Kamis, 22 Desember 2011

Ibu dan Suara Alam


            “Angin, adakah kau disana?, Burung, apa kau mendengar ku?, daun, ulat, semut, kupu-kupu, ranting, masihkah kalian mendengarku? Ada yang ingin ku sampaikan. Sebuah kesedihan. Kesedihan terakhir.”
Tiada sebarang suara, bahkan untuk suara kesunyian.
“Tapi jika kalian tidak mau, aku tidak bisa memaksa.”
Angin pagi bertiup lembut, masih belum tercampur panas sinar mentari.
“Aku disini.”
Seekor kupu-kupu hitam berbintik biru cerah menghampiri.
Ada apakah gerangan wahai anak muda?”
Dari lubang kecil, muncul semut hitam. Kecil.
“Berita sedih apa? Apakah teman-teman manusia mu menyakitimu?”
“Hey ulat, jangan terus memakan tubuhku!. Cari daun yang lebih tua di sana!”
“Aku suka daun muda.”
Daun dan ulat bersamaan menyapa ku. “Kami juga di sini.”
“Jangan lupakan aku yang selalu menjadi tempat mu mengaitkan badan, daun!” Sang ranting merasa dipinggirkan. “Aku masih kuat untuk jatuh ke tanah” Ujarnya kemudian.
“Syukurlah.” Ucapku membatin. Tapi dimana burung?
            Angin menyemburkan hawa segar kepada kami. Kulihat muka mereka. Larut dalam sedih dan khawatir. Berita apakah gerangan yang ingin ku katakan. Ku pejamkan mata sejenak. Ku ingin angin memdekap tubuhku. Aku tidak tahu harus dari mana memulainya. Aku ingin menunggu burung untuk mengawali ceritaku. Tapi mereka semua tidak sabar, tidak sabar akan sebuah perpisahan yang tidak mungkin mereka inginkan. Aku merangkai kata demi kata.
……………….
            Tak mudah bagi ibu. Sepeninggal ayah 2 bulan yang lalu, memberatkannya. Tapi ibu bukan perempuan yang mudah menyerah. Uang pensiun almarhum sedikit membantu penghidupan kami. Tapi sangat kurang untuk keperluan gizi. Single parent ibu lakoni dengan keikhlasan.
            Beranak rapat sejak pernikahan, dua tahun sekali. Bagi ibu dan ayah banyak anak, banyak berkah. Empat adik dibawahku. Aisyah, delapan tahun. Fathimah, 6 tahun. Ahmad, 4 tahun dan si bungsu Salima 2 tahun. Tak jarang memang ibu kewalahan mengurusi kami. Apalagi saat ini. Pernah Kakak kandung ayah ingin mengadopsi salah satu dari kami, terkecuali aku, sebulan lalu. Karena, bibi, tidak punya zuriat. Ibu tidak sanggup untuk melepas kami.
“Dijah, kami tahu kamu sangat menyayangi anak-anakmu. Tapi maksud kami hanya untuk meringankan beban mu” ujar bibi dan paman kurang lebih begitu juga. Tapi ibu bersikukuh.
            Sebagai anak tertua dan laki-laki aku sepatutnya bisa membantu ibu. Tapi aku terlalu istimewa di mata ibu. “Kamu anak yang hebat, lam.” Kata ibu ketika tengah mengajari ku menulis. Semampu yang aku bisa, tetap ingin membantunya. Mencuci baju, karena aku punya tangan. Dan menjaga adik bungsu ketika ibu memasak dan membuat juadah jualan. Tapi ketika Salima menangis. Aku tidak bisa membujuknya. Juga pergi berbelanja di warung mesti dengan catatan kecil yang ibu tuliskan. Dan Mak Ngah sudah hafal akan hal itu.
            Ku lihat sering ibu tersenyum kepadaku. Entah apa yang tengah dipikirnya. Apakah bangga atau sekedar ingin membesarkan hatiku. Yang kutahu ibu tulus menyayangiku dan juga adik-adikku.
………………..
