadi baru saja. Berdiri, lalu duduk. Dan sekarang Pari tertunduk sambil memegangi kepalanya.
"Pari, kamu tidak apa-apa." Tanya Sandi
Sambil terisak, Pari menjawab. "Aku mencintai dan menyayanginya, meskipun mungkin dia tidak tahu."
******
Insya Allah next (Part 2-End)