“Angin,
adakah kau disana?, Burung, apa kau mendengar ku?, daun, ulat, semut,
kupu-kupu, ranting, masihkah kalian mendengarku? Ada yang ingin ku sampaikan. Sebuah
kesedihan. Kesedihan terakhir.”
Tiada sebarang suara, bahkan
untuk suara kesunyian.
“Tapi jika kalian tidak mau, aku
tidak bisa memaksa.”
“Aku disini.”
Seekor kupu-kupu hitam berbintik
biru cerah menghampiri.
“Ada apakah gerangan wahai anak muda?”
Dari lubang kecil, muncul semut
hitam. Kecil.
“Berita sedih apa? Apakah
teman-teman manusia mu menyakitimu?”
“Hey ulat, jangan terus memakan
tubuhku!. Cari daun yang lebih tua di sana !”
“Aku suka daun muda.”
Daun dan ulat bersamaan menyapa
ku. “Kami juga di sini.”
“Jangan lupakan aku yang selalu
menjadi tempat mu mengaitkan badan, daun!” Sang ranting merasa dipinggirkan.
“Aku masih kuat untuk jatuh ke tanah” Ujarnya kemudian.
“Syukurlah.” Ucapku membatin.
Tapi dimana burung?
Angin
menyemburkan hawa segar kepada kami. Kulihat muka mereka. Larut dalam sedih dan
khawatir. Berita apakah gerangan yang ingin ku katakan. Ku pejamkan mata
sejenak. Ku ingin angin memdekap tubuhku. Aku tidak tahu harus dari mana
memulainya. Aku ingin menunggu burung untuk mengawali ceritaku. Tapi mereka
semua tidak sabar, tidak sabar akan sebuah perpisahan yang tidak mungkin mereka
inginkan. Aku merangkai kata demi kata.
……………….
Tak
mudah bagi ibu. Sepeninggal ayah 2 bulan yang lalu, memberatkannya. Tapi ibu
bukan perempuan yang mudah menyerah. Uang pensiun almarhum sedikit membantu
penghidupan kami. Tapi sangat kurang untuk keperluan gizi. Single parent ibu
lakoni dengan keikhlasan.
Beranak
rapat sejak pernikahan, dua tahun sekali. Bagi ibu dan ayah banyak anak, banyak
berkah. Empat adik dibawahku. Aisyah, delapan tahun. Fathimah, 6 tahun. Ahmad,
4 tahun dan si bungsu Salima 2 tahun. Tak jarang memang ibu kewalahan mengurusi
kami. Apalagi saat ini. Pernah Kakak kandung ayah ingin mengadopsi salah satu
dari kami, terkecuali aku, sebulan lalu. Karena, bibi, tidak punya zuriat. Ibu
tidak sanggup untuk melepas kami.
“Dijah, kami tahu kamu sangat
menyayangi anak-anakmu. Tapi maksud kami hanya untuk meringankan beban mu” ujar
bibi dan paman kurang lebih begitu juga. Tapi ibu bersikukuh.
Sebagai
anak tertua dan laki-laki aku sepatutnya bisa membantu ibu. Tapi aku terlalu
istimewa di mata ibu. “Kamu anak yang hebat, lam.” Kata ibu ketika tengah
mengajari ku menulis. Semampu yang aku bisa, tetap ingin membantunya. Mencuci
baju, karena aku punya tangan. Dan menjaga adik bungsu ketika ibu memasak dan
membuat juadah jualan. Tapi ketika Salima menangis. Aku tidak bisa membujuknya.
Juga pergi berbelanja di warung mesti dengan catatan kecil yang ibu tuliskan.
Dan Mak Ngah sudah hafal akan hal itu.
Ku
lihat sering ibu tersenyum kepadaku. Entah apa yang tengah dipikirnya. Apakah
bangga atau sekedar ingin membesarkan hatiku. Yang kutahu ibu tulus
menyayangiku dan juga adik-adikku.
………………..
Ku
gedor pintu Mak Ngah di samping rumah di tengah malam itu. Menyeruak rambut
kusut terlebih dahulu, baru tampak wajahnya. Seorang laki-laki dengan mulut
menguap di belakangnya. Pak Ngah. Rambutnya juga kusut, tapi tidak ketara
karena pendek.