            Ku gedor pintu Mak Ngah di samping rumah di tengah malam itu. Menyeruak rambut kusut terlebih dahulu, baru tampak wajahnya. Seorang laki-laki dengan mulut menguap di belakangnya. Pak Ngah. Rambutnya juga kusut, tapi tidak ketara karena pendek.
            Ku letakkan punggung tanganku ke keningku sendiri. Ku lanjutkan dengan mempertemukan kedua telapak tangan, dan meletakkannya di pipi kiri sambil kepala dimiringkan juga kearah kiri. Belum tuntas, ku simpan jari-jemariku merapat di dada. Lalu menunjuk kearah rumah.
“Ibu mu sakit, lam?”
Aku mengangguk. Mak Ngah bergegas langsung keluar dan menuju rumah segera bersamaku. Pak Ngah masuk kedalam lagi. “Ibu pergi dulu, bapak menyusul sebentar lagi.” Katanya kemudian.
            Tadi kudengar ibu mengigau. Ku hampiri dia. Igauannya mengandung kegelisahan. Anggota tubuhnya kedinginan. Ku betulkan selimutnya. Tapi ibu menggigil. Aku meniru apa yang ibu lakukan dulu sewaktu aku juga menggigil demam. Menyentuhkan jari ke dahinya. Panas. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Mak Ngah melintas di pikiranku.
“Demam mu tinggi sekali, jah. Beruntung Salam membangunkan kami. Kami tidak tahu jika keadaanmu ini terus dibiarkan sampai pagi” kata Mak Ngah tengah mengompres ibu. Pak Ngah pun datang. Berucap salam.
“Maaf Ngah Lela, Ngah Dul, saya sudah menyusahkan malam-malam begini.” Pinta mak kepada sepasang pengantin lama tersebut. Pak Ngah dan Mak Ngah hanya tinggal berdua di rumahnya. Anaknya sudah berumah tangga semua. Dan semuanya tidak tinggal serumah dengannya. Mak Ngah kesehariannya menjaga warung kelontong. Dan Pak Ngah masih menguatkan diri untuk berkebun. Tidak bekerja pun mereka bisa hidup. Uang kiriman dari 5 anaknya terus mengalir. “Kami capai duduk-duduk dirumah.” Jawab mereka ketika ayah menanyakan kenapa mereka masih saja bekerja di usia tua dulu.
            “Ngah pamit dulu ya, Jah. Lam kalau perlu bantuan nanti, langsung kerumah saja ya.” Mak dan Pak Ngah pamit. “Jaga ibu baik-baik ya, lam.” Lanjut Pak Ngah kemudian. Aku mengangguk.
“Sekali lagi terima kasih Ngah” ucap ibu lagi. Yang dimintai hanya tersenyum. Rasa kantuk sudah tidak ada lagi. Dua sosok yang sudah kuanggap seperti kakek dan nenek itu berjalan membelakangi kami. Membuka pintu yang mengatup tak terkunci dan menghilang disebaliknya kemudian.
………………..
            Dulu, sewaktu usiaku 5 tahun lebih, Ibu mengantarku mendaftar di SD di kampung. Waktu itu ibu masih terlihat jauh lebih muda. Hari sebelumnya ibu dan ayah berdebat sengit tentang pendaftaran itu.
“Jah, sudahlah. Mana mungkin sekolah disini mau menerima Salam. Mengajarinya punya cara sendiri. Salam hanya bisa sekolah dimana siswanya juga tidak bisa berkata-kata. Dan itu hanya ada di kota. Kemarin saya sudah menanyakan hal ini pada pak Rusli sang kepala sekolah. Katanya mereka akan kesulitan untuk mengajar Salam.” Alasan ayah panjang lebar ketika itu. Ibu tahu bahwa kata-kata ayah tidak pernah bohong. Tapi ibu ingin mencobanya. Siapa tahu, pak kepala sekolah berubah pikiran.
“Maaf pak jika ini membangkang. Tapi ibu akan berjuang agar Salam diterima di sekolah di kampung kita. Ibu akan memohon pada pak Rusli. Ini untuk masa depan Salam, pak.” bantah ibu.
“Bu, percuma. Pembicaraan bapak tentang hal ini bukan hanya pada pak Rusli. Hampir seluruh guru yang mengajar disana, bu. Semua nya mengutarakan jawaban yang sama.” Tambah ayah kemudian.