Ku
letakkan punggung tanganku ke keningku sendiri. Ku lanjutkan dengan mempertemukan
kedua telapak tangan, dan meletakkannya di pipi kiri sambil kepala dimiringkan
juga kearah kiri. Belum tuntas, ku simpan jari-jemariku merapat di dada. Lalu
menunjuk kearah rumah.
“Ibu mu sakit, lam?”
Aku mengangguk. Mak Ngah bergegas
langsung keluar dan menuju rumah segera bersamaku. Pak Ngah masuk kedalam lagi.
“Ibu pergi dulu, bapak menyusul sebentar lagi.” Katanya kemudian.
Tadi
kudengar ibu mengigau. Ku hampiri dia. Igauannya mengandung kegelisahan.
Anggota tubuhnya kedinginan. Ku betulkan selimutnya. Tapi ibu menggigil. Aku
meniru apa yang ibu lakukan dulu sewaktu aku juga menggigil demam. Menyentuhkan
jari ke dahinya. Panas. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Mak Ngah
melintas di pikiranku.
“Demam mu tinggi
sekali, jah. Beruntung Salam membangunkan kami. Kami tidak tahu jika keadaanmu
ini terus dibiarkan sampai pagi” kata Mak Ngah tengah mengompres ibu. Pak Ngah
pun datang. Berucap salam.
“Maaf Ngah Lela, Ngah Dul, saya
sudah menyusahkan malam-malam begini.” Pinta mak kepada sepasang pengantin lama
tersebut. Pak Ngah dan Mak Ngah hanya tinggal berdua di rumahnya. Anaknya sudah
berumah tangga semua. Dan semuanya tidak tinggal serumah dengannya. Mak Ngah
kesehariannya menjaga warung kelontong. Dan Pak Ngah masih menguatkan diri
untuk berkebun. Tidak bekerja pun mereka bisa hidup. Uang kiriman dari 5
anaknya terus mengalir. “Kami capai duduk-duduk dirumah.” Jawab mereka ketika
ayah menanyakan kenapa mereka masih saja bekerja di usia tua dulu.
“Ngah
pamit dulu ya, Jah. Lam kalau perlu bantuan nanti, langsung kerumah saja ya.”
Mak dan Pak Ngah pamit. “Jaga ibu baik-baik ya, lam.” Lanjut Pak Ngah kemudian.
Aku mengangguk.
“Sekali lagi terima kasih Ngah”
ucap ibu lagi. Yang dimintai hanya tersenyum. Rasa kantuk sudah tidak ada lagi.
Dua sosok yang sudah kuanggap seperti kakek dan nenek itu berjalan membelakangi
kami. Membuka pintu yang mengatup tak terkunci dan menghilang disebaliknya
kemudian.
………………..
Dulu,
sewaktu usiaku 5 tahun lebih, Ibu mengantarku mendaftar di SD di kampung. Waktu
itu ibu masih terlihat jauh lebih muda. Hari sebelumnya ibu dan ayah berdebat
sengit tentang pendaftaran itu.
“Jah, sudahlah. Mana mungkin
sekolah disini mau menerima Salam. Mengajarinya punya cara sendiri. Salam hanya
bisa sekolah dimana siswanya juga tidak bisa berkata-kata. Dan itu hanya ada di
kota . Kemarin
saya sudah menanyakan hal ini pada pak Rusli sang kepala sekolah. Katanya
mereka akan kesulitan untuk mengajar Salam.” Alasan ayah panjang lebar ketika
itu. Ibu tahu bahwa kata-kata ayah tidak pernah bohong. Tapi ibu ingin
mencobanya. Siapa tahu, pak kepala sekolah berubah pikiran.
“Maaf pak jika ini membangkang.
Tapi ibu akan berjuang agar Salam diterima di sekolah di kampung kita. Ibu akan
memohon pada pak Rusli. Ini untuk masa depan Salam, pak.” bantah ibu.
“Bu, percuma. Pembicaraan bapak
tentang hal ini bukan hanya pada pak Rusli. Hampir seluruh guru yang mengajar
disana, bu. Semua nya mengutarakan jawaban yang sama.” Tambah ayah kemudian.
“Jadi, Salam tak akan …”
Kata-kata ibu tidak berujung. Terhenti oleh deraian air mata dan menyandar di
tubuh ayah.
Pagi-pagi
ibu sudah menyuruhku mandi tak lama setelah ayah. Aku menuruti. Sebelum jam
tujuh ayah sudah berangkat ke Kantor Kecamatan, tempatnya bekerja. Satu jam
waktu yang diperlukan ayah untuk sampai disana.
Adik-adik
sudah bangun semuanya ketika Ibu mengajak ku pergi. Aku tidak tahu kemana
tempat yang dituju. Ibu meminta Mak Ngah untuk menjaga anak-anaknya yang juga
adik-adik ku sebentar selama kami pergi. Mak Ngah tidak keberatan karena warungnya
juga tidak terlalu sibuk selalu.
“Maaf
bu, bukannya kami tidak menerima Salam di sekolah ini. Tapi kami akan kesulitan
mengajarinya. Lagi pula kami tidak punya keahlian untuk menangani siswa seperti
Salam. Jadi, sekali lagi kami mohon maaf bu.” Ucap pak Rusli yang kutahu, di
ruang kepala sekolah. Aku hanya mengedip-ngedipkan mata. Memandang ke arahnya,
kearah ibu. Berganti-gantian setiap dari mulut siapa suara keluar.
“Saya mohon pak, saya tidak ingin
anak saya buta tulis. Meskipun dia tidak bisa berbicara.” Ibu memelas dan
binar-binar bening mulai menutupi matanya. Ia seka.
“Kami benar-benar minta maaf. Hal
ini sudah kami perbincangkan dalam rapat. Dan para guru sangat menyesalkan
karena sebenarnya mereka ingin, tapi mereka dan termasuk saya, tidak mampu.”
Penjelasan pak Rusli semakin lebar.
“Di kota , ada sekolah luar biasa. Mungkin ibu dan
ayahnya Salam bisa mempertimbangkan untuk memasukkannya kesana.” Pak Rusli
memberikan sebuah titik terang pada ibu dan secara tidak langsung juga pada
ayah.
Ibu terdiam. Benar apa yang
ditakatan ayah. Tapi paling tidak ia mendengar langsung dari orangnya. Ibu
pamit, tanpa banyak bicara hanya mengungkapkan maaf karena telah mengganggu.
Lalu ibu meraih pergelangan tanganku dan menuju pintu keluar ruangan kepala sekolah.
Aku masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Kesedihan menopengi wajah ibu.
………………….
Ibu,
lulusan Madrasah Aliyah. Menciptakan metode sendiri dalam mengajariku menulis
di rumah. Ibu tidak tahu apakah itu home
schooling atau apa. Yang ibu tahu adalah bagaiman supaya aku mengenal
huruf.Arab dan menulis seperti anak-anak disekolah normal. Satu buah buku dan
pensil. Tak lupa peraut dan penghapusnya. Triplek mungkin sisa sekat-sekat
rumah ibu gunakan untuk menulis menggantikan papan tulis. Setelah dicat bagian
belakangnya. Dan kapur tulis beserta penghapusnya. Ibu mulai dari menyentuhkan
telapak tangannya ke dada ku. Dan kemudian menulis S A L A M di papan tulis.
Aku tahu itu, itu berarti namaku. Ku tulis dengan jauh dari rapi. Bila disimak
dengan seksama, lama-lama juga akan bisa terbaca seperti apa yang ibu tulis. Lima menit baru tuntas
menulis 5 huruf tersebut. Ibu tersenyum. Aku pun balas tersenyum. Hari itu kami
menulis nama ayah, B A K T I, ibu K H A D I J A H dan nama adik-adik ku.
Selesai untuk hari itu.
Hari-hari
selanjutnya masih menulis tentang lingkungan sekitar. Tak terlewat nama Mak
Ngah dan Pak Ngah. Tapi ibu sudah mulai mempergunakan alat peraga bergambar.
Menjadikanku lebih mudah mengenalnya.
………………….