“Jadi, Salam tak akan …” Kata-kata ibu tidak berujung. Terhenti oleh deraian air mata dan menyandar di tubuh ayah.
            Pagi-pagi ibu sudah menyuruhku mandi tak lama setelah ayah. Aku menuruti. Sebelum jam tujuh ayah sudah berangkat ke Kantor Kecamatan, tempatnya bekerja. Satu jam waktu yang diperlukan ayah untuk sampai disana.
            Adik-adik sudah bangun semuanya ketika Ibu mengajak ku pergi. Aku tidak tahu kemana tempat yang dituju. Ibu meminta Mak Ngah untuk menjaga anak-anaknya yang juga adik-adik ku sebentar selama kami pergi. Mak Ngah tidak keberatan karena warungnya juga tidak terlalu sibuk selalu.
            “Maaf bu, bukannya kami tidak menerima Salam di sekolah ini. Tapi kami akan kesulitan mengajarinya. Lagi pula kami tidak punya keahlian untuk menangani siswa seperti Salam. Jadi, sekali lagi kami mohon maaf bu.” Ucap pak Rusli yang kutahu, di ruang kepala sekolah. Aku hanya mengedip-ngedipkan mata. Memandang ke arahnya, kearah ibu. Berganti-gantian setiap dari mulut siapa suara keluar.
“Saya mohon pak, saya tidak ingin anak saya buta tulis. Meskipun dia tidak bisa berbicara.” Ibu memelas dan binar-binar bening mulai menutupi matanya. Ia seka.
“Kami benar-benar minta maaf. Hal ini sudah kami perbincangkan dalam rapat. Dan para guru sangat menyesalkan karena sebenarnya mereka ingin, tapi mereka dan termasuk saya, tidak mampu.” Penjelasan pak Rusli semakin lebar.
“Di kota, ada sekolah luar biasa. Mungkin ibu dan ayahnya Salam bisa mempertimbangkan untuk memasukkannya kesana.” Pak Rusli memberikan sebuah titik terang pada ibu dan secara tidak langsung juga pada ayah.
Ibu terdiam. Benar apa yang ditakatan ayah. Tapi paling tidak ia mendengar langsung dari orangnya. Ibu pamit, tanpa banyak bicara hanya mengungkapkan maaf karena telah mengganggu. Lalu ibu meraih pergelangan tanganku dan menuju pintu keluar ruangan kepala sekolah. Aku masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Kesedihan menopengi wajah ibu.
………………….
            Ibu, lulusan Madrasah Aliyah. Menciptakan metode sendiri dalam mengajariku menulis di rumah. Ibu tidak tahu apakah itu home schooling atau apa. Yang ibu tahu adalah bagaiman supaya aku mengenal huruf.Arab dan menulis seperti anak-anak disekolah normal. Satu buah buku dan pensil. Tak lupa peraut dan penghapusnya. Triplek mungkin sisa sekat-sekat rumah ibu gunakan untuk menulis menggantikan papan tulis. Setelah dicat bagian belakangnya. Dan kapur tulis beserta penghapusnya. Ibu mulai dari menyentuhkan telapak tangannya ke dada ku. Dan kemudian menulis S A L A M di papan tulis. Aku tahu itu, itu berarti namaku. Ku tulis dengan jauh dari rapi. Bila disimak dengan seksama, lama-lama juga akan bisa terbaca seperti apa yang ibu tulis. Lima menit baru tuntas menulis 5 huruf tersebut. Ibu tersenyum. Aku pun balas tersenyum. Hari itu kami menulis nama ayah, B A K T I, ibu K H A D I J A H dan nama adik-adik ku. Selesai untuk hari itu.
            Hari-hari selanjutnya masih menulis tentang lingkungan sekitar. Tak terlewat nama Mak Ngah dan Pak Ngah. Tapi ibu sudah mulai mempergunakan alat peraga bergambar. Menjadikanku lebih mudah mengenalnya.
………………….