Sejak
ayah sudah tidak ada lagi. Ibu tidak lagi punya waktu untuk mengajariku
menulis. Peran gandanya sebagai ibu sekaligus ayah menyita waktunya. Mengurus
semua kebutuhan kami. Sandang, pangan dan tidak ada untuk papan. Ibu terlihat
jauh lebih tua dari sebelumnya. Muka sedihnya di tinggal ayah masih ada. Hebatnya,
ibu selalu berusaha tetap tersenyum di depan anak-anaknya. Ibu mengajari kami
tentang sebuah ketabahan dan perjuangan.
Ibu
memandangiku lekat. Seperti yang lalu-lalu. Tapi kali ini ada yang ingin ibu
sampaikan.
“Lam, apakah kamu menyayangi
ibu?”
Aku mengangguk. “Tentu saja.”
hatiku berkata bahkan lebih besar dari yang ibu kira.
“Apakah kamu akan menuruti apa
yang ibu minta?”
Aku mengangguk lagi.
“Tadi, ibu bertemu Ramadhan,
teman ibu sewaktu Aliyah dulu. Dia mendirikan sekolah luar biasa untuk
anak-anak yang perlu penanganan khusus dalam hal pendidikan. Mengajari mereka
menulis. Mungkin lebih bagus yang ibu ajarkan padamu. Mengajari mereka
keterampilan juga, katanya. Dan siswa akan di arahkan kepada potensi dan bakat
mereka masing-masing. Jadi ibu ingin Salam belajar disana.” Ibu menahan duka,
sesungguhnya ibu berat mengatakan itu. Tapi aku tahu yang ibu pikirkan adalah
untuk kebaikanku.
Aku menyentuh dadaku dengan
tangan kanan dan kemudian dada ibu juga dengan tangan yang sama. Merapatkan
kedua tangan ku ditengah-tengah aku dan ibu, lalu memisahkannya. Ibu
mengangguk.
Aku menangis, dan memeluk ibu.
Kepalaku menggeleng.
“Ini untuk masa depan mu, nak.
Bukan ibu tidak sayang padamu, tapi ibu ingin agar Salam bisa menjadi lebih
dari sekarang. Ibu ingin Salam bisa terlepas dari kondisi ini dan tidak menyerah
begitu saja dengan kebisuan.” Tukas ibu lagi
Aku tetap menggeleng dalam
pelukan ibu.
…………………..
“Angin,
daun, ulat, ranting, kupu-kupu, kalian tahu aku tidak punya teman selain
kalian. Hanya kalian yang bisa aku ajak bicara. Kita berbagi cerita dan canda.
Dan aku sangat sedih sekarang. Aku tidak tahu setelah kepergianku apakah aku
akan kembali kesini lagi. Kalau pun kembali, aku tidak tahu kapan saatnya itu.
Apakah kalian juga merasa apa yang aku rasa?”
“Aku menyesal jika pertemuan
terakhir ini tanpa kehadiran burung. Tapi aku ingin kalian menyampaikan salam
cintaku padanya. Aku tetap akan mencintai kalian. Karena kalian adalah sahabat
sejatiku.”
“Di pohon ini kita bertemu, dan
jika pohon ini sudah tidak kuat dimakan usia, kemana aku harus mencari kalian?.
Daun akan gugur begitu juga ranting. Ulat akan mati dan juga burung. Kupu-kupu
juga sama. Hanya angin yang tetap bertahan. Dan ceritakanlah cerita-cerita
kalian semua padanya. Agar ketika aku pulang nanti aku bisa tersenyum
mendengarnya.”
“Sekarang aku harus pergi, dan
tidak bisa menunggu sampai burung datang. Ibu sudah menunggu di depan rumah.
Aku berpamitan padanya hanya sebentar.”
Semunya membisu seperti yang ku
alami. Tapi aku paham jiwa meronta mereka. Menyanggah, menghalangi, tak rela
dan berbisik menyayat jiwa kedalam sanubariku. Ku katakan kepada mereka,
mungkin aku juga akan bertemu dengan bahasa alam lainnya disana dan aku ingin
menjadikannya teman seperti aku dan mereka juga.
Ketika
ku turun dari pohon jambu batu di belakang rumah itu, ku melihat seekor burung
terbang merendah menuju pohon itu. Tapi aku tidak mungkin kembali kesana dan
bercerita lagi. “Angin, katakan pada burung jangan bersedih!”.
0 Messages:
Posting Komentar