            Sejak ayah sudah tidak ada lagi. Ibu tidak lagi punya waktu untuk mengajariku menulis. Peran gandanya sebagai ibu sekaligus ayah menyita waktunya. Mengurus semua kebutuhan kami. Sandang, pangan dan tidak ada untuk papan. Ibu terlihat jauh lebih tua dari sebelumnya. Muka sedihnya di tinggal ayah masih ada. Hebatnya, ibu selalu berusaha tetap tersenyum di depan anak-anaknya. Ibu mengajari kami tentang sebuah ketabahan dan perjuangan.
            Ibu memandangiku lekat. Seperti yang lalu-lalu. Tapi kali ini ada yang ingin ibu sampaikan.
“Lam, apakah kamu menyayangi ibu?”
Aku mengangguk. “Tentu saja.” hatiku berkata bahkan lebih besar dari yang ibu kira.
“Apakah kamu akan menuruti apa yang ibu minta?”
Aku mengangguk lagi.
“Tadi, ibu bertemu Ramadhan, teman ibu sewaktu Aliyah dulu. Dia mendirikan sekolah luar biasa untuk anak-anak yang perlu penanganan khusus dalam hal pendidikan. Mengajari mereka menulis. Mungkin lebih bagus yang ibu ajarkan padamu. Mengajari mereka keterampilan juga, katanya. Dan siswa akan di arahkan kepada potensi dan bakat mereka masing-masing. Jadi ibu ingin Salam belajar disana.” Ibu menahan duka, sesungguhnya ibu berat mengatakan itu. Tapi aku tahu yang ibu pikirkan adalah untuk kebaikanku.
Aku menyentuh dadaku dengan tangan kanan dan kemudian dada ibu juga dengan tangan yang sama. Merapatkan kedua tangan ku ditengah-tengah aku dan ibu, lalu memisahkannya. Ibu mengangguk.
Aku menangis, dan memeluk ibu. Kepalaku menggeleng. 
“Ini untuk masa depan mu, nak. Bukan ibu tidak sayang padamu, tapi ibu ingin agar Salam bisa menjadi lebih dari sekarang. Ibu ingin Salam bisa terlepas dari kondisi ini dan tidak menyerah begitu saja dengan kebisuan.” Tukas ibu lagi
Aku tetap menggeleng dalam pelukan ibu.
…………………..
            “Angin, daun, ulat, ranting, kupu-kupu, kalian tahu aku tidak punya teman selain kalian. Hanya kalian yang bisa aku ajak bicara. Kita berbagi cerita dan canda. Dan aku sangat sedih sekarang. Aku tidak tahu setelah kepergianku apakah aku akan kembali kesini lagi. Kalau pun kembali, aku tidak tahu kapan saatnya itu. Apakah kalian juga merasa apa yang aku rasa?”
“Aku menyesal jika pertemuan terakhir ini tanpa kehadiran burung. Tapi aku ingin kalian menyampaikan salam cintaku padanya. Aku tetap akan mencintai kalian. Karena kalian adalah sahabat sejatiku.”
“Di pohon ini kita bertemu, dan jika pohon ini sudah tidak kuat dimakan usia, kemana aku harus mencari kalian?. Daun akan gugur begitu juga ranting. Ulat akan mati dan juga burung. Kupu-kupu juga sama. Hanya angin yang tetap bertahan. Dan ceritakanlah cerita-cerita kalian semua padanya. Agar ketika aku pulang nanti aku bisa tersenyum mendengarnya.”
“Sekarang aku harus pergi, dan tidak bisa menunggu sampai burung datang. Ibu sudah menunggu di depan rumah. Aku berpamitan padanya hanya sebentar.”
Semunya membisu seperti yang ku alami. Tapi aku paham jiwa meronta mereka. Menyanggah, menghalangi, tak rela dan berbisik menyayat jiwa kedalam sanubariku. Ku katakan kepada mereka, mungkin aku juga akan bertemu dengan bahasa alam lainnya disana dan aku ingin menjadikannya teman seperti aku dan mereka juga.
            Ketika ku turun dari pohon jambu batu di belakang rumah itu, ku melihat seekor burung terbang merendah menuju pohon itu. Tapi aku tidak mungkin kembali kesana dan bercerita lagi. “Angin, katakan pada burung jangan bersedih!”.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;